LINZIE - 8

1973 Kata
"Zie, ayo kakak antar." Aku membeku di tempat mendengar tawaran yang terlontar dari mulut Kak Bie. Aku sudah berniat meninggalkan meja makan setelah sebelumnya mencium punggung tangan Papa,Mama juga Kak Bie. Pagi ini semua anggota keluarga sedang berkumpul untuk sarapan bersama. Ada Papa, Mama, aku dan tentu saja Kak Bie. Namun, sedari tadi Kak Bie lebih banyak diam tak menimpali obrolan kami yang didominasi seputar rencana pernikahanku dengan Mas Roy. Papa dan Mama tampak begitu antusias. Berbeda sekali dengan Kak Bie yang sedari tadi tampak menahan amarah. Itu menurut penglihatanku. Dan semoga saja pemikiranku ini salah. Aku ingin Kak Bie merelakanku menikah dengan Mas Roy. Karena tujuanku menikah hanyalah untuk menyadarkannya bahwa aku dan dia adalah saudara yang selamanya tetap akan menjadi saudara. "Eum ... terima kasih, Kak. Tapi Zie berangkat sendiri saja. Ada hal yang harus Zie urus hari ini. Maaf," jawabku penuh penyesalan. Meski sebenarnya itu adalah caraku untuk menolaknya. Jika dulu aku akan dengan senang hati menerima tawaran serta bantuan dari Kak Bie. Tapi tidak untuk saat ini. Dulu, di mataku Kak Bie adalah pahlawanku. Di saat aku sedang malas membawa mobil sendiri karena macet dan rasa lelah, dengan senang hati Kak Bie akan mengantarku. Tidak cukup sampai di situ bahkan Kak Bie akan mentraktirku makan sampai aku kenyang. Dan apa pun yang aku mau, sebisa mungkin pasti Kak Bie akan penuhi. Ah, kenapa aku jadi teringat akan masa lalu bersama Kak Bie. Masa di mana aku dan Kak Bie benar-benar menjadi sepasang kakak beradik yang begitu rukun dan damai. "Zie ...." suara Mama memecah kecanggungan diantara kami. "Ya, Ma." "Mama lupa memberitahumu. Mamanya Roy telepon, beliau bertanya pada Mama. Kapan kamu akan datang ke butik untuk mengukur baju pengantin?" "Oh, itu Ma ... eum ... coba nanti Zie bicara dulu dengan Mas Roy. Setelahnya, Zie akan info ke Mama nanti." "Baiklah kalau seperti itu. Hati-hati di jalan." "Zie pergi dulu." Sebelum Kak Bie benar-benar menyusulku ke garasi, ada baiknya aku harus sesegera mungkin meninggalkan rumah. Bukan aku tak tahu bagaimana ekspresi wajah Kak Bie saat mendengar Mama dan aku membicarakan mengenai gaun pengantin. Wajah Kak Bie sudah mengeras dengan tatapan tajam menghunusku. Tapi aku pura-pura untuk tak mempedulikannya. Sampai di garasi, rupanya Kak Bie menyusulku. "Zie, tunggu!" Aku mengurungkan niat yang akan membuka pintu. Berduri dengan canggung karena Kak Bie berada tepat di hadapanku. "Apa kau yakin akan menikah?" tanyanya dan aku hanya menganggukkan kepala. Helaan napas kasar meluncur dari sela bibir Kak Bie. "Zie, apa kurangnya kakak? Coba katakan. Kenapa kau harus memilih pria lain daripada aku yang jelas sudah kau kenal baik sejak dulu." Ya, Tuhan! Kenapa Kak Bie tak juga menyerah. Aku harus bagaimana memberikan pengertian padanya. "Kak... Aku minta maaf jika sudah membuat kakak kecewa. Tapi percayalah, dengan aku menikah nanti, aku yakin sekali jika Kak Bie akan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku. Kita ini tidak ditakdirkan sebagai suami istri, Kak. Tapi, kita ditakdirkan bersama dalam ikatan kakak beradik." "Zie!" "Kak... Please! Jangan membuat semua semakin rumit." Tak mau lagi mendengar apa yang ingin Kak Bie katakan, aku bergegas membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Dengan tidak berperasaan kujalankan mobilku meninggalkan Kak Bie yang masih diam mematung menatap kepergianku. **** Huft, lega rasanya. Kuhela napasku dalam, sesaat setelah kudaratkan pantatku diatas kursi kerja. Akhirnya aku bisa sampai di kantor dengan selamat, dan tentunya tanpa hambatan yang disebabkan oleh Kak Bie. "Kamu kenapa Zie?" Kutolehkan kepala ke samping. Mas Roy menatapku penuh tanya. Lelaki itu tampaknya baru saja masuk ke dalam ruangan, karena pada saat aku masuk ke kubikelku tadi, aku tak melihat ada Mas Roy di meja kerjanya. Memang kubikelku dengan Mas Roy berada di satu ruangan yang sama dan hanya terpisah oleh sebuah partisi transparan. Baru seminggu yang lalu Mas Roy menempati singgasana barunya setelah sebelumnya, meja kerja lelaki itu berada di satu kubikel yang sama denganku juga Fia. Lebih tepatnya sejak Mas Roy dipromosikan untuk naik jabatan menjadi Technichal Manager. Karir Mas Roy memang bagus, karena dedikasi dan prestasinya pada perusahaan. Dia karyawan yang loyal juga. Di masa kerjanya yang memasuki tahun keempat, jabatan manager sudah dia dapatkan setelah sebelumnya sempat menjabat sebagai supervisor sekitar dua tahun lamanya. Melihat Mas Roy, membuatku teringat sesuatu. Banyak hal yang harus aku bicarakan dengannya terutama mengenai rencana pernikahan kami berdua. "Eum ... Mas ...!" "Kenapa?" "Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu, Mas. Eum ... sepulang kerja apakah Mas Roy ada waktu untuk membicarakan seputar rencana per__" ucapanku terhenti, Mas Roy sudah menautkan kedua alisnya menatapku. Fia datang dan masuk ke dalam ruangan. Itulah alasan kenapa aku tidak jadi melanjutkan ucapanku. Aku belum siap seandainya Fia mengetahui rencana pernikahanku dengan Mas Roy. "Pagi semua ...!" sapa Fia ramah, lalu meletakkan tas kerjanya di atas meja. Selanjutnya Fia duduk dengan anggunnya di kursi kerja. "Zie...!" aku yang sedang menatap Fia refleks menoleh kearah Mas Roy. "Kau tadi mau bicara apa?" Astaga, Mas Roy! kenapa tidak peka. Di sini ada Fia dan dengan santai dia menanyakan hal itu. "Eum ... nggak jadi deh, Mas. Lupa aku mau bicara apa tadi." Aku nyengir sambil menggaruk rambut belakangku. Fia menatapku curiga lalu beralih menatap Mas Roy. "Kalian sedang betgosip apa pagi-pagi." "Nggak ada,” jawabku cepat. Kulirik Mas Roy yang masih menatapku bingung. Kukibaskan tanganku memberi kode pada Mas Roy agar lelaki itu masuk ke ruangannya. Mas Roy paham dengan apa yang kuminta. Tanpa kata lekaki itu masuk kedalam ruang kerjanya sendiri. Aku kembali menekuri layar komputer bersiap memulai aktifitas dan mengerjakan semua tugas-tugasku. Drrrtt Ponsel yang ada di atas meja bergetar. Kulongokkan kepala menatap layarnya yang menyala. Ada satu pesan masuk pada aplikasi w******p. "Zie, kau tadi ingin bicara apa?" Ya, Tuhan! Ternyata Mas Roy masih penasaran dengan sesuatu yang ingin aku sampaikan tadi. **** Mataku rasanya sudah tidak dapat diajak kompromi. Perut kenyang dan mata mengantuk sepertinya sudah menjadi satu paket komplit. Ini baru jam dua siang, lewat satu jam after lunch. Aku berdiri merenggangkan otot tubuh yang terasa kaku, lalu berjalan gontai keluar dari ruangan menuju pantry. Membuka rak kabinet atas mencari cangkir beserta kopi instans yang biasanya tersimpan di dalam sana. Kakiku sedikit berjinjit, kepala mendongak dengan tangan terulur agar bisa meraih benda yang aku tuju. "Cari apa?" Aku menoleh kebelakang mendapati Mas Roy yang berjalan ke arahku. Dan aku tak menyangka karena kini tubuh menjulang Mas Roy sudah mendekat berada di belakang tubuhku. Melewati samping kepalaku, tangannya terulur menggapai cangkirku. "Ini yang kamu cari?" tunjuknya pada sebuah cangkir yang biasa aku gunakan untuk menyeduh kopi. Aku mengangguk, sungguh berada sedekat ini dengannya, menghirup dalam aroma parfumnya, membuatku gagal fokus dengan tujuan utamaku berada di pantry ini. "Kopinya sekalian atau tidak?" tanyanya, aku tergagap lalu mengangguk. Sedikit menggeser tubuhku ke samping. Karena posisi kami yang sebelumnya sangat tidak bagus bagi kinerja jantungku. Mas Roy mengulurkan kopi sachet kepadaku. Kuterima dan tak lupa memberikan hadiah sebuah senyuman untuknya karena telah membantuku. "Thanks, Mas." "Ya," jawabnya singkat karena kini Mas Roy sudah berbalik badan bersiap meninggalkanku. Aku teringat akan ucapan Mama tadi pagi, dan kupanggil dia. "Mas Roy...!" panggilku. Mas Roy yang sudah berada di ambang pintu pantry menoleh. "Kenapa, Zie? Butuh bantuanku lagi?" Aku menggeleng. "Bukan. Eum ... Mas Roy, nanti sore free tidak? Maksudku setelah kita pulang kerja nanti. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu, Mas." "Okay, nanti kita ketemuan. Di mana?" "Di coffe shop yang kemarin saja." "Baiklah." Mas Roy sudah melangkah, tapi kembali kupanggil namanya. "Mas!" Lelaki itu kembali menoleh lalu menautkan kedua alisnya. "Eum ... nggak jadi, deh. Nanti saja kita bicarakan sekalian. Maaf." "Yakin enggak ada yang mau kamu bicarakan lagi?" "Nggak ada." Lalu dia benar-benar meninggalkanku. Aku masih menatap punggungnya sebelum akhirnya teringat akan tujuanku yang ingin menyeduh kopi. Kenapa sekarang Mas Roy mampu menjungkir balikkan hatiku. Mungkin saja aku hanya terbawa perasaan dengan rencana pernikahanku dengannya. *** Sesuai janji, kami bertemu di sebuah coffe shop seusai pulang kerja. Aku mengendarai mobilku sendiri dengan Mas Roy yang mengikutiku dari belakang, tentunya dengan mengendarai mobilnya sendiri. Setelah memarkir mobilku di pelataran parkir coffe shop, aku keluar dari dalam mobil, begitupun dengan Mas Roy. Kami berjalan bersisihan memasuki coffe shop dan memilih kursi yang berada paling pojok. Agar lebih privasi untukku berdiskusi dengan Mas Roy. "Jadi ... apa yang ingin kamu bicarakan?" "Eum ... begini, Mas. Ini mengenai rencana pernikahan kita." "Memang ada apa? Ada masalah, kah?" "Ya. Sedikit, sih. Mengenai ...." aku menggaruk rambut sampingku sambil berusaha merangkai kata. "Begini Mas, waktu aku masuk kerja dulu, kan, ada perjanjian kontrak dengan bagian HRD. Dan di situ sudah dijelaskan, jika dalam kurun waktu dua tahun aku tidak boleh menikah." Kutatap Mas Roy yang tampak serius mendengarkan perkataanku. "Dan aku belum genap dua tahun bekerja di kantor. Kalau sampai perusahaan tahu aku menikah, maka konsekuensinya aku akan mendapat denda sesuai yang tertulis di kontrak," lanjutku. "Lalu?" tanya Mas Roy. "Aku bingung, Mas. Bagaimana dengan rencana pernikahan kita. Selain itu, bukankag di perusahaan juga ada larangan untuk tidak boleh menikah diantara sesama karyawan? Jika tidak, maka salah satu harus ada yang resign." "Aku tidak masalah kalau kamu mau resign?" "Mas ...." aku menggeram karena Mas Roy menanggapinya dengan santai. "Jika kita menikah nanti, aku masih sanggup menghidupimu Zie, sekalipun kamu nggak kerja." "Enak saja. Akunya yang nggak mau. Bagaimana pun juga aku masih ingin tetap kerja, Mas. Aku nggak mau merepotkan siapa pun. Aku juga nggak akan selalu menggantungkan hidupku pada Papa dan Mama. Apalagi kamu Mas." "Kenapa kamu bicara seperti itu. Jika kita menikah nanti, aku akan menjadi suami yang bertanggung jawab. Aku siap menafkahimu lahir dan batin." "Tidak semudah itu, Mas. Mas Roy juga tahu jika kita menikah karena memiliki tujuan masing-masing. Aku karena Kak Bie dan Mas Roy karena keluarga. Aku nggak mau, ya, Mas jadi gelandangan jika suatu saat nanti kita berpisah." "Zie ... Kamu ini ngomong apa?" "Ya, kan aku bicara masa depan. Siapa tahu nantinya Mas Roy menemukan wanita yang Mas Roy cintai. Lalu Mas Roy menceraikan aku. Jika aku masih bekerja, setidaknya aku masih ada penghasilan." "Ingat Zie! tidak akan ada yang mau menceraikanmu." "Sekarang Mas Roy bisa berkata seperti itu. Tapi tidak dengan nanti. Aku hanya ingin berjaga-jaga saja. Pernikahan kita berdua ini tidak dilandasi akan cinta. Mas Roy harus ingat itu. Yang menikah karena cinta saja masih bisa berpisah, bagaimana dengan kita." "Stop, Zi! Jangan berbicara terlalu jauh. Sekarang katakan saja apa yang kamu inginkan." "Kita menikah diam-diam saja. Tidak perlu memberitahu teman-teman kantor. Aku nggak mau Mas, kalau ketahuan HRD di kantor, dan nantinya harus bayar denda karena telah menyalahi kontrak kerja. Sayang duitnya, kan? Lagipula aku juga masih ingin tetap bekerja meskipun nantinya kita sudah menikah. Mas Roy setuju, kan?" Kulihat Mas Roy yang sedang berpikir lalu lelaki itu menghela napasnya. "Terserah kau saja, Zie. Aku ikuti apapun yang kamu inginkan." "Serius, Mas." Mas Roy mengangguk, "Ya." Namun, aku masih ragu. Apakah Mas Roy benar-benar menyetujui rencanaku atau hanya karena tidak enak hati mau menolaknya. "Yakin Mas Roy tidak keberatan dengan rencanaku?" Mas Roy menggeleng. "Zie, apa pun yang kamu inginkan, akan aku turuti. Aku tahu pasti sebelum mengatakan hal ini padaku, kamu sudah memikirkan baik dan buruknya. Jadi, aku tidak akan mempermasalahkannya." "Termasuk yang aku akan tetap bekerja?" "Ya, jika kupikir lagi mungkin lebih baik kamu masih tetap bekerja saja tidak masalah. Daripada kamu akan bosan jika hanya di rumah. Meskipun sebenarnya aku masih mampu membiayai hidupmu." "Ya, aku tak meragukan itu, Mas. Gajimu pasti akan lebih dari cukup jika hanya untuk membiayai hidupku." Aku terkekeh. Kami berdua saling terdiam sebelum akhirnya aku kembali bersuara, "Jadi deal, ya? Kita akan menikah secara diam-diam." "Astaga, Zie ...." "Hanya memastikan saja, Mas. Maaf. Ah iya, aku hampir lupa." "Apalagi." "Tadi pagi Mama pesan. Katanya Mama Mas Roy sudah menunggu kita untuk memesan baju pengantin." "Oh, itu. Bagaimana kalau besok kita datang ke butik?" "Besok, ya ... baiklah. Sepulang kerja kita ke butik. Nanti aku bilang ke Mama." "Oke." " Thanks, Mas."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN