14

4999 Kata
"Prokk ... Prokk ... Prokk ... Tepuk tangan meriah di akhir lagu Kak Tristan menambah suasana romantis bagi penonton yang melihatnya, tapi tidak bagi Silvi. Silvi masih terdiam membisu di tempat duduknya, beberapa kamera mengarah ke arahnya. Hati Silvi berkecamuk. “Terima aja Silvi, orangnya ganteng kek gitu,” Mona teman kelasnya Silvi berbisik pada Silvi. Murid yang lain pun bersorak. “Terima ...” “Terima ...” “Terima ...” Silvi salah tingkah, pikirannya kalut, dia tidak lagi bisa berpikir jernih, apalagi melihat guru-gurunya juga ikut bertepuk tangan sambil tersenyum dalam artian mendukung. “Bagaimana dengan Yasser?” Silvi bertanya pada dirinya. “Kalau aku tolak cinta kak Tristan, takut nanti Kak Tristan kecewa, dan image Kak Tristan akan turun di mata teman-temannya.” “Aku bingung ya Allah!, aku sangat bingung!” Silvi berteriak dalam hatinya dengan mata mulai berembun. “Aku gak bisa nyakitin orang lain di depan orang banyak, aku gak bisa, aku benar-benar gak bisa!, ya Allah bagaimana ini?” Silvi sudah sangat gugup dan tetesan keringat mulai mengalir di dahinya. “Bruk ...” Silvi jatuh ke lantai di samping Mona. “Eh ... tolong tolong, Silvi pingsan,” Mona berkata pada orang sekelilingnya sambil mencoba mengangkat tubuh Silvi ke pangkuannya. “Silvi kenapa?” Tanya guru-guru yang berlari mendekat. “Ga tau buk,” jawab Mona. Kak Tristan langsung meninggalkan panggung dan berlari mendekati Silvi. Kak Tristan di bantu sama guru-guru yang lain, memapah Silvi ke ruang ganti kostum, karna gak ada ruang lain disana. Kak Tristan yang merasa bersalah ikut menemani Silvi di ruangan itu, bersama murid-murid yang lain. “Sama siapa ada minyak kayu putih?” Kak Tristan berkata pada mereka. “Ini Kak,” salah satu dari mereka menyerahkan minyak kayu putih untuk Kak Tristan. Kak Tristan menerimanya, dan memberikannya pada Mona. “Kamu olesin sedikit di hidungnya, atau kamu dekatkan aja mulut botol ke hidungnya, biar terhirup aromanya” ucap Kak Tristan. Mona menerima botol minyak kayu putih itu, dan di dekatkan pada hidung Silvi seperti perintah Kak Tristan. “Silvi ... Silvi,” Mona menepuk-nepuk pelan pipi temannya itu sambil mengoleskan minyak kayu putih di dahi dan hidung Silvi. “Hmm ...” Silvi membuka matanya dengan perlahan. “Silvi kamu udah sadar?” Kak Tristan langsung bertanya dengan nada cemas. “Udah Kak,” Silvi mencoba bangkit dari tidur, Kak Tristan mencoba membantu Silvi untuk bangun, tapi Silvi melarang tangan Kak Tristan untuk mendekat, teman-teman Kak Tristan saling berpandangan melihat Silvi menolak di bantu Kak Tristan. “Kita belum mahram ,” Silvi berkata dengan menatap mata Kak Tristan sambil tersenyum tulus. Muka Kak Tristan yang tadinya menunjukkan sifat malu dan kecewa, kembali cerah lagi. “Maaf ya, karna aku, kamu jadi kek gini,” ucap Kak Tristan yang merasa bersalah. “Lho, bukan salah Kak Tristan kok ... Mungkin karna Silvi gak sempat sarapan tadi, karna buru-buru.” jawab Silvi. “Ya ... Di tambah lagi sama aku, yang bikin kamu jadi bingung,” ucap Kak Tristan menyesal. “Ga papa,” jawab Silvi singkat yang masih tetap memberikan senyuman untuk Kak Tristan. “Oa, acaranya udah selesai?” Silvi mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya pada murid sekelilingnya. “Udah, kan itu tadi acara terakhir,” jawab Mona. “Makasih ya buat kalian semua, udah jagain aku sampai aku sadar,” ucap Silvi. “Iya gapapa Vi, kami kan khawatir juga,” Sahut Rifka teman satu lokal Silvi waktu kelas 1. “Kalau kalian mau pamit, silakan, aku udah baik-baik aja,” Ucap Silvi pada mereka yang masih berdiri, sebagian masih dengan kostum panggung mereka. “Ya udah, kami keluar dulu Vi ya,” ucap Rifka. “Iya ,” jawab Silvi. “Bantu aku bangun Mon, kita keluar yuk, engap disini,” ajak Silvi pada Mona dan Kak Tristan yang masih disitu. “Ya udah yok,” jawab Mona sambil membantu Silvi berdiri. Mereka keluar dan duduk di kursi taman. “Kalau gitu, aku tinggalin mau ke sana bentar Silvi ya,” Ucap Mona yang sengaja ingin ninggalin Silvi dan Kak Tristan berdua. “Eh jangan, dia ini lah, nanti apa kata orang lain yang liat kami berdua-duaan disini,” jawab Silvi. “Oo ya udah,” Mona mengurungkan niatnya untuk tidak pergi. “Aku ambil minum dulu ya,” ucap Kak Tristan. Silvi hanya mengangguk sambil tersenyum. Tidak berapa lama Kak Tristan pun kembali dengan 2 bungkus nasi kotak dan 2 botol air mineral. “Ini, kalian makan dulu,” Kak Tristan menyodorkan makanan tersebut untuk mereka berdua. “Waduh, baik kali kok kak,” ucap Mona sambil menerima nasi tersebut. “Kak Tristan sendiri gak makan?” tanya Silvi. “Gapapa, kalian duluan aja,” jawabnya. “Jangan, Kak Tristan makan dulu sana, nanti takutnya kita gantian pingsan,” Silvi mencoba untuk mencandai Kak Tristan. “Ya udah, aku kesana dulu ya, kalau ada apa-apa panggil aja lagi,” kata Kak Tristan. “Iya Kak, makasih banyak ya,” ucap Silvi. “Sama-sama,” Jawab Kak Tristan sambil berlalu membelakangi mereka. “Hmmm ...” Silvi menarik nafas panjang. “Kenapa Vi?” Tanya Mona yang lagi menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Gak ada apa-apa, makan terus,” jawab Silvi sambil membuka kotak nasi. Mona teman Silvi yang bisa dibilang lumayan dekat, orangnya kutu buku, sedikit unik, dan tidak banyak gaya, makanya Silvi bisa berteman sama dia, Sedangkan teman-teman Silvi yang lain sangat modis, Silvi tidak punya banyak waktu untuk memikirkan gaya, jadi Silvi hanya punya teman yang sama-sama kutu buku. “Vi, gimana jawaban untuk Kak Tristan?” tanya Mona tiba-tiba. “Aku belum punya jawabannya Mon, aku masih enggan pacaran,” jawab Silvi. “Lhaa itu enggan pacaran, brarti jawabannya nolak dong,” Mona berkata lagi. “Sssttt ... Jangan keras-keras ngomongnya,” Silvi berbisik pada Mona. Mona langsung menutup mulutnya. “Aku gak mau nolak Kak Tristan di depan orang banyak, aku takut Kak Tristan kecewa dan sakit hati padaku,” Silvi berkata dengan nada sedih. “Qe ada ide gak gimana cara aku nolaknya yang gak bikin Kak Tristan kecewa?” tanya Silvi pada Mona. “Belum ada ide,” jawab Mona. “Lagian, kenapa sih kamu tolak?, Kak Tristan itu, ganteng, baik, kaya pula, semua cewek tergila-gila pada Kak Tristan,” Mona berkata dengan santai. “Termasuk kamu?” tanya Silvi pada Mona. “Iya, tapi sayang, Kak Tristan gak tergila-gila padaku, jangan kan untuk tergila-gila, untuk ngelirik aku aja dia gak pernah,” jawab Mona. “Gimana bisa tau kamu?” tanya Silvi lagi. “Ya iyalah tau, yang dia perhatiin cuma kamu dari dulu, man kamu aja yang gak peka jadi cewek,” jawab Mona. “Ih dia ini lah,” Silvi mencubit lengannya Mona. “Lha emang iya, dulu pernah kan Kak Tristan kasih minum untuk kamu pas di kantin, kamu keselek sama kuah bakso yang pedas, Kak Tristan langsung datang bagaikan pahlawan tanpa kesiangan membawakan minuman untuk putri raja,” lanjut Mona lagi. “Iya juga ya, aku gak kepikiran,” jawab Silvi. “Emang kenapa sih kamu nolak Kak Tristan?” tanya Mona lagi. “Kan udah aku bilang, aku malas pacaran, mau fokus dulu, biar dapat undangan ke universitas terbaik,” jawab Silvi mencoba menutupi yang sebenarnya, dia tidak mau ada seorang pun yang tau kalau hati dia udah jadi milik orang lain. Biar lah orang melihat dia menolak Kak Tristan karna masih enggan pacaran, bukan karna ada cowok lain, demi hati Kak Tristan. “Ya udah, nanti jangan nangis kalau di embat sama orang lain,” Mona mencandai Silvi. Silvi tersenyum, dan berkata, “Emang siapa yang mau embat, kamu ya?” goda Silvi. “Gak ah aku, nanti bertepuk sebelah tangan juga,” jawab Mona sambil manyun. “Aku bilang aja sama Kak Tristan perasaan kamu, biar nanti Kak Tristan bisa membuka hatinya untuk kamu,” Silvi menggodanya lagi. “Udah tau dia, tiap kali dia konser di lapangan sekolah, aku selalu teriak I LOVE YOU Kak Tristan langsung di depan mukanya, dia Cuma jawab terima kasih,” Mona berkata sambil memonyong-monyongkan bibirnya. Silvi tertawa lepas melihat tingkah temannya. “Oa, aku keknya punya cara nolak Kak Tristan yang buat dia gak patah hati,” Mona berkata dengan serius. “Serius kamu, gimana caranya?” tanya Silvi penasaran. “Sini aku bisikin, takut nanti ada mata-mata yang dengar,” jawab Mona. Mona membisiki sesuatu ke telinga Silvi, Silvi mengangguk setuju dengan senyum sumringahnya. “Makasih Kak Mona kutu buku,” Silvi mencolek hidung temannya itu. “Sama-sama, semoga berhasil,” jawab Mona. “Silvi pulang sama siapa?, mau aku antar?” Kak Tristan datang kembali menemui mereka. “Jangan Kak, udah Silvi suruh jemput,” jawab Silvi. “Ya udah kalau gitu kakak pulang duluan ya,” ucap Kak Tristan. “Iya kak, hati-hati,” Silvi mencoba memberi perhatian kecil untuk menyenangkan hati Kak Tristan. “Iya,” Mereka saling melempar senyum dan Kak Tristan berlalu menuju ke arah parkir mobilnya. “Tante,” Silvi membuka pembicaraan dengan tantenya. “Iya kak, kenapa?” tanya Tante Nani mendekati Silvi yang terlihat seperti kebingungan. “Ada cowok yang nembak Silvi, tapi Silvi gak ingin pacaran dulu, Silvi berniat nolak dia secara baik-baik, Silvi mau bilang gini, Silvi gak nolak dia, dan gak nerima dia, karna fokus Silvi sekarang Cuma belajar, kalau memang nanti berjodoh, mungkin dia bisa datang lagi kalau Silvi udah tamat kuliah. Kira-kira salah gak ya Tante Silvi bilang kek gitu?” tanya Silvi pada Tantenya. “Insyaallah gak, udah benar kok.” Jawab Tantenya Silvi. Ke esokan harinya. “Kak, bisa kita ketemuan sebentar?” Silvi mengirim pesan untuk Kak Tristan, dia memang sudah lama mengsave nomor Kak Tristan, karna Kak Tristan pernah menelpon dia bertanya kesiapan kelompok Silvi dalam menyiapkan pertunjukan di acara sekolah mereka. “Boleh, dimana?” Kak Tristan membalas pesan Silvi. “Di cafe dekat taman aja,” jawab Silvi. “Jam berapa?” balas Kak Tristan lagi. “Jam 3 sore aja Kak,” balas Silvi. “Oa, datangnya sendirian aja Kak ya,” lanjutnya lagi. “Oke,” balas Kak Tristan. Silvi bersiap-siap untuk pergi menemui Kak Tristan, dia pergi naik motor sendirian. Sesampainya disana, Silvi langsung memilih meja yang tidak terlalu pojok, dia sengaja datang lebih cepat, agar tidak keduluan sama Kak Tristan. Silvi memesan jus alpukat kesukaannya sambil menunggu Kak Tristan. Tidak lama kemudian, Kak Tristan muncul. Silvi tak bisa berbohong pada dirinya, Kak Tristan memang sangat tampan, apalagi memakai baju seperti di hadapannya sekarang, celana jeans hitam kuncup bawah, dengan sepatu kerennya, dan baju biru pudar, dengan lengan panjang, di tambah aksesoris jam tangan hitam sambil memegang kunci mobilnya. "Kak Tristan!" Panggil Silvi. Kak Tristan menoleh ke arah suara Silvi dan berjalan menuju meja Silvi duduk. " Udah lama nunggu Silvi? " tanya Kak Tristan sambil menggeserkan kursi di depan Silvi untuk duduk. "Belum Kak, baru aja sampai," jawab Silvi. "Mau makan apa Kak?" Tanya Silvi. "Apa aja boleh, kamu pesan duluan," "Mbak!" mereka memanggil pelayan di cafe itu, pelayan itu datang sambil membawa buku catatan. "Mbak saya pesan ini ya, Kakak pesan apa?" Tanya Silvi pada Kak Tristan. "Saya ini aja," jawab Kak Tristan. "Udah itu aja mbak," ucap Silvi. sambil menunggu makanan datang, Silvi membuka obrolan. "Kakak rencana sambung Kuliah di mana?" Tanya Silvi. "Kakak rencananya di fakultas teknologi, Silvi sendiri mau sambung di mana di universitas kedokteran ya?" tanya kak Tristan "Kok kakak tahu?" Tanya Silvi. "Kan Silvi pernah cerita," "Cerita sama kakak?, kapan?, becanda ah kak Tristan ini, mana pernah kita ngobrol sebelumnya," ucap Silvi. "Hehe ... Iya Kakak pernah dengar Silvi lagi ngobrol sama kawannya Silvi," jawab kak Tristan sambil tertawa. "Oo iya rencana Silvi mau sambung di universitas kedokteran, makanya Silvi sering kejar les biologi," kata Silvi. “Kenapa Kakak milih masuk di kampus itu?” tanya Silvi. “Enggak tau ya, Kakak merasa cocok aja di kampus teknologi, mungkin karena Kakak orangnya penasaran, sering otak-atik bagian teknologi. Jadi kebawa aja sama hobby,” jawab Kak Tristan. “Oh gitu,” respon Silvi. “Ini makanannya,” kata pelayan yang datang dengan membawa makanan di nampan. “Makasih,” ucap mereka berdua. “Ya udah makan dulu kita Kak,” ucap Silvi. “Iya,” jawab Kak Tristan. Setelah selesai makan Silvi membuka pembicaraan. “Kak,” Silvi berkata pelan pada Kak Tristan. “Ya,” “Silvi ingin menjawab tentang kejadian yang di sekolah waktu perpisahan,” kata Silvi. “Heu eum, gimana man?” tanya Kak Tristan dengan penuh pengharapan. “Silvi minta maaf Kak, untuk menolak kakak tidak juga, untuk menerima kakak juga enggak bisa, karena Silvi Lagi fokus ke sekolah kak, kan kakak tahu Silvi lagi mengejar cita-cita Silvi untuk bisa masuk universitas kedokteran kalau memang nanti kita berjodoh Silvi tunggu Kakak datang setelah Silvi lulus kuliah,” berkata Silvi dengan hati-hati. Kak Tristan menghela nafas panjang. “Kakak terima apapun keputusan Silvi asalkan Silvi tidak terbeban dengan perasaan Silvi,” ucap Kak Tristan dengan sedikit keputus-asaannya. “Tapi kakak jangan marah,” Silvi memohon pada Kak Tristan dengan meraapatkan 2 telapak tangan di d**a tanda pengharapan. “Gak kok, Kakak gak marah, Kakak senang Silvi bisa berterus terang sama Kakak, karna bagi Kakak, melihat Silvi bisa senyum gini aja, Kakak udah bahagia kali, apalagi sekarang kita sedang duduk ngobrol berdua, ini udah lebih dari cukup untuk Kakak,” ucap Kak Tristan. Silvi tidak bisa berkata apa-apa lagi, ada perasaan bersalah yang terlalu dalam menyergap di hatinya, tapi dia gak bisa berbuat lebih, menolak Kak Tristan terang-terangan lebih tak berdaya bagi Silvi. Silvi larut dalam pikirannya sambil mengaduk minuman di depannya, hati dan pikirannya kacau. (“Bagaimana aku bisa membohongi orang sebaik Kak Tristan, aku berbohong dengan pura-pura pingsan di acara dia, sekarang aku berbohong kalau aku sedang fokus sama cita-cita ku, maafin aku Kak Tristan, aku benar-benar minta maaf, semoga Kak Tristan bisa menumbuhkan cinta untuk gadis yang lebih baik dari aku,”) Silvi berkata dalam hati. Suasana di antara mereka berdua menjadi hening, Kak Tristan pun sibuk dengan minumannya dan pikirannya sendiri. (“Andai kamu tau, rasa cinta ku pada mu melebihi rasa cintaku pada diriku, andai kamu tau, kamu adalah perempuan yang pertama yang membuat aku jatuh cinta dengan tatapan indah matamu, dengan manis senyum mu, penolakan ini tidak membuat aku ingin menyerah begitu saja, aku ingin kamu utuh jadi milikku, halal untuk menyentuhmu, aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk bisa mendapatkan hatimu,”) gumam Kak Tristan. “Vi, kalau Kakak minta sesuatu boleh?” tanya Kak Tristan. “Boleh-boleh aja Kak, mau minta apa?” “Kakak Cuma minta, Silvi tunggu kakak untuk melamar Silvi kalau udah tamat kuliah ya,” ucap Kak Tristan Deg! ... Hati Silvi bagaikan dihantam keras dengan batu, dia baru sadar, kalau kata-kata dia malah memberikan harapan untuk Kak Tristan, bukan mengakhiri perasaan Kak Tristan. (“Apa Kak Tristan benar-benar berharap ya?”) Silvi bertanya pada diri sendiri yang mulai gelisah. “Gimana?” tanya Kak Tristan lagi. “I ... i... Iya kak,” jawab Silvi gugup. “Kakak akan menunggu kapan Silvi siap nerima Kakak sebagai pendamping Silvi, karna Kakaksangat yakin, Silvi perempuan baik-baik yang bisa jadi ibu terbaik untuk anak-anak kita kelak,” ucap kak Tristan. Wajah Silvi merah merona mendapatkan pujian selembut itu dari Kak Tristan. "Makasih Kak, untuk pujiannya." tersenyum dengan menunduk sambil mengaduk minumannya. *** Setelah mengobrol banyak dengan kak Tristan, Silvi pun pamit pulang. Sedangkan Kak Tristan ada janji ketemu sama kawannya yang lain di tempat itu. Tanpa Silvi ketahui, ternyata Ridwan, temannya Kak Tristan mengupload video momen Kak Tristan menembak Silvi di acara perpisahan, dengan menandai f*******: Silvi. Yasser telah melihat postingan itu, tapi dia memilih untuk diam, karna dilihatnya media sosial Silvi aktif 3 jam yang lalu. Silvi membuka sosmed, dan dia kaget, kejadian 2 tahun yang lalu pun terulang kembali, tapi kali ini tokoh nya Kak Tristan. Tak ada yang Silvi khawatirkan selain perasaan Yasser, lagi-lagi Yasser hanya memberi emot love untuk postingan itu. Silvi memberanikan diri menelpon Yasser duluan, padahal selama mereka berpacaran, mereka tidak pernah telfonan, hanya sebatas chatan biasa. Tuttt ... Tuttt ... Tuttt Silvi menelepon Yasser. Yasser pun mengangkatnya. “Ha ... Halo, Yasser ...,” ucap Silvi dengan gugup. “Assalamu’alaikum,” Yasser memberi salam dan mengabaikan sapaan Silvi yang bukan salam. “Wa’alaikum salam wr wb,” jawab Silvi dengan mencoba menenangkan perasaannya. Mereka sama-sama terdiam beberapa menit. Tanpa ada yang melanjutkan obrolan. Kemudian Silvi memberanikan diri berbicara lagi. “Aku minta Maaf,” ucap Silvi. Video yang di upload Ridwan hanya menampilkan Kak Tristan menembak Silvi, tapi tidak menampilkan Silvi pingsan, Silvi belum memberi jawaban ya atau tidak di video itu, yang sebenarnya membuat Yasser galau ingin mengetahui apa jawaban Silvi. “Kenapa minta maaf?” Yasser balik bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karna bingung harus jawab bagaimana, Silvi menjawab asal-asalan. “Karna ... karna berkaitan dengan postingan di f*******: yang kamu kasih emot love,” jawab Silvi gugup. Mendengar jawaban Silvi, ada angin panas menyeruak masuk ke dalam degupan hati Yasser, dan melelehkan bulir bulir kecemburuan. Cemburu?, iya!, Yasser sebenarnya sangat cemburu dengan video itu, Kak Tristan cowok yang mengungkapkan cintanya untuk Silvi sangat perfecf, selain ganteng, dia juga pandai bernyanyi, beda jauh dengan Yasser, yang merasa dirinya hanya anak desa dan tidak mempunyai keahlian di bidang musik. Dalam hati Yasser, dia sangat ingin tahu, apa jawaban yang diberikan Silvi untuk Kak Tristan, tapi Yasser tidak ingin terlihat memaksa Silvi untuk mengatakannya, Yasser sabar menunggu, biar Silvi sendiri yang akan menjelaskan itu semua pada dia. “Iya, terus?” jawab Yasser singkat. “Terus apa?, jangan gitu, jangan cuek kek gitu, aku gak mau kita salah paham dan bertengkar,” ucap Silvi dengan suara berat menahan kegelisahan hatinya. “Terus jawabannya gimana?” akhirnya Yasser memberanikan diri untuk bertanya juga. “Jawaban apa? Jawaban untuk Kak Tristan?, kalau jawaban itu Aku tidak menerima Kak Tristan, karna aku udah mencintai orang lain,” Silvi mencoba jawab pertanyaan Yasser yang kurang jelas dengan sebaik mungkin. Yasser tersenyum bahagia, perasaannya seperti sedang menerima percikan cinta yang sangat dingin. “Kamu tidak menyesal?” Yasser bertanya lagi masih dengan nada cuek, padahal sebenarnya Yasser sangat ingin mendengar Silvi memberikan jawaban seperti yang dia harapkan. “Tidak, aku tidak menyesal, karna aku tidak bisa sia-siain perasaan orang yang aku sayang,” jawab Silvi meyakinkan Yasser. Lagi-lagi, Yasser di buat tersenyum bahagia oleh Silvi, jawaban Silvi menghadangkan hembusan panas pantulan kecemburuan, bulir-bulir kecemburuan itu seketika tenang di relung hatinya. Kini hati Yasser lebih berdamai dengan manis tutur jawaban pujaannya. “Aku tidak menjawab perasaan Kak Tristan di video itu, karna aku tidak mau buat Kak Tristan malu di depan umum, tapi aku udah kasih jawaban juga tadi kalau aku gak bisa terima Kak Tristan,” Silvi menjelaskannya lagi pada Yasser. “Aku gak bisa liat kamu sedang apa dan sedang bersama siapa disana, tapi Aku hanya berharap, semoga penantian aku tidak sia-sia,” ucap Yasser. “Insyaallah akan seperti yang kita harapkan,” jawab Silvi meyakinkan Yasser. “Aminn,” Yasser mengamini harapan mereka berdua. Mereka mengakhiri obrolan mereka, karna Tristan harus mengantar mamanya untuk mengambil cucian pelanggan Mamanya. “Ya sudah kalau gitu, aku mau ngantar Mama dulu ya,” ucap Yasser. “Iya, hati-hati ya,” jawab Silvi dengan lembut. “Makasih,” “Untuk apa?” “Untuk perhatiannya!” jawab Yasser. “Senang?” “Sangat!” “Jadi kapan mau antar Mamanya?” tanya Silvi bercanda. “Hahaha ... Sekarang!” jawab Yasser sambil tertawa. “Ya udah, Assalamu’alaikum,” “Wa’alaikum salam,” Mereka mengakhiri telponan mereka dengan senyum mengembang di wajah mereka masing-masing. *** Di tempat lain. Bagas, teman sekolah Silvi dan Kak Tristan sedang serius mengetik sesuatu di laptopnya. Setengah hari lebih dia mendesain tulisannya itu, akhirnya selesai. “Akhirnya selesai juga,” Bagas menatap puas pada hasil kerjanya sambil tersenyum penuh makna. Bagas mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu di ponselnya. Tidak berapa lama setelah mengetik, ponsel bagas berbunyi. “Halo Bagas,” suara penelpon dari ponsel. “Iya bos,” “Gimana, udah beres semua?” “Siap bos, sudah dikerjakan seperti yang bos inginkan,” “Kamu print yang banyak ya, biar tau rasa anak itu, sama kita pun dia cari lawan!” “Oke, siap bos,” jawab Bagas. “Atur strategi, kapan waktu yang tepat kita nyebarin itu brosur,” “Gimana kalau kita jumpa didekat tempat sasaran nanti malam?, sekalian ajak yang lain juga,” “Boleh, kamu atur terus semua, nanti kabarin aku jam berapa kita jumpa,” “Oke bos,” Mereka mengakhiri obrolan mereka. Bagas mulai ngeprint brosur itu lebih dari seratus lembar lagi sambil tersenyum licik. “Pan, nanti jam 9 malam kita jumpa di cafe sanja ya, di ajak sama bos,” ucap Bagas pada panji temannya lewat telpon. “Oke,” “Sekalian kamu telpon yang lain ya, aku lagi nyelesain print ini 100 lembar lagi.” “Siap!” Bagas lanjut ngeprint seratus brosur itu sampai selesai. ____ Jam 9 malam. “Gimana?, udah kumpul semua?” tanya salah satu dari mereka. “Sudah bos,” “Ya udah, yok kita langsung masuk ke sekolah, hati-hati jangan sampai ada yang ketahuan.” Ucap lelaki yang mereka sebut bos. Mereka pun menyelinap masuk kesekolah lewat belakang, tanpa diketahui penjaga sekolah. Mereka mulai beraksi dengan menempel brosur itu di beberapa titik, dan mengatur srategi untuk bisa menghamburkan brosur itu tepat diatas kepala orang sasaran mereka, tanpa diketahui siapa dalang dibalik ulah itu semua. “Gimana, udah selesai semua kan?” tanya Bos mereka. “udah bos, tinggal tunggu waktu untuk beraksi besok, dan melihat kehancuran dia,” jawab Bagas disambut tawa teman-temannya. Setelah selesai menyiapkan rencana mereka semua, mereka langsung keluar dari pekarangan sekolah dengan hati-hati agar tidak ketahuan. Ke esokan paginya. Kak Tristan bersiap-siap untuk ke sekolah melihat pengumuman ke lulusan. Sesampainya di sekolah, sudah banyak teman-teman Kak Tristan hadir disana, Kak Tristan berjalan seperti biasa menuju mading. “Sakit ya, cewek yang kita tembak ternyata lebih memilih cowok lain,” berkata salah satu teman sekolah Kak Tristan. “Iya, sayang ya, dimainin,” ucap yang lainnya. Kak Tristan yang tidak merasa perkataan mereka itu ditujukan untuknya langsung melanjutkan langkahnya menuju mading. Tiba-tiba ... “Sreett ....” Suara di atas kepala Kak Tristan, dan berhamburan banyak kertas dari atas membuat Kak Tristan menghentikan langkahnya. Teman-teman Kak Tristan yang lain ikut mengambil dan membaca isi kertas itu, termasuk Kak Tristan. “Penembakan yang sangat romantis, tapi berakhir dengan penolakan yang dramatis, karna yang ditembak ternyata pacar orang!, Wkwkwk.” Tulisan di kertas tersebut dengan foto Kak Tristan yang sedang menyanyi di acara perpisahan mereka, tapi sudah di edit dengan muka yang terlihat sangat memilukan, ditambah dengan caption “Kalian jaga ya pacar kalian, Karna aku pencinta wanita milik orang lain,” Teman-teman Kak Tristan menertawakan nasib Kak Tristan yang sial. Darah Kak Tristan mendidih panas, Kak Tristan meremas kasar kertas tersebut. Dan pergi keluar melajukan mobil secepat kilat. Ridwan dan Haikal teman dekat Kak Tristan yang baru sampai disekolah memanggil-manggil Kak Tristan, tapi tak di gubrisnya. “Mau kemana tuh si Tristan?” tanya Haikal pada Ridwan. “Mana tau gua, gua kan datang bareng loe,” jawab Ridwan. “Ya udah, masuk yok,” ucap Haikal. Mereka melangkah pergi menuju mading, dan melihat kertas berhamburan di halaman sekolah. Mereka mengambilnya, dan kaget dengan tulisan di kertas tersebut. “Gara-gara ini tadi, makanya Tristan buru-buru keluar, yok kita nyusul dia,” ajak Haikal. Ridwan mencegat Haikal. “Mau kemana?, kita liat pengumuman dulu, kita lulus atau tidak,” Ridwan menyadarkan Haikal. “Ohh iya, hampir lupa gua,” Mereka berdua langsung menuju mading dan melihat nama mereka berdua lulus. “Coba cari nama Tristan lulus tidak?” ucap Ridwan pada Haikal. Mereka mencari nama Tristan, dan lulus. Mereka berdua langsung meninggalkan sekolah dan mengejar Tristan dengan mobil. “Kita mau kejar Tristan kemana?, kita gak tau dia pergi kemana,” tanya Haikal. “Makanya, ini otak di pakek, jangan Cuma di pakek untuk game!” jawab Ridwan sambil menower kepala Haikal. “Coba lacak ponsel Tristan sedang dimana?” ucap Ridwan lagi. “Benar juga ya, kenapa gua gak kepikiran dari tadi,” jawab Haikal yang mulai melakukan pelacakan ponsel Tristan. “Wah gawat, dari arah-arahnya ini menuju rumah Silvi!” ucap Haikal panik. “Jadi gimana?, kita nyusul aja kesana ya, loe tau sendiri kalau Tristan lagi marah, bisa-bisa hilang kendali dia,” jawab Ridwan. “Iya, cepat kita nyusul aja!” Dengan secepat kilat mobil mereka meluncur menyusul Tristan, mereka tidak tau pasti keinginan Tristan menuju ke rumah Silvi, tapi mereka menduga ini ada kaitannya dengan isi kertas di sekolah tadi, karna tadi Tristan keluar dari sekolah dengan keadaan marah. Tristan dengan cepat melajukan mobilnya. “Kurang ajar, wanita munafik, bilangnya mau fokus belajar, gak taunya dia nolak gua karna laki lain!” pekik Kak Tristan sambil memukul setir mobilnya dengan tangan menggepal. Tristan sampai di rumah Silvi. “Silvi, keluar kau, Silvi!” panggil Tristan dengan kasar sambil mengetuk pintu rumah Silvi. Untungnya tidak ada orang lain dirumah selain Silvi. Silvi keluar membuka pintu. “Lho Kak Tristan, kok gak bilang-bilang mau datang?” Silvi menyambut kedatangan Tristan dengan ramah. Dengan cepat Tristan menarik lengan Silvi menuju halaman rumah dengan kasar. “Aduh Kak, pelan-pelan aja jalannya,” Silvi berusaha melepaskan tangan Tristan karna hampir terjatuh. “Dasar kau cewek munafik!” umpat Tristan dengan mata melotot pada Silvi. Muka Tristan memerah menahan emosi. “Maksud Kakak apa?” tanya Silvi kaget mendengar umpatan itu keluar dari mulut Tristan untuk dia. “Kau tolak aku bukan karna kau mau fokus sekolah kan!, tapi karna kau udah punya cowok!” “Kakak tau dari mana?” “Udah, jujur aja, dan setelah kau kasih harapan untuk aku, kau permaluin aku dengan nyebarin berita kalau kau tolak aku kan!” “Gak kak, Silvi gak pernah bilang sama siapa-siapa,” “Buktinya!, ini buktinya!, kalau mulut kau tidak ember, dari mana mereka tau?, atau mungkin ini kamu yang tulis!” Tristan memperlihatkan brosur itu pada Silvi. Silvi mengambil brosur itu, dan tercengang melihat isinya. “Sumpah Kak, Silvi gak tau apa-apa tentang brosur ini,” Tristan merampas kasar brosur itu, meremasnya dan melempar ke wajah Silvi. “Munafik kau, kau pikir aku bisa percaya gitu aja sama kau, setelah semua yang kau lakuin sama aku!” Tristan mencengkeram kuat lengan Silvi sampai-sampai Silvi mengaduh kesakitan. “Nyesal aku pernah berpikir kau cewek yang baik!” “Kak ... Sakit,” Silvi mengiba pada Tristan sambil mencoba membuka cengkeraman Tristan, tapi nihil. “Tristan udah udah cukup, tenangin diri kamu, kita pulang ya,” Ucap Haikal yang datang tepat waktu sama Ridwan. Tristan melepas kasar lengan Silvi. “Aku minta maaf,” ucap Silvi dengan mulai meneteskan air mata. “Gak usah sok baik kau minta maaf, kau itu licik dan munafik!” amarah Tristan kembali memuncak mendengar suara Silvi. “Tristan ... Tristan, udah ... Udah, kita pulang aja sekarang,” Ridwan mencoba menarik Tristan menjauhi Silvi. “Pulang dulu Vi ya,” ucap Haikal pada Silvi yang disertai anggukan kecil dari Silvi. Ridwan menarik Tristan masuk ke mobil, dan memilih menyetir mobil olehnya, karna Tristan masih dalam keadaan marah. Mereka berdua pergi ninggalin rumah Silvi, dan membawa Tristan ke tempat yang biasa mereka nongkrong. “Kita duduk disini dulu, sampai emosi kamu benar-benar reda,” ucap Ridwan. “Mbak teh manis dingin satu,” pesan Haikal pada pelayan cafe. “Ini Dek,” ucap pelayan itu membawa satu gelas teh dingin. Tristan meminum teh itu dalam sekali minum sampai habis. “Kurang ajar si Silvi itu, betul-betul cewek munafik!” Tristan masih terus mengumpat. “Sabar Tristan, tenangin diri loe dulu,” ucap Ridwan. “Loe tau Tris siapa yang nyebarin itu brosur?” tanya Haikal. “Gak tau gua, tiba-tiba aja ada yang nuangin dari atas kepala gua pas gua baru sampai!” “Berarti loe gak bisa nuduh Silvi juga dong, kalau ini semua ada campur tangan sama Silvi.” Ucap Ridwan. “Gak usah loe bela dia!, jelas-jelas ada hubungannya sama dia, kalau tidak, dari mana mereka tau kalau dia nolak aku karna dia udah punya pacar!” jawab Tristan dengan tangan menggepal. “Jadi Silvi tolak cinta loe Tristan?” tanya Haikal dengan ekspresi wajah kaget. “Udah deh, kenapa?, kamu mau ngejek aku juga?” Tristan menjawab pertanyaan Haikal dengan ketus. Haikal menjadi salah tingkah. “Ya bukan gitu, aku Cuma heran, kok bisa Silvi si cewek kutu buku itu tolak cinta raja sekolah kita cuma karna cowok lain, emang se keren apa sih cowok dia?” jawab Haikal. “Ya kalau udah ada cowok, kalaupun tidak keren, ya harus di tolak cowok lain, berarti dia cewek yang setia,” jawab Ridwan membela Silvi. “Loe masih saja ngebelain dia, kenapa loe kekeh banget ngebelain dia?, Loe suka sama dia?” hardik Tristan. “Ya gak gitu juga Tris, gua Cuma pengen loe itu berpikir jernih, loe tenangin diri loe dulu, jangan gegabah, yang pertama ini kesalahan kita, karna kita gak cari tau dulu Silvi udah punya pacar atau belum sebelum ngerencanain aksi loe untuk nembak dia, kedua, kita juga belum tau pasti siapa dalang dibalik ini semua,” jawab Ridwan. Tristan hanya diam, bagaimana pun juga dia membenarkan ucapan Tristan, dia belum tahu pasti siapa yang sudah ngerencanain itu semua. “Eh Ridwan, loe marentu upload video gua nembak cewek munafik itu kan, cepatan loe hapus, malas gua liat muka dia!” ucap Tristan pada Ridwan. Ridwan membuka ponselnya dan menyentuh aplikasi f*******:, dia membuka postingan itu, dan menghapusnya, padahal postingan itu sudah di sukai hampir seribu orang. “Udah ini,” ucap Ridwan. Tampilkan kutipan teks “Bagus,” Tristan menjawab dengan singkat. Di tempat yang berbeda. “Gimana aksi kita tadi malam?, gak sia-sia kan?” tanya Bagas pada kawan-kawannya. “Gak lah!, sukses besar!, kita berhasil buat dia malu dan marah!” jawab Fandi dan disambut tawa teman-temannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN