“Bagaimana penampilanku hari ini?” tanya Fio menoleh melihat bosnya yang saat ini sedang menikmati kopi.
“Ya biasa saja,” jawab Xavier.
“Jadi, Tuan tidak menyukainya? Kan Tuan yang berikan gaun ini.”
“Apa pun yang aku pilih, bukan berarti itu cantik,” kata Xavier sengaja menggoda Fio.
“Sudahlah. Aku harus kembali, Hoshi sudah pulang. Pertemuan juga sudah selesai,” kata Fio kesal lalu bangkit dari duduknya dan hendak pergi meninggalkan Xavier, namun langkahnya terhenti ketika Xavier menggenggam pergelangan tangannya.
Fio menoleh dan berkata, “Ada apa?”
“Kamu mau kemana?” tanya Xavier.
“Aku mau pulang. Ini akhir pekan, bukan? Aku tidak bekerja hari ini.”
“Kita harus dinas ke Hamburg malam ini,” kata Xavier mendongak menatap Fio.
“Hamburg?”
“Ya. Pulanglah dan bersiap, sepuluh menit lagi aku tunggu kamu di lobby apartemen.” Xavier lalu melepaskan genggaman tangannya.
Fio mengangguk, ia adalah asisten pribadi Xavier, jadi apa pun yang Xavier lakukan itu semua menjadi tugasnya. Perintah Xavier juga tidak bisa di tolak.
“Jangan terlalu lama,” lanjut Xavier. “Dan tidak usah membawa pakaian apa pun, pakai yang sekarang saja.”
“Memangnya kita cepat di sana?”
Xavier mendongak. “Iya. Apa yang kamu harapkan?”
“Tidak. Aku tidak mengharapkan apa pun.” Fio tersenyum dan mengelus leher belakangnya.
Fio lalu melangkah pergi meninggalkan Xavier, Xavier menoleh dan melihat punggung Fio. Pantaskah ia melakukan ini kepada Fio? Fio adalah calon istri keponakannya, dan ia tidak mungkin merebut Fio dari Hoshi.
Fio tiba di apartemennya, ia melangkahkan kakinya masuk ke kamarnya dan meraih tasnya. Ia tidak akan membawa pakaian, karena Xavier melarangnya.
“Kamu mau kemana?” tanya Hoshi bersandar di pintu kamar Fio.
“Aku mau dinas,” jawab Fio.
“Dinas? Dimana? Sama siapa?”
“Sama siapa lagi kalau bukan sama Pamanmu?”
“Dimana memangnya?”
“Hamburg.”
“Kenapa jauh sekali? Dan, kenapa mendadak?”
“Ya mendadak karena memang pekerjaanku seperti ini,” jawab Fio menoleh sesaat melihat Hoshi. “Aku hanya satu hari di sana.”
“Satu hari? Kamu tidak tidur dengan pamanku, ‘kan?”
“Kenapa kamu berpikiran seperti itu? Tidak mungkin pamanmu melakukan itu, bukan?”
“Ya benar juga. Tidak mungkin,” angguk Hoshi.
Hoshi lalu memeluk pinggang Fio dan berkata, “Aku bisa kan ikut ke sana?”
“Buat apa kamu ikut? Kamu bekerja, bukan? Jika kamu ikut, terus yang akan mengurus pekerjaan Paman siapa?” tanya Fio berusaha tenang.
“Tidak mungkin.” Hoshi menggelengkan kepala.
“Ya sudah. Semangat ya kerjanya, aku pergi dulu,” kata Fio menepuk d**a Hoshi dan pergi meninggalkan Hoshi.
“Kabari aku jika kamu sudah tiba di Hamburg.”
“IYA!” jawab Fio bergidik karena tak suka di sentuh Hoshi.
Fio lalu melangkah menuju lift dan lift membawanya sampai ke lobby, Fio melihat bosnya tengah duduk di sofa seraya membaca koran. Fio menghampiri bosnya.
“Aku sudah siap,” kata Fio.
Xavier mengangguk dan bangkit dari duduknya. “Ayo berangkat.”
Fio mengangguk.
“Apakah sudah ada tiketnya?”
“Sudah ada. Tenang saja,” jawab Xavier.
Xavier lalu membuka pintu untuk Fio, membuat Fio menoleh dan melihat bosnya. “Masuklah.”
Fio mengangguk lalu masuk ke mobil lebih dulu. Supir pribadinya hanya bisa tutup mata jika mereka melakukan sesuatu di mobil, karena itu mereka menggunakan pembatas.
Xavier lalu masuk ke mobil dan langsung mengecup bibir Fio, Fio membulatkan mata dan menikmati ciuman Xavier. Awalnya Fio hendak menghentikannya, namun di sini tidak ada siapa pun, jadi ia bebas melakukannya.
Xavier lalu mencium sekitaran leher Fio. Membuat Fio tak bisa berbuat apa-apa selain mendesah, karena nikmat sekali sentuhan bosnya itu, dan bosnya itu sangat lah energik, bahkan tubuhnya sangat tegap.
“Tuan, kita di mobil,” kata Fio.
“Tidak masalah. Aku sudah tidak tahan lagi.”
Fio mengangguk.
Xavier mengangkat gaun Fio dan memperlihatkan CD asisten pribadinya itu. Fio langsung duduk di pangkuan Xavier dan menggoyangkan pinggulnya dengan genit, dua tangan Xavier terus meremas dua gundukan itu secara bergantian.
“Ahh, ouhhh,” desah Xavier.
“Tuan menyukainya?” tanya Fio.
“Diam lah,” jawab Xavier.
“Tuan suka atau tidak?”
“Lanjutkan,” titah Xavier seolah perintahnya kali ini berkaitan dengan pekerjaan, membuat Fio tak bisa melakukan apa pun dan hanya bisa melakukan sesuai perintah.
Tak lama kemudian, mereka tiba di bandara, mobil Xavier langsung masuk ke landasan pesawat karena jet pribadinya sudah siap.
Xavier dan Fio keluar dari mobil, seolah tak terjadi apa-apa diantara mereka. Xavier dan Fio masuk ke cabin pesawat, dan tak lama kemudian jet pribadinya berangkat.
Dua gelas berleher tinggi sudah di siapkan oleh pramugari, pramugari yang saat ini membuka satu kancing bajunya dan memperlihatkan belahan dadanya pada Xavier yang saat ini cuek saja.
Fio menautkan alis karena sikap pramugari itu.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Fio.
“Iya?” Pramugari itu menautkan alis.
“Aku tahu kamu sedang melakukan sesuatu, bukan? Apa yang kamu harapkan?” tanya Fio.
“Maksudnya?”
“Sudahlah. Kamu pergi lah dari sini, tidak usah cari perhatian.” Fio melanjutkan.
“Maksud Anda apa, Nona? Saya kurang mengerti.”
“Diam lah. Saya suruh kamu pergi, berarti kamu harus pergi.” Fio melanjutkan.
“Ada apa denganmu?” tanya Xavier.
Fio memalingkan wajah tak suka. Xavier menoleh dan mendongak melihat pramugari yang terlihat genit kepadanya. Fio menoleh sesaat melihat Xavier.
Xavier memberi kode kepada pramugari itu untuk pergi dan meninggalkan mereka.
“Ada apa denganmu? Kamu cemburu?” tanya Xavier menuang sampanye di depannya dan meneguknya.
“Apa maksudmu? Cemburu apa?”
“Jadi kamu tidak cemburu?”
“Ya. Tidak.”
“Asisten Fio, kamu benar-benar aneh.”
“Aneh apanya? Sudahlah. Jangan menggangguku.”
“Kamu ini, kamu bersamaku sekarang karena urusan bisnis, bukan? Kenapa aku tidak bisa mengganggumu?”
“Diam lah!” Fio menggelengkan kepala.
Xavier meraih sesuatu di samping Fio, ia memanjangkan tangannya seraya mengecup pipi Fio, Fio menoleh dan menatap bosnya.
“Bukankah yang kita lakukan ini salah?” tanya Fio.
“Salahnya dimana?”
“Aku—”
“Diamlah. Kamu suruh aku diam, bukan? Jadi, aku berusaha diam.” Xavier tahu apa yang akan Fio bicarakan.