Penawaran Kerja

1077 Kata
Toeng.. toeng.. toeng.. 10.00 WIB bel pertanda istirahat telah berbunyi. Seluruh murid bergegas keluar kelas dan pergi memenuhi kantin sekolah untuk mengisi perutnya. Sebagian besar murid memang mengidolakan kantin yang berada di pojok itu. Selain harganya yang murah dan enak, boleh ngutang juga, lho! Andin tidak seperti murid lainnya, ia memilih menghabiskan waktu di dalam kelas. "Yey! Akhirnya ayam goreng lagi," Andin membuka tempat makan yang dibawakan oleh Bu Ranti. Di dalamnya sudah tersedia ayam goreng yang siap untu Andin lahap. "Eh Andin!" Tegur perempuan gemuk yang berasal dari kelas sebelah, Tisya namanya. Andin mencari asal teguran itu, "eh iya, ada apa Tisya? Tumben memanggil aku," Andin menghentikan menyuapkan makanan ke mulutnya. Tisya mengendap-endap masuk ke kelas Andin. Tisya menegok kiri dan kanan, sesekali melangkahkan kakinya masuk perlahan-lahan. "Selamat ya atas berita yang kamu tulis!" Bisik Tisya ketika berhasil duduk di samping Andin. "Selamat apanya? Aku cuma nulis, bukan lomba lho," balas Andin. "Tapi kamu keren, Din. Bisa paham kasus itu sampai selesai. Aku nih ya, baca beritamu jadi merinding sendiri!" Tisya kembali berbisik. Andin mendorong pelan bahu Tisya. "Ah masa? Lebay kamu ah, bukannya kasus kayak gitu udah biasa diangkat ya," "Emang sih, cuman baru kali ini aku bisa bercakap langsung dengan penulisnya. Ya sama kamu ini," Tisya mentoel dagu Andin. Andin tersenyum dan ingin kembali melahap makanannya. "Aku boleh lanjutin makan, gak?" Ijin Andin. Tisya membalas dengan mengangguk. "Boleh lah! Bentar lagi mau masuk kelas, cepetan habisin makanannya." Andin kembali menyuapkan makan ke mulutnya. Tisya berada di samping Andin sembari memainkan ponselnya. Dua belas menit kemudian, Andin menutup tempat makannya dan memasukkan ke dalam tasnya. "Eh Din, kamu kenal Pak Leon, gak?" Tanya Tisya. "Pak Leon? Direktur media Antasari, bukan? Tebak Andin. Tisya menjentikkan jarinya, "betul! Beliau tetanggaku dan kemarin baru saja membahas tulisanmu," "Dari mana kamu tau?" "Beliau bahas tulisanmu bareng Ayahku, terus Ayah lapor ke aku deh. Makanya aku bisa tau," Andin mengangguk. "Lalu, bagaimana kelanjutannya?" "Kabarnya, kamu mau ditawari bergabung di media Antasari sebagai reporter, tanpa seleksi, lho!" Tisya seperti memberi sinyal kebahagiaan. Andin tersenyum lebar dan memegang pundak Tisya dengan kedua tangannya, "sumpah? Kamu menemuiku sekarang untuk menyampaikan informasi ini, kah?" "Iya." Jawab Tisya. Tisya melihat jam tangannya, dua menit lagi waktu istirahat akan berakhir. Tisya mempercepat langkahnya kembali ke kelasnya. Andin menatap Tisya dari belakang, "apakah benar ya yang dikatakan Tisya tadi? Hmm, aku gak boleh senang dulu sebelum panggilan resmi itu aku terima." *** Tiba di rumah, Andin mengambil kunci rumah yang diletakkan Bu Ranti seperti biasanya, di bawah keset bertuliskan, "Welcome." Sebelum mengambil kunci itu, Andin menengok lagi keadaan sekitar, harus dalam kondisi sepi, tidak ada orang yang lewat. "Ingat ya, kalau mau ambil kunci, pastikan tidak ada satu orangpun yang tau!" Pesan Bu Ranti masih berbayang di otak Andin. Ceklek.. Andin melepaskan sepatunya dan kembali mengunci pintu dari dalam rumah. Masuk ke rumah, Andin disambut dengan sepucuk surat yang berada di bawah pintunya. "Apaan nih, tumben ada orang yang ngirim surat kesini. Warnanya oranye lagi, lucu," Andin membuka surat itu dan siap membaca. Tulisan dalam surat itu telah terbaca, Andin menyipitkan kedua matanya ketika membaca kalimat, "Tolak atau kamu akan berurusan denganku!" Andin mencoba mengingat penawaran apa yang baru saja ia dapatkan. "Tolak apaan deh? Gak jelas amat, kayaknya salah sambung!" Andin mengabaikan surat itu dan membuangnya ke tong sampah yang berada di dapur. Tok.. tok.. tok.. Suara ketukan pintu membawa Andin kembali ke ruang tamu. "Mama?" Ucap Andin memastikan siapa yang mengetuk pintu. Lima menit, tidak ada jawaban. Tok.. tok.. tok.. "Halo, apakah itu Mama Ranti?" Tanya Andin lagi. Andin kembali tidak mendengar jawaban dari balik pintu. Tidak ingin ia terjebak, Andin mengintip siapa orang di luar sana yang mengetuk pintu. Andin mengintip lewat celah sempit di bawah pintu. Tampak seseorang memakai sepatu pantopel cokelat dan berjelana jeans. "Oh, aku kira hantu, ternyata masih injak tanah." Ucap Andin pelan. "Iya, sebentar ya!" Jawab Andin. "Siapa ya?" Tanya Andin setelah membukakan pintu. Andin melihat laki-laki berbadan kurus dan berkacamata berdiri tepat di hadapannya. "Selamat siang, Andin. Saya Leon, direktur media Antasari," jawab laki-laki itu sambil menjulurkan tangan hendak berjabat tangan dengan Andin. "Oh iya Pak, silahkan masuk." Andin dan Pak Leon duduk di kursi ruang tamu. Pak Leon pun langsung membuka pembicaraan, "Apa benar kamu Andin?" "Saya Andin Ririan Tari, Pak," "Wah baguslah saya tidak salah alamat. Suratnya juga sudah sampai, belum?" Tanya Pak Leon. "Surat yang mana ya Pak? Atas nama siapa?" Balas Andin. "Surat dari media Antasari, dong. Warnanya orange, ada pita putih di atasnya." Jelas Pak Leon. "Em..em.." Andin baru saja ingat sepucuk surat yang baru saja ia buang ke tong sampah. Ingin jujur, tapi Andin takut hal buruk menimpa dirinya. "Gimana, Andin? Kalau belum ya berarti salah alamat, hehe," Pak Leon membuyarkan pikiran Andin. "Heheh, kayaknya belum sampai, Pak." Andin terpaksa berbohong. "Oke, saya jelaskan saja ya maksud kedatangan saya kesini. Sebelumnya saya sudah membaca berita yang kamu tulis di media sosialmu tentang pembuangan bayi itu," ungkap Pak Leon. Pak Leon membuka tasnya dan mengeluarkan amplop putih yang di dalamnya sudah ada surat pemberitahuan. "Karena saya tertarik dengan pemikiran dan tulisan kamu yang out of the box, maka saya berniat memberikan kamu kesempatan bekerja di media Antasari," sambung Pak Leon. Dalam hati Andin, kebahagiaan sudah tiada tara. Perkataan Tisya beneran terjadi, "Terima kasih Tisya atas infonya, aku sudah tidak kaget lagi, hehe." Batin Andin. Andin membuka amplop itu dan membaca tulisan yang terketik satu per satu. "Kalau boleh tau, pekerjaan reporter ini full time atau part time, Pak? Saya kan juga sekolah, tidak mungkin saya tinggalkan untuk ini, Pak," ujar Andin. "Tenang, kamu bekerja part time di media saya, tidak ada kewajiban stand by di kantor dalam waktu yang lama." Balas Pak Leon. Andin mengangguk, Pak Leon kembali melanjutkan perkataannya, "ini khusus kamu, jangan bilang siapa-siapa," Pak Leon memelankan nada bicaranya. Andin menyeringai. *** "Halo, Mama pulang!" Bu Ranti masuk lewat pintu depan yang sengaja Andin buka. "Oh Mama sudah pulang, aku kira tadi Mama makan siang di rumah. Hampir saja mau aku masakin," tutur Andin yang lagi nyantai menonton televisi. "Enggak, tadi di traktir Om Robert, hehe," balas Bu Ranti. "Hmm, awas lho cinlok!" Ledek Andin. "Ih apaan kamu anak kecil!" Bu Ranti melemparkan kaus kakinya ke Andin. Andin memegang kaus kaki itu dan dimasukkan ke mesin cuci sembari menutup lubang hidungnya. "Ih, ini kaus kaki gak dicuci berapa abad, Ma? Baunya kayak bangkai," kesan Andin. Bu Ranti nyengir dan langsung ke kamarnya untuk mengganti baju dan mandi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN