8. Bicara Yang Baik-baik Saja Tentang Pernikahan Kita

1167 Kata
Latif terpekur dalam diam, menyesap rokok ditemani dengan angin malam yang mulai berembus. Lena yang sejak tadi masih sibuk di dapur membereskan piring kotor dan mencucinya sekalian, tidak mendapati keberadaan sang suami di ruang televisi. Dengan inisiatifnya, Lena membuat secangkir kopi lalu mencari keberadaan Latif yang ternyata duduk seorang diri di teras depan rumah. Lena menghela napas panjang. Dia seolah tahu kegundahan hati Latif saat ini. Dan pasti lah Latif tidak akan bisa tidur sebab memikirkan pembicaraan dengan Labib dan ibunya tadi. Lagi-lagi Labib harus berulah. Lena heran sekali kenapa adik iparnya yang sudah berusia tujuh belas tahun tidak bisa berpikir lebih dewasa sedikit saja. Latif ini adalah kakaknya bukan tambang uang yang bisa dibebani dengan banyak keinginan. Ehem! Lena berdehem cukup lantang sehingga mengejutkan Latif yang sibuk melamun di keheningan malam. Pria iru mendongak mendapati sang istri yang datang. Seulas senyuman terbit di bibirnya. Bagi Latif hanya Lena lah yang saat ini ia butuhkan. Lena yang selalu ada untuknya di saat kondisi sedang sedih dan seperti ini. Lena juga yang selalu bisa menghibur di saat Latif diterpa banyak masalah dan dibebani dengan banyaknya pikiran. “Sayang, belum tidur?” Kepala Lena menggeleng. “Mana mungkin aku bisa tidur jika di dapur masih banyak pekerjaan.” “Jangan terlalu capek. Jika menuruti pekerjaan tak akan ada habisnya. Kerjakan saja lagi besok.” “Iya nggak apa. Sekarang sudah selesai kok. Ini kopinya, Mas.” Lena dengan hati-hati meletakkan cangkir kopi di hadapan suaminya. “Terima kasih.” Tanpa menunggu lagi Latif sudah menyeruput kopi yang masih lumayan panas ini. Lena memperhatikan suaminya dengan perasaan iba. “Kenapa menatap Mas seperti itu? Kamu kasihan sama Mas?” tebak Latif karena bisa membaca pikiran istrinya. Wajah sendu Lena kala menatapnya sedemikian rupa tak menyembunyikan betapa Lena sangat mengasihani suaminya ini. “Aku tidak tega sama Mas yang harus dijadikan sapi perah oleh Ibu dan Labib.” “Hust, jangan bicara seperti itu. Mas sama sekali tidak pernah merasa seperti itu, sayang. Jangan berlebihan.” “Tapi, Mas. Labib dan ibu sudah keterlaluan. Seharusnya jika menginginkan sesuatu yang berkaitan dengan uang ya dibicarakan dulu dengan Mas. Bukan asal memutuskan tapi ujung-ujungnya Mas Latif lagi yang dibuat kesusahan.” Latif meletakkan cangkir kopi di atas meja lalu meraih kedua tangan istrinya untuk dapat ia genggam. “Sayang, Labib dan Ibu itu sudah menjadi tanggung jawab Mas. Jadi Mas tidak merasa terbebani sama sekali.” Lena sungguh kesal. Wanita itu berdecak seraya menarik tangannya. “Selalu itu yang menjadi jawabanmu, Mas. Padahal aku sangat tau apa yang ada dalam pikiranmu. Sekali-kali kamu harus bisa menjawab tidak untuk sesuatu yang kamu sendiri tidak mungkin bisa menyanggupinya. Jangan semua kamu iyakan yang ada Labib malah makin ngelunjak nantinya dan Mas sendiri yang aka dibuat kerepotan.” Rasanya lega sekali ketika Lena dapat mengeluarkan uneg-unegnya di hadapan sang suami. Karena tadi ketika ada ibu dan adik iparnya, protesan Lena pasti tidak akan ditanggapi karena ibu mertua dan adik iparnya selalu saja menganggap dia adalah orang luar yang tidak berhak ikut campur. “Lena sayang. Mas akan tetap berusaha semampu Mas untuk mencukupi semua kebutuhan Ibu, Labib dan juga kamu meski Mas harus bekerja keras siang dan malam dan bahkan hasilnya pun belum memuaskan. Tapi Mas sudah berjanji pada mendiang bapak untuk selalu menjaga dan membahagiakan ibu dan Labib. Bagaimana pun juga Labib itu hanya lah remaja yang masih labil. Jika ada temannya ada yang punya sesuatu tentulah dia pun menginginkan hal yang sama. Kayak Mas masih muda dulu.” “Tapi harus mengukur kemampuan juga, Mas. Jangan dibiasakan apa-apa selalu dituruti agar Labib bisa tahu bagaimana keadaan keluarganya.” “Labib itu lahir di saat bapak sakit-sakitan. Jadi ibaratnya dia belum banyak mencecap kebahagiaan, bapak sudah nggak ada. Lain dengan Mas dulu yang apa-apa biasa dituruti oleh bapak." “Entahlah Mas aku ikutan pusing sama jalan pikiran kamu. Diberi pengertian tapi kamunya susah dan ngeyel saja. Terserah lah sekarang apa yang mau m Mas lakukan." Lena beranjak dari duduknya. Dia sungguh kesal. Tidak ada gunanya juga dia mengasihani Latif jika jalan pikiran mereka berdua berbeda. Lena lebih baik tak mau ambil peduli meski dia sudah paham akan resikonya kelak andai Latif jadi ambil motor baru secara kredit. Sudah barang tentu jatah uang belanjanya akan ikut kepangkas untuk membayar cicilan. Lena masuk ke dalam kamar. Duduk di tepi ranjang dengan mengembuskan napas panjang. Andai saja adik iparnya yang bernama Labib adalah remaja yang baik, tidak banyak tingkah dan juga penurut. Mungkin Lena tidak akan perlu berpikir dua kali membantu Latif membelikan motor baru tanpa harus kredit. Bukan hal sulit bagi Lena untuk mendapat barang baru dengan harga jutaan rupiah karena uang segitu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan honornya saat masih bekerja dulu. Tapi sekarang semua sudah lain. Labib tidak perlu diberi hati karena yang ada adik iparnya itu tidak akan pernah merasa bersyukur. "Jika begini, aku harus menghubungi Larisa. Uang simpanan sudah menipis. Buat jaga-jaga jika Mas Latif tidak memberikan aku uang belanja yang layak nantinya." Lena berbicara pada dirinya sendiri. Meraih ponsel jadul dan mengetikkan pesan pada Larisa yang tak lain adalah managernya kala Lena masih kerja dulu. Sampai detik ini, Lena masih tetap mempekerjakan Larisa meski pun dia sudah tidak aktif di dunia kerja. Lena mendesah pelan. Jika sedang dalam kondisi seperti ini, dia jadi merindukan kehidupannya yang dulu. Serba kecukupan, makan bergizi, rajin olahraga, rajin perawatan di salon. Dan kini sudah satu tahun berlalu, semua itu tidak lagi bisa Lena lakukan. Lihat saja perutnya yang menggelambir karena jarang olahraga. Juga kulit yang kusam tidak pernah perawatan ke salon. Ting! Bunyi notifikasi membuyarkan lamunan Lena.Balasan pesan dari Larisa dia dapatkan. [Apa aku harus datang ke rumah mertuamu yang galak itu?] Lena tersenyum kecil. Beberapa kali Larisa memang pernah datang untuk membicarakan soalan kerjaan secara diam-diam. [Iyalah karena aku nggak akan bisa keluar dari rumah. Satu lagi. Kalau datang jangan lupa penyamaran. Ingat itu, Risa!] Lena meletakkan ponsel ke atas nakas karena tiba-tiba saja Latif menyusulnya masuk ke dalam kamar. "Mas!" "Hem." "Besok temanku yang biasanya itu mau datang. Boleh, ya?" "Temanmu yang cupu itu? Yang rambutnya dikepang dua dan berkacamata?" "Iya." "Mau ngapain lagi sih dia ke sini. Kamu tahu nggak Mas geli sendiri kalau lihat temanmu itu. Kok bisa-bisanya kamu yang cantik begini punya teman kok aneh." "Jangan mengejek Risa, Mas!" "Mas bukannya ngejek, sayang. Tapi setidaknya kamu dan dia kan sudah berteman lama. Kamu ubah kek dandanan dia." "Nggak mau. Nanti kalau dia dipermak bisa jadi lebih cantik dari aku. Aku nggak mau ya Mas Latif jadi naksir dia nantinya." Latif tergelak. "Mana mungkin sih. Kan cintanya Mas hanya sayang seorang. Mana mungkin Mas berpaling ke perempuan lain jika istri Mas saja sudah mendekati kata sempurna sebagai seorang istri." "Mas janji akan selalu setia sama aku?" "Iya sayang." "Kalau sampai Mas berpaling dan berselingkuh ... aku pastikan akan meninggalkan Mas karena aku paling tidak suka jika diselingkuhi dan dibohongi." "Kamu ini bicara apa sih, sayang. Jangan aneh-aneh. Ingat! Setiap ucapan adalah doa. Jadi biasakan untuk berbicara yang. baik-baik saja tentang pernikahan kita."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN