Truth

1151 Kata
Bu Yuyun beranjak dari tempat duduknya, mencari sesuatu di dalam lemari yang berada di belakangnya. Di pilahnya satu per satu buku entah dengan judul apa. Ya, tangan Bu Yuyun menggenggam satu buku yang cukup tebal, di daratkannya di depan meja Bu Della dan Andin. “Ini buku pengantar mengenai penyakit pseudobulbar affect,” Bu Yuyun mengetukkan telunjuknya di atas cover buku. Bu Della dan Andin mengangguk bersamaan. Bu Yuyun memperlihatkan halaman kedua dari buku tersebut dan di bagian atas tertulis, “Apa itu pseudobulbar affect?” “Penyakit ini menandakan penderitanya yang seringkali tertawa dan menangis secara berlebihan. Padahal, suasana hati yang penderita rasakan bertolak belakang dengan apa yang mereka rasakan,” jelas Bu Yuyun. “Apa pemicu penyakit ini bisa diderita, Bu?” tanya Andin. Andin merasa penasaran dengan penyakit ini sejak ada artikel platform yang mendarat di email-nya.   “Dugaan penyakit ini karena rusaknya bagian otak yang mengontrol emosi atau berubahnya zat kimia di otak. Biasanya, penderita mempunyai penyakit saraf lainnya yang memicu pseudobulbar affect (PBA) muncul,” jelas Bu Yuyun lagi. Bu Della dan Andin tetap memperhatikan penjelasan Bu Yuyun dengan tenang. “Oh ya Bu Ardella, sebagai orang yang lumayan mengerti keadaan Anggi, apakah Ibu mengetahui penyakit saraf lain yang diderita Anggi?” tanya Bu Yuyun. Namun, Bu Della menggelengkan kepala, “tidak pernah tau, Bu.” Bu Yuyun membalikkan halaman buku hingga berhenti pada halaman tujuh belas. Bu Yuyun menunjukkan daftar penyakit yang diduga pemicu penyakit PBA ini. “Dalam buku ini, disebutkan bahwa stroke, epilepsi, Alzheimer, Parkinson, tumor otak, multiple sclerosis, dan amytrophic lateral sclerosis ialah penyakit yang dapat memicu PBA,” Bu Della pun curiga bahwa Anggi pengidap penyakit saraf lainnya, “sepertinya Anggi harus diperiksa lagi Bu, mungkin saja salah satu penyakit ini dideritanya.” “Benar, Bu. Tim kesehatan juga sedang memeriksa lebih lanjut tentang kesehatan Anggi,” ungkap Bu Yuyun. “Semisal tidak ditemukan ada penyakit saraf lainnya, apakah bisa disembuhkan penyakit PBA ini?” tanya Andin. Bu Yuyun menggeleng, “sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit PBA. Namun ada beberapa pengobatan kimia yang dipercaya bisa mengurangi munculnya emosi yang berlebihan tersebut.” “Obatnya apa saja, Bu?” Andin mengeluarkan catatan kecil. “Segala obat antidepresan, dextromethorphan, atau quindine. Dokter juga menyarankan melakukan terapi okupasi,” jawab Bu Yuyun dan Andin mulai menyalinnya di buku. “Bagaimana, kamu sudah paham?” bisik Bu Della pada Andin. Andin membalas bisikan itu dengan mengangguk. Tiba-tiba, Andin teringat kembali obrolan dua orang laki-laki di warung es kelapa tadi. Perihal hukuman yang dijatuhkan kepada Anggi, saat sidang. “Ngomong-ngomong, apa Bu Yuyun mengikuti sidang Anggi Hanifah dari awal sampai akhir?” tanya Andin. “Iya, saya mengikutinya hingga berakhir, tadi saya mendampingi Anggi,” jawab Bu Yuyun. “Kalau boleh tau, bagaimana hukuman yang dijatuhkan kepada Anggi, Bu?” tanya Andin lagi. “Sementara hakim memerintahkan untuk dimasukkan ke rumah sakit jiwa dahulu selama satu tahun sambil diberi pengobatan kejiwaannya,” jawab Bu Yuyun. “Wah, berarti yang diomongin bapak-bapak tadi benar,” ucap Andin tidak sengaja, dan cepat-cepat menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ceplosan Andin yang keluar itu, membuat Bu Yuyun dan Bu Della saling menatap dan berhenti pandangannya ke arah Andin. “Maksud kamu?” Bu Della penasaran. “Enggak.. enggak, Bu,” Andin menyeringai. “Ada apa Andin? Mungkin ada info lain untuk mengusut kasus ini,” tambah Bu Yuyun. Andin menghela napas panjang, “tadi waktu singgah di warung es kelapa, ada dua orang bapak-bapak ngomongin kasus Anggi, salah satu diantara mereka ngomong kalau Anggi dihukum satu tahun, gitu, Bu.” Tutur Andin. “Oh, berarti kamu nguping ya?” ledek Bu Della. “Heheheh,” Andin menyeringai dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. *** “Ya syukurlah kasus pembuangan bayi ini sudah ditemukan siapa pelakunya,” ucap Bu Della berjalan di koridor RSJ menuju tempat motornya terparkir. “Dan saya gak nyangka kalau Anggi pelakunya,” Andin mengikuti langkah Bu Della di belakang. “Hmm, kekhawatiran Ibu beberapa bulan lalu ternyata terjadi,” Bu Della memasang wajah lesu. “Ada apa, Bu?” Andin refleks. “Anggi pernah hampir dilecehkan juga waktu itu, untung saja Ibu melihatnya dan teriak maling. Anggi langsung berlari ke arah Ibu,” ujar Bu Della. “Kejadiannya di lokasi serupa, Bu?” “Iya, di sawahnya juga. Dari situ Ibu peringatkan Anggi untuk tidak ke sawah sendirian.” “Berdasarkan pengalaman itu juga kah Ibu langsung menerka Anggi yang membuang bayi itu di belakang sekolah?” “Iya, pasca kejadian itu Anggi trauma sekali. Beberapa kali datang ke sekolah untuk menemui Ibu, sayangnya tidak pernah tepat waktunya,” mata Bu Della tampak berkaca-kaca. Andin mengusap pundak Bu Della, berusaha menenangkan hatinya. “Sudah Bu, Ibu orang hebat, buktinya sampai sekarang pun Anggi masih mengingat pertolongan Ibu dulu.” “Tapi Ibu tetap merasa sakit hati anak murid Ibu diperlakukan seperti itu,” sahut Bu Della. Tak ingin air mata Bu Della terjatuh, Andin sigap memeluk dan mengelus pundak Bu Della. Tak lupa Andin berbisik, “kita doakan saja Anggi tetap baik-baik saja, dan tidak ada lagi korban kejahatan seperti itu, Bu.” Air mata Bu Della jatuh juga. Andin semakin mengeratkan pelukannya. *** “Sampai jumpa besok di sekolah ya, Din!” Bu Della membalikkan arah motornya dan kembali menuju arah pulang. Andin melambaikan tangannya sambil berucap, “hati-hati, Bu! Sampai jumpa.” Tok.. tok.. tok.. “Sudah pulang?” Bu Ranti membukakan pintu. “Sudahlah Ma, buktinya aku sudah ada di depan Mama,” balas Andin sambil membuka sepatunya, dan menaruh di rak sepatu. “Bagaimana kelanjutan kasus itu?” Bu Ranti duduk di sofa, mendekap bantal dan siap mendengarkan informasi dari Andin. “Diomongin sekarang apa nanti nih? Aku lapar lho, Ma,” tanya Andin, sedikit memicingkan kedua matanya. “Mama lagi penasaran loh, kamunya begitu, dasar ya,” Bu Ranti melemparkan bantal yang di genggamnya ke arah Andin. Andin menjulurkan lidahnya sambil berkata, “cie akhirnya penasaran, kemarin aja gak bolehin aku ikut-ikutan.” Andin langsung ke kamarnya dan mengganti baju. “Hmm, masa sih Andin berhasil menemukan pelaku pembuangan bayi itu?” batin Bu Ranti tak percaya. Bu Ranti menunggu di ruang tamu sampai Andin keluar dari kamarnya. Sembari menunggu, Bu Ranti membuka media sosial dan melihat peradaban netizen. “Artis mulu yang ramai, gak seru!” ucap Bu Ranti. “By the way, kok kasus Anggi belum ada yang nulis ya?” Bu Ranti tetap men-scroll beranda media sosialnya. “Ih iya, beneran gak ada!” sambung Bu Ranti. “Ma, aku pakai baju yang kemarin aja ya, belum kotor kok,” Andin keluar dari kamarnya dan memutarkan badannya. “Iya terserah kamu deh, cepat duduk sini,” Bu Ranti menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Andin duduk di samping Bu Ranti. “Gimana, Nak?” todong Bu Ranti. “Jadi, pelaku yang membuang bayi di belakang sekolah SMA Melati Jaya itu benar atas nama Anggi Hanifah,” ujar Andin. “Sungguh? Lalu, apa benar Anggi mengidap penyakit yang kamu sebut tadi di restoran?” tanya Bu Ranti lagi. “Iya, Ma. Aku sudah curiga sejak sidang itu. Tingkah lakunya seperti tidak tenang,” jawab Andin. “Tidak tenang gimana?” “Tiba-tiba tertawa, lalu menangis. Itu terjadi secara berulang tanpa bisa Anggi kontrol, Ma,” Bu Ranti mengangguk. “Terus, berapa lama hukuman yang dijatuhkan pada Anggi?” “Satu tahun, ia harus menjalani pengobatan di RSJ dulu,” kata Andin. “Kasihan ya, bisa ceritakan detail tentang kasus ini, Nak?” mohon Bu Ranti. “Hehehe, nanti aku tuliskan dan bagikan di media sosial,” balas Andin. “Kamu gak takut?” Bu Ranti memastikan. “Tidaklah, aku nulis dulu ya, Ma.” Andin mencium pipi Bu Ranti dan kembali memasuki kamar.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN