bc

Mas Roy

book_age16+
3.3K
IKUTI
20.7K
BACA
others
contract marriage
goodgirl
bxg
like
intro-logo
Uraian

MAS ROY

Oleh : henisupatminah

Ini tentang aku Linzie Aisya, usiaku baru 25 tahun saat aku memutuskan untuk menerima tawaran menikah dari seorang lelaki.

Roy Gilbert, pria berusia 32 tahun itulah lelaki yang telah membantu dan menyelamatkan masa depanku, meskipun harus dengan cara menikahiku.

Sungguh aku tak mengerti kenapa jalan hidupku jadi serumit ini. Semua berawal dari keinginan yang tak masuk akal dari Habibie Nizzar, yang tak lain adalah kakak lelakiku yang kini telah berusia 33 tahun. Bagaimana mungkin Kak Bie, begitu aku biasa memanggilnya, mengatakan padaku jika dia ingin menikahiku.

Tentu saja aku tak hanya terkejut, tetapi juga tak habis pikir dengan apa yang telah Kak Bie katakan. Memang aku dan Kak Bie bukanlah saudara kandung, akan tetapi kami berdua sudah hidup bersama sejak aku masih kecil.

Dan aku sampai kapan pun tak akan mungkin menerima Kak Bie sebagai suamiku. Di tengah kebimbanganku dan kesulitanku untuk menolak semua keinginan Kak Bie, Mas Roy datang menawarkan bantuan kepadaku.

Aku menerima semua solusi yang diberikan Mas Roy untuku dengan segala konsekuensi yang harus kuterima seumur hidupku.

chap-preview
Pratinjau gratis
LINZIE - 1
Kujatuhkan tubuhku di atas kursi kerja. Memijit pelipis yang semakin berdenyut. Beban pikiran yang kurasakan beberapa hari ini membuat sakit kepalaku semakin menjadi. Kupejamkan mata berharap rasa sakitnya mereda. Harusnya aku izin saja tidak datang ke kantor hari ini dan beristirahat di rumah. Namun, mengingat kondisi tidak nyaman yang kurasakan setiap berada di rumah, membuatku lebih memilih keluar dari rumah. Hanya office inilah tempatku untuk menenangkan diri. Tempat ternyamanku saat ini. "Zie, kamu kenapa?" Fia rekan kerja satu ruangan denganku, menatapku saat baru saja dia masuk ke dalam ruangan. "Pusing ... dikit sih," jawabku. Fia mendekatiku menempelkan punggung tangannya di dahiku. "Enggak panas." "Aku cuma pusing, Fi. Bukan demam," sahutku lalu melepaskan sling bag yang masih kupakai dan meletakan di atas meja. Beginilah aku, setiap pergi kerja lebih memilih menggunakan tas ransel atau tas selempang, daripada menggunakan handbag seperti yang kebanyakan karyawan perempuan pakai di kantor ini. Jika dibilang aku ini tomboi tidak juga. Tapi juga tidak sefeminim perempuan pada umumnya. Bisa dikatakan aku ini biasa-biasa saja, barang-barang yang kupakai pun standard dan tak harus branded. Asal merasa nyaman, ya aku pakai. "Pusing kenapa? Kulihat dari kemarin tak semangat gitu." Kuembuskan napas kasar, lalu beranjak dari dudukku. "Mau ke mana?" tanya Fia. "Pantry. Aku butuh kopi sepertinya." Setelahnya, aku melenggang pergi meninggalkan ruangan. ***** Aroma kopi yang menguar di indera penciumanku sedikit mampu menetralisir rasa pusing yang mendera. Aku mulai meneguknya perlahan. Saat cairan hitam pekat itu melewati tenggorokanku, kupejamkan mataku menikmati sensasi rasa pahit berpadu dengan sedikit rasa manis dari gula yang kucampurkan dengan kopi. Kubawa cangkir yang masih berisi lebih dari separoh isinya kedalam ruang kerjaku. Ruangan yang tadi masih sepi sekarang sudah ramai oleh karyawan yang mulai berdatangan. Fia hanya melirik ku sekilas saat aku melewati depan meja kerjanya. Setelah meletakan cangkir di atas meja, kembali aku duduk di atas kursi. Membuka slingbag-ku dan mengambil ponsel di dalamnya. Membuka aplikasi w******p dan keningku berkerut. Kusandarkan punggungku pada sandaran kursi. Tangan diatas meja masih memegang ponsel. "Kenapa tadi tidak menunggu Kakak? Kan, bisa Kak Bie antar ke kantor." Rangkaian kata yang dikirimkan oleh Kak Bie kepadaku. Memang sengaja aku keluar rumah pagi-pagi sekali. Tujuan nya hanya satu. Menghindari Kak Bie. Tapi kenapa seolah Kak Bie tidak perduli dengan semua sikapku yang jelas-jelas berusaha menghindarinya. "Arghh ...." kupukul kepalaku beberapa kali dengan kepalan tanganku sendiri. "Zie ... are you okay ?" Aku terjengit kaget. Fia sudah berdiri disampingku merangkul bahuku. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Menyandarkan kepalaku di perut Fia. Fia ini selain sebagai rekan kerja juga merangkap sebagai sahabat terbaikku. Segala permasalahan hidup ku hampir delapan puluh persen Fia pun mengetahui nya. Karena biasanya hanya kepadanya lah aku sering bercerita. Aku punya banyak teman, tapi hanya pada Fia lah aku merasa bisa berbagi kisah kehidupan. Dan Fia akan dengan senang hati mendengarkan keluh kesahku. Tak jarang pula dia yang akan berbagai solusi atas semua permasalahanku. "Zie kenapa tuh, Fi?" Aku mendengar suara Mas Roy yang bertanya pada Fia. "Tidak tahu," jawab Fia ketus. Aku mendongak menatap Fia yang masih saling pandang dengan Mas Roy. "Fi ...! " panggilku lirih membuat Fia menunduk beralih menatapku. "Kamu tidak sedang baik-baik saja. Ada apa?" Fia memicing menatapku dan aku melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya. Kuraih cangkir kopiku dan kembali menyesapnya. Fia menyeret kursi mendekat padaku. "Ayo cerita." Kembali kuembuskan napas kasar. "Kak Bie ...." Hanya satu kata itu yang kuucapkan, tapi Fia sudah langsung paham dengan maksudku. "Kenapa lagi dengan Kak Bie. Ngajakin kawin?" "Nikah Fia ... bukan kawin," protesku. "Ya sama aja, kan. Nikah pun ujung-ujungnya juga kawin." Kupukul pelan lengan nya dan dia terkekeh. "Terus ...." Fia mulai penasaran. "Ya, terus ... Aku kabur, Fi. Masak iya aku bilang oke kak kita nikah, ya nggak mungkinlah, Fi!" "Sampai kapan kamu bisa kabur dari Kak Bie?" " Entahlah, Fi. Aku pun tak tahu." Aku mengedikkan bahu. ***** Habibi Nizzar, dia adalah kakak lelakiku. Lebih tepatnya adalah kakak angkatku. Hampir sebagian teman kerjaku tahu dan kenal padanya karena Kak Bie, begitu biasa aku menyapanya, sering sekali mengantar jemputku ke kantor. Tak terkecuali Fia. Sahabatku itu juga sudah paham betul dengan Kak Bie. Bahkan mengenai cerita antara aku dan Kak Bie, Fia tahu semuanya. Di luar dari aku yang sering bercerita kepadanya juga karena perlakuan Kak Bie terhadapku yang sudah dipahami dengan baik oleh Fia. Dan sekarang, lelaki itu sudah duduk dengan tampannya di sofa yang berada di lobi kantor. Apalagi jika bukan menungguku di saat jam pulang kantor seperti ini. Padahal dari pagi aku berusaha menghindari nya, tapi sekarang justru dia sudah ada lagi disini. Lalu bagaimana caranya aku bisa menjauh dari nya jika Kak Bie selalu saja mendekat kepadaku. "Woi ...." senggolan lengan berotot Mas Roy membuatku terkejut. "Astaga ...! Ish Mas Roy. Kaget tau." "Ngapain berdiri di sini?" tanyanya menatapku tajam. Mas Roy ini rekan sedivisi denganku. Aku dan dia sama-sama bekerja di bagian Technical. Hanya saja yang membedakan, jika aku dan Fia bekerja di bagian Technical Service Engineer sementara Mas Roy di bagian Technical Marketing Supervisor. Memang sih, jabatan Mas Roy lebih tinggi satu level diatasku. Tapi hal itu tidak menjadi penghalang untuk persahabatan kami. Team Technical yang ada di perusahaan ini tidak lebih dari sepuluh orang. Dan diantara mereka hanya dengan Fia dan Mas Roy lah aku merasa lebih dekat dan berteman dengan nyaman. ***** "Zie Zie sayang ...!" Deru napas hangat menyapu permukaan kulit wajahku. Aku terkesiap. "Mas Roy," ucapku geram. Mendorong wajahnya menjauh dari wajahku. Bagaimana aku tidak kaget jika wajah tampan Mas Roy begitu dekat di depan wajahku. Mas Roy tergelak."Habisnya kamu ngapain bengong di sini." "Oh itu .... anu ...." aku menggaruk rambut belakangku. Bingung mau menjawab apa. Sejatinya aku malas bertemu dengan Kak Bie yang untung nya belum melihatku yang tengah berdiri di belakang tembok ruang Recepsionist. "Itu sepertinya kakakmu, kan?" Mas Roy berucap sambil melongokkan kepala ke depan. Mas Roy memang sudah tahu dan sudah kenal dengan Kak Bie. Selain karena Kak Bie yang sering mengantar jemputku ke kantor juga karena Mas Roy pernah mengantarkan ku pulang ke rumah. Kebetulan nya lagi bertemu dengan Kak Bie. "Iya," jawabku cepat. "Lha terus ngapain masih bengong di sini?" tanya Mas Roy lagi dan aku hanya bisa nyengir. " Eh tapi ya Zie ... sepertinya sudah lama aku tak melihat kakakmu." lanjutnya. "Dia kerja di luar kota." "Pantesan jarang lihat antar jemput kamu. Ya udah sana buruan pulang." Mas Roy mendorong-dorong punggungku dan aku tak bergeming. "Mas Roy sendiri ngapain masih di sini?" tanyaku menyelidik. "Ini aku juga mau pulang." "Ya udah kalau begitu kita barengan aja ya, Mas. " Kulihat Mas Roy mengerutkan alis. "Barengan?" tanyanya bingung. Aku manggut-manggut. "Bareng ke parkiran ... hehehehe. " aku nyengir. "Ngapain? Kamu kan dah dijemput loh." tunjuk mas Roy ke arah Kak Bie. "Aku tadi bawa mobil sendiri, Mas." "Lha kalo begitu ngapain minta jemput segala. Dasar cewek aneh." Aku menggandeng lengan Mas Roy, berniat mencari perlindungan padanya. Badan Mas Roy yang tinggi cukup mampu menyembunyikan tubuhku yang sedikit mungil. Setidaknya hanya sampai di parkiran. Area parkir ada di samping lobi. Tak harus melewati dimana Kak Bie berada, akan tetapi jika aku berjalan seorang diri sudah pasti akan dikenali jika seandainya tak sengaja Kak Bie melihat. Jika berjalan dengan Mas Roy keuntungannya adalah tubuhku akan tertutupi oleh tubuh besar Mas Roy. Sehingga Kak Bie tak akan melihatku. Tubuh Mas Roy menegang mendapat sentuhan tanganku. Apalagi aku yang bergelayut manja di lengannya membuat Mas Roy menatapku ngeri. Aku tidak perduli asalkan aku bisa lari dari Kak Bie. "Ayo mas, buruan ...." kutarik lengan Mas Roy dan sedikit menyeret nya. Mas Roy hanya terdiam saat aku semakin menempelkan tubuhku padanya. Jantungku sudah berdegub kencang. Entah karena untuk pertama kali aku sedekat ini dengan Mas Roy atau karena aku takut ketahuan Kak Bie. Entahlah aku tidak tahu. Yang kupikir kan sekarang hanyalah harus menjauh dari Kak Bie. Titik. Dan betapa aku merasa lega begitu menginjakan kaki di area parkir. Kulepaskan tangan ku yang tadi melilit lengan Mas Roy. "Thanks, Mas." aku mendongak menatapnya. Mas Roy hanya tersenyum simpul tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Padahal biasanya dia akan sibuk bertanya ini dan itu jika ada hal yang tidak mengena atau hal yang membuat dia penasaran. Kutinggalkan Mas Roy yang masih berdiri mematung. Agak heran sebenarnya dengan kelakuannya kali ini. Tapi aku tak ada waktu lagi dan harus segera melarikan diri meninggalkan kantor. ***** Sejak di perjalanan tadi ponselku tak henti nya meraung. Siapa lagi pelakunya jika bukan Kak Bie. Kakak ku itu terus saja menelepon dan mengirim berpuluh-puluh chat kepadaku. Tapi tak kuhiraukan. Aku hanya ingin segera pulang dan mengurung diri di dalam kamar sebelum Kak Bie datang. Dan benar saja aku tak melihat mobil Kak Bie di halaman depan rumah. Bergegas aku turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Mendapati Mbok Isah yang berkutat di dapur. "Sore mbok. Masak apa hari ini?" Aku sudah berdiri di belakang Mbok Isah meneliti makanan apa yang sedang beliau masak. "Haduh Zizie ... bikin simbok kaget saja." Setelah mencuci tangan aku segera mengambil piring. "Mama kapan pulang sih mbok." "Katanya lusa." "Masih lama," desahku. Jujur aku merasa kurang nyaman jika hanya berdua dengan Kak Bie tanpa adanya Papa dan Mama di rumah ini. Meskipun masih ada Mbok Isah dan Pak Darman, tukang kebun merangkap driver Papa. Jika ada Papa dan Mama, Kak Bie tidak akan berani menunjukan ketertarikannya terhadapku. Akan tetapi jika di rumah hanya ada kami tanpa papa dan mama, maka bisa kupastikan jika perlakuan Kak Bie padaku membuatku kurang nyaman. Kak Bie yang akan terus menempel padaku, mengikuti kemanapun kebaradaanku. Belum lagi tatapan memuja yang hanya ditunjukan kepadaku. Sungguh membuatku merasa tidak nyaman. Dan lama kelamaan aku menjadi risih sendiri. Perhatian dan kasih sayang yang diberikannya padaku sudah tidak seperti dulu. Bukan lagi perhatian dari seorang kakak lelaki kepada adik perempuan nya. Melainkan perhatian dan kasih sayang dari seorang lelaki yang memuja perempuan. Tak hanya satu kali dua kali kak Bie menyatakan perasaan cintanya padaku. Dan dengan terang-terangan Kak Bie mengatakan jika dia jatuh cinta kepadaku. Melihatku tak lagi sebagai adik perempuannya. Melainkan sebagai perempuan yang ingin dijadikan kekasihnya. Parahnya lagi, yang membuatku benar-benar menghindarinya dan enggan bertemu dengan nya adalah karena permintaan nya yang ingin menikahiku. Bahkan Kak Bie juga mengatakan jika setelah kepulangan papa dan mama, dia akan membicarakan hal ini pada mereka. Aku rasa dia sudah gila. Apa coba yang ada di otaknya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
305.8K
bc

Hubungan Terlarang

read
506.9K
bc

My Husband My Step Brother

read
55.3K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
77.4K
bc

Rujuk

read
925.5K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
51.5K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
54.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook