Masih memikirkan tentang perkataan Fia kemarin. Semalaman aku tidak bisa tidur. Bukannya takut sama Kak Bie, melainkan berpikir dan berpikir ke mana aku harus mencari pacar atau calon suami.
Untung saja Papa dan Mama sudah kembali ke rumah. Jadi aku tak perlu lagi bersembunyi ke dalam kamar seperti kemarin. Kak Bie masih berperilaku aneh terhadapku, akan tetapi tidak senekat selama tak ada Papa dan Mama di rumah. Dan sebisanya aku masih menjaga jarak dengannya.
Seperti hari ini, lagi dan lagi aku berangkat ke kantor lebih pagi. Bahkan aku rela tidak ikut sarapan pagi dengan Papa dan Mama. Biarlah perut ini keroncongan asalkan aku bisa kabur dari Kak Bie. Sesampai di kantor, aku bernapas lega karena bisa lolos dari Kak Bie. Setelah menyimpan tas ke dalam laci aku bergegas menuju pantry. Membuat secangkir teh hangat di pagi hari. Sepertinya cocok untuk mengganjal perut yang tidak sempat terisi.
"Pagi-pagi sudah di sini?"
Aku terjengit kaget, bahkan reflek aku mengelus dadaku yang tiba-tiba berdetak kencang.
"Mas Roy ...! Kenapa suka sekali mengagetkanku," ucapku geram.
Mas Roy justru terkekeh lalu duduk di salah satu kursi yang ada di dalam pantry.
"Kulihat akhir-akhir ini kamu sering datang pagi-pagi ke kantor."
Aku menoleh melalui bahu dan dapat kulihat jika Mas Roy menatapku yang berdiri memunggunginya. Selesai mengaduk teh dalam cangkir aku membalikkan badan, ikut duduk di kursi yang ada di depan Mas Roy.
"Mau sekalian, Mas," tawarku sambil menunjuk cangkir teh milikku.
"Thanks. By the way, jangan mengalihkan pembicaraan, Zie. Aku tanya serius, loh. Karena kurasa ada yang tidak beres denganmu akhir-akhir ini." Mas Roy kini menelisik membuatku semakin salah tingkah. Ketahuan sekali jika aku memang sedang menyembunyikan suatu masalah.
"Ck ... Mas Roy ini ...." aku berdecak lalu menghela napas lewat mulut.
"Apa kubilang, kamu itu kelihatan banget tidak sedang baik-baik saja."
Sebegitu kentaranyakah keadaanku dimata teman-temanku. Apakah aku perlu bercerita dengan Mas Roy. Tapi tak ada salahnya juga mendengar pendapat dari kubu lelaki. Jika kemarin aku sudah mendapat saran dari Fia, tak ada salahnya sekarang aku mendengar saran dari Mas Roy.
"Eum ... Mas ...!" ucapku ragu.
"Ya ... cerita saja. Aku siap mendengarkan. Siapa tahu juga aku bisa memberikan solusi. Jujur Zie, kondisimu itu jika dibiarkan bisa fatal akibatnya."
"Tidak sampai segitunya kali, Mas!" protesku.
Mas Roy tergelak lalu menatapku. "Ayo cerita. Keburu banyak yang datang nanti."
"Okay, okay ... eum ... jadi begini, Mas. Sebenarnya, aku sedang bermasalah dengan Kak Bie."
"Kak Bie ... bukannya kakakmu?"
Aku mengangguk. "Tepat sekali. Kak Bie memang kakakku. Tapi, dia hanyalah kakak angkatku, Mas. Kita berdua bukan saudara kandung."
"Apa? Serius? Sumpah, aku baru tahu hal ini. Okay ... okay ... sorry. Lanjutkan .... " ucapnya dengan mimik serius seolah tidak sabar mendengar kelanjutan ceritaku.
"Aku bukanlah anak kandung Papa dan Mama. Kak Bie lah yang anak kandung mereka. Aku diangkat sebagai anak saat usiaku tujuh tahun. Karena dari kecil aku terbiasa bersama Kak Bie, terbiasa disayangi Kak Bie hingga kenyataan yang aku ini hanyalah anak angkat hampir terlupakan. Beberapa tahun lalu saat aku lulus kuliah dan awal-awal bekerja di kantor ini, Kak Bie mengaku bahwa dia cinta sama aku, Mas. Bukan lagi cinta sebagai kakak pada adiknya. Melainkan ... ah begitulah. Aku yakin Mas Roy mengerti maksudku."
Mas Roy seolah tak percaya dengan ceritaku. Sudah membuka mulutnya ingin bertanya, tapi justru kekehan yang ke luar dari sela bibirnya.
"Dan yang membuatku pusing sekaligus bingung, semenjak Kak Bie pulang kembali ke rumah sebulan lalu, intensitas pendekatannya kepadaku semakin menjadi. Bahkan dia berani mengajakku menikah, Mas."
"Hah? Menikah? Serius Zie? Terus ... terus. Kamu terima?"
"Ya, enggaklah, Mas! Sudah gila kalau aku terima. Dengar, ya, Mas Roy! Kak Bie itu adalah kakakku sampai kapan pun. Dan tak akan berubah status menjadi pacar apalagi suami. Aku tahu yang Kak Bie sangat menyayangiku. Begitupun aku, Mas. Aku sayang dengan Kak Bie karena dia kakak satu-satunya yang selama ini senantiasa menjagaku. "
Aku dapat melihat wajah serius seorang Mas Roy. Pasti dia tak menyangka dengan rumitnya masalahku.
"Jadi ini yang membuat hidupmu tak tenang beberapa hari ini?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Mas Roy tau, kan? Pengakuan Kak Bie menjadi beban pikiranku. Aku sudah menolaknya dan aku sudah menjelaskan panjang lebar bahwa aku selamanya akan tetap menjadi adiknya. Tak akan berganti status menjadi istrinya. Dan kamu tahu Mas apa jawabannya?"
"Apa?"
"Dia akan berbicara dengan Papa dan Mama. Kak Bie akan berterus terang tentang perasaannya kepadaku. Dia juga akan meminta ijin pada Papa dan Mama untuk menikahiku. Apa tidak gila itu namanya." Aku mulai tersulut emosi hanya dengan bercerita seperti ini.
"Kurasa kakakmu itu sudah benar-benar tergila-gila padamu. Buktinya dia mau mengambil resiko terberat sekali pun."
"Justru itu, Mas. Aku tidak ingin menikah dengannya. Selain karena aku tidak mencintainya juga karena aku tidak ingin hubungan keluarga akan pecah hanya karena cinta gilanya itu."
"Zie ... kalau seperti itu, ada baiknya bawa kekasihmu buat segera melamarmu. Dan paksa dia agar mau mengawinimu. Eum, maksudku menikahimu. Simpel, kan."
"Simpel apanya? Enak aja kamu ngomongnya, Mas. Lagian, nih, ya ... Mas Roy kenal aku sudah berapa lama coba."
"Ya, semenjak kamu kerja di sini lah."
" Tuh, kan ... itu berarti Mas Roy kenal aku sudah setahun lebih, karena aku kerja di sini juga sudah satu setengah tahun. Dan selama aku jadi temenmu, Mas Roy pernah nggak lihat aku yang sama cowok gitu? Maksud aku yang bawa pacar atau kalau enggak nemuin aku yang lagi nge-date gitu? Pernah nggak?"
Mas Roy terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya.
"Setahuku hanya kakakmu itu yang ke mana-mana selalu mengikutimu."
"Tepat sekali ... itu artinya aku nggak ada pacar, Mas Roy. Jadi, siapa coba yang mau aku suruh ngelamar dan niakahin aku kalau akunya tak ada pacar."
"Ya, sudah kalau begitu biar aku aja yang ngelamar dan nikahin kamu. Gimana?"
"Jangan bercanda,Ck. Mas Roy tidak perlu ikutan gilanya Kak Bie, please! Kemarin, Fia juga sudah nyaranin aku buat cari pacar."
"Ya, terus ... daripada kamu susah-susah cari pacar mending terima tawaranku. Beres, kan. Case closed."
"Ckck ...." aku berdecak bangkit dari dudukku lalu menyesap teh yang mulai dingin. Meneguknya hingga tandas. Setelah mencuci gelasnya tanpa menghiraukan Mas Roy lagi, aku berniat keluar pantry.
"Zie, mau ke mana? "
"Balik ke ruangan. "
"Tawaranku gimana? Aku serius loh, Zie."
Aku hanya menggelengkan kepalaku dan berlalu pergi meninggalkan Mas Roy. Ada-ada saja. Bukannya memberi solusi malah menambah pusing kepalaku.
***
Semalam hampir saja Kak Bie mengutarakan niatnya pada Papa dan Mama. Untung saja aku berhasil mencegah. Kutarik lengan Kak Bie menuju teras belakang dan aku bicara padanya bahwa aku akan segera menikah. Tapi bukan dengannya melainkan dengan orang lain. Awalnya Kak Bie sempat tidak percaya karena menganggap aku hanya mencari cara untuk menolaknya.
Namun, dengan berbagai cara dan alasan aku meyakinkannya dan berbohong kepadanya jika dalam waktu dekat akan ada lelaki yang membawa kedua orangtuanya ke rumah ini untuk meminangku. Barulah Kak Bie terdiam lalu meninggalkanku. Gara-gara kebohonganku tadi malam, bukannya aku merasa lega justru semakin bertambah pusing. Bagaimana aku tidak bertambah pusing jika calon pacar pun aku tak ada. Bisa-bisanya yang aku bilang akan dilamar seorang pria.
"Ah, bodoh ... bodoh ...." kujambak rambutku frustrasi. Tak sadar jika kelakuanku barusan mendapat tatapan heran beberapa pasang mata.
"Ppssstt ... ppssstt ...."
Aku menoleh mendapati Fia yang melotot kepadaku. Aku nyegir dan mengatupkan kedua telapak tanganku meminta maaf.
Sedari tadi pandangan mataku fokus menatap layar komputer akan tetapi fikiranku melayang tak tentu arah. Berusaha kembali fokus mengerjakan design yang sudah menumpuk. Jangan sampai aku salah perhitungan jika tidak ingin berakibat fatal pada proyek di lapangan.
Akhirnya jam makan siang pun tiba, lega rasanya. Bukannya aku ingin buru-buru makan, hanya saja aku butuh mengistirahatkan pikiran. Jika seperti ini terus-terusan lama-lama aku bisa gila.
"Makan yuk buruan!" Fia sudah berdiri di sisi tubuhku tidak sabar ingin segera menyeretku ke kantin. Namun, karena aku sedang tidak nafsu makan, dengan malas aku mendongak menatap Fia.
"Makan duluan aja deh, Fi! Aku lagi males makan."
"Elah ... males makan ... ck." Fia menatapku tajam lalu berdecak tidak suka dengan jawaban yang aku lontarkan.
"Aku nggak yakin tadi pagi kamu sarapan? Dan sekarang diajak makan siang pun menolak. Jangan males makan, kau jadikan alasan, Zie," ucapnya lagi.
Fia itu selalu tau, seolah dia itu cenayang yang bisa membaca dan tahu segala hal tentangku. Bahkan dia pun tau jika pagi tadi aku melewatkan jadwal sarapanku. Aku hanya tersenyum masam menanggapinya.
"Yakin tetap nggak mau pergi lunch?" tanyanya sekali lagi dan aku mengangguk.
"Oke lah. Kalau begitu aku tinggal dulu. Nanti aku bungkusin deh, ya. Bye."
"Kamu memang sahabat terbaikku, Fi," ucapku lirih mengiringi kepergian Fia yang keluar dari ruang kerja kami.
Sepeninggalan Fia, aku memilih untuk memejamkan mata. Seperti kebiasanku selama ini yang selalu menelungkupkan kepala di atas meja. Rasanya baru beberapa menit aku berhasil mengistirahatkan otakku, saat kudengar ketukan di atas meja. Tidak mungkin Fia, karena dia baru saja meninggalkan tempat ini. Lebih memilih melanjutkan tidurku, akan tetapi kembali ketukan itu kudengarkan. Lama-lama risih juga mendengarnya. Kuangkat kepala dan sedikit mendongak.
"Mas Roy!" ucapku masih dengan mengumpulkan separo nyawa, aku menatap lelaki yang berdiri menjulang di depan meja kerjaku.
"Zie! Aku cuma mau kasih tau. Tawaranku kemarin masih berlaku." Setelah mengatakan itu, Mas Roy berlalu meninggalkanku keluar dari ruangan. Memang di kantor ini setiap divisi memiliki ruangan sendiri-sendiri yang dipisah oleh partisi. Dan karena aku, Fia juga Mas Roy adalah rekan sedivisi, jadinya kami berada di satu ruangan yang sama. Setelah kepergian Mas Roy aku sudah akan berniat melanjutkan tidurku, tapi kuurungkan demi mengingat kembali perkataan Mas Roy barusan.
Penawarannya masih berlaku. Itu yang tadi lelaki itu bilang. Maksudnya apa coba? Aku berusaha berpikir, akan tetapi karena kinerja otakku memang sedang bermasalah, jadinya aku tak mampu memecahkan teka-teki yang sebenarnya sepele. Aku masih terdiam dengan fikiran kosong. Sebenarnya tidak baik melamun seorang diri seperti ini. Hanya saja aku terlalu malas mau berbuat apa pun. Beban pikiranku tak mampu aku bawa seorang diri. Sebelum menemukan solusi, aku tidak akan bisa hidup tenang. Bagaimana jika Kak Bie benar-benar bercerita pada Papa dan Mama. Apa yang akan kulakukan. Tidak mungkin juga Papa dan Mama akan menuruti keinginan Kak Bie dengan menikahkanku dengan kakakku sendiri.
Kotak stereo foam yang tiba-tiba muncul di depan wajahku membuatku mengerjab.
"Makan, woi! Jangan ngelamun terus."
Aku tersenyum pada Fia. Baik sekali dia telah membawakan aku makanan.
"Thanks, Fi."
"You are welcome. Buruan dimakan. Keburu habis jam istirahat kita."
Kubuka kotak stereo foam itu dan aroma gurih bakmi goreng menusuk indera penciumanku. Segera kuambil sumpit dan mulai menikmati lezatnya makanan ini. Sungguh rasanya luar biasa. Setelah pagi tadi melewatkan sarapan, cacing yang ada dalam perutku ini bersorak kegirangan menerima jatahnya.
Entah karena kelaparan atau karena kelezatan makanan ini, hingga aku baru menyadari saat tiba-tiba satu cup coffe late sudah ada di atas meja kerjaku. Aku mendongak ternyata Mas Roy pelakunya. Tentu saja aku tersenyum kegirangan. Punya teman-teman sebaik dan sepengertian mereka.
"Thanks, Mas."