Bab 6: Pria Terbaik Pilihan Kakek 3

1461 Kata
# Yudha bolak-balik di depan toilet wanita karena merasa khawatir. Dia ingin masuk tapi merasa ragu karena bagaimanapun sangat tidak etis untuk menerobos masuk ke dalam kamar mandi wanita meskipun sejak tadi tidak terlihat ada orang lain yang masuk ke dalam selain Laras. Yudha masih menunggu di depan toilet selama beberapa saat sebelum akhirnya dia tidak bisa menahan kegelisahannya lagi dan memutuskan untuk masuk ke dalam toilet tersebut. Tepat di saat kakinya menapak masuk ke dalam toilet, dia bisa mendengar suara lirih Laras. “Yudha Naratama.” Saat itu sosok Laras luruh ke lantai di depan matanya. “Laras!” panggil Yudha sambil bergegas mendekati Laras. Dia memeriksa Laras dan menepuk pelan pipinya tapi tidak ada reaksi, wajah Laras seputih kertas. “Apa yang terjadi?” tanya Yudha pada petugas kebersihan yang kebetulan saat itu berada di sisi Laras. “Saya tidak tahu Tuan. Nona ini sudah terlihat tidak baik saat masuk ke dalam toilet dan saya hanya bermaksud membantunya tapi Nona ini sudah lebih dulu jatuh pingsan,” ujar petugas kebersihan tersebut. Yudha dengan cepat meminta agar petugas itu memberitahu kepada ayahnya dan juga Tuan Bamantara, Kakek Laras tentang kondisi Laras sebelum dia memutuskan membawa Laras dengan menggendongnya. Beberapa pelayan yang melihat Yudha tengah menggendong Laras dengan segera menunjukkan lift karyawan kepadanya agar dia bisa segera sampai di parkiran tanpa harus menggunakan lift umum. Yudha memutuskan untuk membawa Laras ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pertolongan tercepat. Dalam perjalanan, Yudha bisa mendengarkan Laras yang mengigau. “Yudha Naratama, harusnya mati ... kecelakaan.” Kalimat itu terucap berkali-kali dari bibir Laras dengan jelas dan membuat Yudha merasa aneh dengan Laras. Memang benar dia seharusnya sudah tewas beberapa tahun lalu andai bukan karena Laras. Rasanya aneh kalau Laras harus sekaget itu hanya karena dia ternyata masih hidup? Meski begitu, Yudha berusaha keras menepis semua pemikirannya itu. Dia tidak ingin memikirkan hal lain sekarang karena saat melihat Laras yang tampak semakin kesulitan bernapas bahkan sekalipun dia sedang pingsan membuat Yudha menambah kecepatan mobilnya agar bisa segera sampai di Rumah Sakit terdekat. Laras segera ditangani oleh petugas unit gawat darurat begitu tiba di Rumah Sakit. Yudha tidak pernah melepaskan pengawasannya dari Laras selama itu. Dia belum pernah merasa khawatir dan gelisah seperti ini. Namun alangkah terkejutnya Yudha saat dokter jaga yang menangani Laras saat itu menyampaikan hasil diagnosisnya. “Gangguan panik?” Yudha hampir memekik saat mengulang ucapan dokter saat itu. “Untuk sekarang, pasien sudah diberi obat penenang untuk sementara waktu jadi pasien akan tertidur nyenyak kemungkinan hingga besok pagi. Jadi akan lebih baik untuk menginap di Rumah Sakit. Saya sangat menyarankan untuk membawanya ke psikiater untuk perawatan lebih lanjut karena obat saja tidak akan bisa menyembuhkan penyakitnya,” ucap dokter. Yudha hanya bisa termangu mendengar penjelasan dokter. Dia tidak menyangka kalau wanita yang terlihat tangguh, penuh kharisma dan kompeten seperti Laras akan memiliki penyakit yang berhubungan dengan mental seperti itu. Penampilannya yang penuh percaya diri sama sekali tidak mencerminkan penyakitnya. “Kalau begitu, kenapa dia bisa tiba-tiba mengalami itu Dok? Tadinya dia baik-baik saja,” ucap Yudha. Dia yakin Laras memang terlihat baik-baik saja tadinya hingga Tuan Bamantara memperkenalkan mereka. “Bisa jadi keadaan traumatis atau sesuatu yang membuat pasien teringat pada keadaan traumatis itu sendiri,” ucap dokter. Yudha menatap Laras yang saat ini terlihat sedang tertidur nyenyak karena pengaruh obat yang disuntikkan dokter tadi. Dia sedang berpikir sekarang, apa kira-kira yang bisa memicu serangan panik yang dialami Laras di restoran tadi? Yudha bahkan tidak bisa menghentikan rasa penasarannya pada Laras bahkan setelah dokter meninggalkannya. Saat yang sama, Tuan Bamantara yang baru mendapat kabar tentang nama Rumah Sakit tempat Yudha membawa Laras akhirnya tiba di tempat itu. Tuan Bamantara langsung menghampiri Laras begitu sampai. Wajahnya menunjukkan kalau dia sangat khawatir. Bagaimanapun Laras adalah cucu satu-satunya dan juga penerus keluarga Bamantara. “Apa yang terjadi?” tanya Tuan Bamantara. “Serangan panik,” lirik Yudha. Dia masih sulit mempercayai apa yang dikatakan dokter tadi tapi dia juga melihat sendiri bagaimana Laras ambruk begitu saja padahal tidak ada apa-apa. Tuan Bamantara menatap Yudha kini dan menghela napas panjang. Meski begitu dia malah terlihat lega. “Syukurlah hari ini dia mengundur rencana kepergiannya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau dia mengalami ini di bandara atau bahkan setelah dia tiba di luar negeri. Terima kasih Yudha, kau sudah membawanya ke Rumah Sakit tepat waktu,” ucap Tuan Bamantara. “Astaga, jangan bilang kalau dia bermaksud mengadakan perjalanan bisnis tepat setelah makan malam kita?” tanya Yudha. Tuan Bamantara mengangguk. “Begitulah cucuku. Dia lebih mencintai pekerjaan daripada dirinya sendiri dan Kakek tua ini. Padahal dia bilang kalau dia ingin aku hidup lebih lama, akan tetapi melihat kondisinya yang sering ambruk seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa tenang,” ucap Tuan Bamantara. “Kalau aku boleh tahu, sejak kapan tepatnya Laras menderita serangan panik seperti ini?” tanya Yudha akhirnya. “Tidak lama setelah kau mengatarnya kepadaku waktu itu. Kau pasti kaget sekali tadi, bagaimanapun aku bersyukur karena kau membawanya langsung ke Rumah Sakit,” ucap Tuan Bamantara. Yudha tampak berpikir sejenak mendengar ucapan Tuan Bamantara. Itu artinya kemungkinan besar Laras mengalami tekanan karena pernikahannya waktu itu atau mungkin tekanan keluarganya yang ingin dia menikah dengan pria yang tidak dia sukai dulu dan itulah yang membuatnya mengalami serangan panik. Hal itu membuat Yudha juga berpikir kalau mungkin Laras jadi mengingat tentang kejadian itu saat melihatnya? Bagaimanapun mereka bertemu saat Laras melarikan diri dari pernikahan dulu. Akan tetapi saat selanjutnya Yudha kembali meragukan tebakannya. Dia ingat Laras terus bergumam dengan menyebut namanya saat pingsan tadi. Bahkan tidak hanya itu saja, Laras juga menyebut-nyebut tentang kecelakaan pesawat yang dulu itu. Tuan Bamantara menyadari ekspresi Yudha yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu dengan sangat serius saat itu. “Yudha, apa mungkin Laras menyebutkan nama seseorang atau bergumam memanggil nama orang lain saat pingsan tadi?” tanya Tuan Bamantara tiba-tiba. Yudha sebenarnya sedikit terkejut saat mendengar pertanyaan Tuan Bamantara, namun dia merasa sungkan menyebutkan kalau Laras menyebut dan memanggil nama lengkapnya saat gadis itu pingsan tadi. Karena itu dia menekan ekspresi wajahnya dan berusaha terlihat biasa saja saat itu. “Tidak. Dia tidak bergumam ataupun mengingau Paman. Apa mungkin dia sering bergumam atau mengigau memanggil nama orang lain saat pingsan atau serangannya datang?” Kini Yudha yang balik bertanya sambil menatap Tuan Bamantara dengan tatapan menyelidik. Namun Tuan Bamantara juga merasa kalau belum saatnya Yudha mengetahui tentang ‘Kirana’ yang selalu digumamkan oleh Laras saat serangan paniknya datang. Bagaimanapun belum ada hubungan yang pasti antara Laras dan Yudha jadi dia tidak ingin Yudha memikirkan hal yang tidak-tidak kalau mengetahui tentang ‘Kirana’ yang bahkan tidak pernah ada di dunia nyata itu. “Tidak. Sepertinya itu tidak pernah terjadi,” elak Tuan Bamantara. Keduanya kemudian terdiam. Sama-sama menyadari kebohongan dari lawan bicaranya tapi juga merasa sungkan untuk mengorek lebih jauh. “Paman, kurasa Laras harus menginap di Rumah Sakit malam ini. Aku tadi sudah meminta agar Laras dipindahkan ke ruang VIP.” Pada akhirnya Yudhalah yang berinisiatif membuka pembicaraan kembali untuk memecah keheningan di tempat itu. “Baiklah. Terima kasih untuk segalanya Yudha. Sebaiknya sekarang kau juga pulang. Biar aku yang menunggui cucuku sekarang,” ucap Tuan Bamantara. Yudha menatap Laras selama beberapa saat. Sejujurnya dia masih merasa tidak rela meninggalkan Laras yang masih tertidur saat itu, namun di sisi lain dia juga sadar kalau bukan haknya untuk memaksa tinggal di sisi Laras saat ini. Jadi dia hanya bisa mengalah untuk sekarang. “Baiklah Paman. Apa Paman akan menjaga Laras sendirian? Kurasa itu tidak akan baik untuk kesehatan Paman sendiri,” ucap Yudha. Tuan Bamantara menggeleng pelan. “Sebentar lagi akan ada orang dari kediaman Bamantara yang bertugas untuk mengurus Laras dan menginap menemaninya sementara aku pulang untuk beristirahat. Besok pagi baru aku akan datang untuk menjemputnya pulang,” ucap Tuan Bamantara. “Apa Paman keberatan kalau aku yang besok pagi datang untuk menjemputnya dan mengantarnya pulang?” tanya Yudha. Tuan Bamantara tampak menatap Yudha dengan pandangan meneliti selama beberapa saat. “Kurasa itu akan bagus untuk bisa membuatku dan Laras saling mengenal. Lebih tepatnya, aku yang ingin mengenalnya dengan lebih baik. Tentu saja bukan karena aku merasa kasihan kepadanya terkait kejadian hari ini. Aku sudah lebih dulu terkesan dan tertarik kepadanya sejak awal aku melihatnya,” ucap Yudha lagi. Dia mencoba menjelaskan maksudnya dengan lebih baik. Dia tidak berbohong. Sejujurnya sosok Laras tidak pernah lepas dari ingatannya sejak pertemuan pertama mereka, hanya saja dia sempat menganggap kalau hal itu hanya sebuah rasa terkesan biasa pada kejadian yang membuat mereka bertemu. Hari ini setelah dia bertemu lagi dengan Laras yang terlihat jauh lebih dewasa dengan waktu itu, dia menyadari kalau dia sudah sejak lama terkesan pada Laras. Tuan Bamantara menarik napas panjang. “Baiklah. Kalau begitu aku akan menunggu kau membawa cucuku pulang ke rumah besok,” ucap Tuan Bamantara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN