Bab 5: Pria Terbaik Pilihan Kakek 2

1852 Kata
# Laras mengenakan gaun malam yang cantik dan lagi-lagi sesuai pilihan Kakeknya. Lebih tepatnya, dia dipaksa oleh sang Kakek untuk mengenakan gaun cantik berwarna gading itu untuk makan malam kali ini. “Tidakkah ini terlalu berlebihan hanya untuk sebuah makan malam Kek,” keluh Laras. Pada perjodohan sebelum-sebelumnya, Kakeknya tidak pernah sampai seperti ini. Ini membuat Laras sedikit penasaran, sebenarnya sebagus apa pria terbaik pilihan sang Kakek kali ini. Adiwilaga Bamantara tersenyum mendengar protes dari cucu perempuannya tersebut. Sama seperti almarhum putrinya Larissa yang dulu selalu saja protes tapi tidak pernah benar-benar menentangnya dalam banyak hal, begitu juga dengan Laras yang tetap memakai gaun yang dia pilihkan meski dia tahu Laras tidak begitu menyukai gaun seperti itu. Satu-satunya pembangkangan Larissa yang sangat disesalkan oleh seorang Adiwilaga Bamantara adalah ketika dia bersikeras memilih Rama Erlangga sebagai suaminya. “Gaun itu cantik untukmu. Kalau Mamamu masih ada, dia mungkin akan memilihkan gaun yang sama untukmu,” ucapnya. Laras menurunkan tatapannya mendengar ucapan Kakeknya tersebut. “Kakek, apakah Kakek masih merasa kecewa dengan keputusan Mama untuk menikahi Papa dan juga untuk meninggalkan kita dengan cara yang seperti itu?” tanya Laras. Laras bisa mengerti sekarang bagaimana perasaan Kakeknya setelah dia mengalami hal yang serupa. Tidak mudah bagi orang tua untuk kehilangan anak kandungnya sementara mereka masih harus terus menjalani hidup yang tersisa dalam penyesalan karena tidak mampu mencegah semuanya terjadi. Tuan Bamantara tersenyum sendu dan kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil. “Bohong kalau Kakek tidak merasa kecewa dengan keputusan Mamamu. Tapi dibandingkan rasa kecewa pada Mamamu, mungkin rasa kecewa pada diri kakek sendiri yang paling Kakek rasakan. Seharusnya Kakek bisa mencegah Mamamu menikah dengan b******n itu, tapi jika itu terjadi maka tidak ada dirimu di sini, disisi Kakek. Lalu Kakek kemudian merasa menyesal karena seharusnya Kakek bisa mencegah Mamamu melakukan hal bodoh itu, tapi kembali lagi, Kakek sadar tidak ada yang bisa Kakek lakukan lagi untuk Mamamu karena itu pilihannya,” ucap Tuan Bamantara. Laras mengepalkan kedua tangannya di atas pangkuannya. Dia kembali teringat pada Kirana yang juga memilih untuk bunuh diri. Hanya sebuah pesan yang ditinggalkan oleh Kirana saat itu lewat video yang dikirimkan kepada Laras tepat setelah kematiannya. “Mama, ini bukan kesalahan Mama. Ini pilihanku. Jadi tolong jangan terlalu bersedih, karena pilihanku bukanlah kesalahan Mama.” Itulah ucapan terakhir Kirana yang di ingat oleh Laras dan dia sama sekali tidak menyangka kalau saat ini, Kakeknya akan mengucapkan kalimat yang serupa. “Memang benar. Itu bukan kesalahan Kakek. Aku yakin Mama juga berharap agar Kakek tidak menyalahkan diri Kakek sendiri dan hidup lebih lama untukku. Kakek, hiduplah lebih lama untuk membantuku dan aku akan melakukan semua yang bisa kulakukan untuk membuat Kakek senang menggantikan Mama,” ucap Laras kemudian. Tuan Bamantara menatap wajah cucunya itu sebelum kemudian meraih tangan Laras dan meremasnya pelan. “Membantumu tentu saja adalah kewajiban Kakek. Tapi usia bukan sesuatu yang bisa kita tentukan sendiri. Kakek hanya bisa berjanji kepadamu Laras, kalau Kakek pasti akan berusaha sebisa mungkin untuk panjang umur dan membantu membuka jalanmu,” ucapnya. Laras tersenyum tipis. Senyuman tulus yang sangat jarang terlihat di wajahnya. “Terima kasih Kek,” ucap Laras akhirnya. Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti tepat di depan restoran yang sudah ditentukan sebagai tempat makan malam bersama dengan calon pilihan sang Kakek. Tadinya Tuan Bamantara mengusulkan untuk makan malam di kediaman keluarga pria tersebut atau kediaman keluarga Bamantara, tapi tentu saja usul itu ditolak mentah-mentah oleh Laras sehingga mereka memutuskan untuk makan malam di restoran. Tentu saja dengan syarat kalau Laras harus berdandan sesuai dengan keinginan Kakeknya. Berbeda dengan Laras yang sama sekali tidak menduga kalau calon yang dipilih oleh Kakeknya itu berasal dari keluarga Naratama, Yudha jelas tahu siapa gadis yang akan dicalonkan dengannya itu. Jadi saat ini dia merasa tidak sabar menunggu kedatangan wanita yang beberapa tahun lalu tanpa sengaja telah mencegahnya naik ke atas pesawat yang mengalami kecelakaan tanpa satu pun penumpang selamat. Membayangkan hal itu saja sudah membuat Yudha merasa merinding. “Tuan, mereka sudah datang.” Bisik salah seorang pelayan restoran yang hari itu khusus melayani mereka. Saat itu Yudha mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk restoran dan melihat seorang wanita cantik dengan gaun malam berwarna gading melangkah masuk bersama dengan Adiwilaga Naratama. Yudha sudah melihat sosok Laras lewat TV dan ini juga adalah kedua kalinya dia bertemu dengan Laras meskipun kondisi saat itu jauh berbeda dengan sekarang. Namun tetap saja dia merasa terpesona dengan aura anggun dan elegan yang terpancar dari wanita yang dijodohkan dengannya itu. Tuan Bamantara tertawa lepas sambil menyalami sahabatnya. “Senang bisa melihatmu sehat Barata. Akhirnya tiba juga waktu di mana aku bisa memperkenalkan cucu kesayanganku kepadamu,” ucap Tuan Bamantara. Barata Naratama membalas sapaan sahabatnya itu dengan ekspresi ceria. “Tentu saja. Aku sangat menunggu-tunggu kesempatan untuk bisa mengenalkan anakku kepada cucumu juga, meski tentu saja mereka mungkin sudah pernah saling mengenali satu-sama lain,” ucapnya sambil tertawa lebar. Saat itu, tidak ada yang menaruh perhatian pada ekspresi sekilas Laras yang tampak terlalu terkejut saat mengetahui kalau orang yang akan makan malam dengannya dan juga Kakeknya adalah Barata Naratama. “Kakek tidak bilang kalau kita akan makan malam dengan orang dari keluarga Naratama,” bisik Laras dengan suara pelan. Namun Kakeknya hanya tertawa, terlalu bahagia memamerkan Laras yang cantik pada sahabatnya. Barata Naratama sendiri tampak senang menyambut Laras. “Senang rasanya bisa melihat cucu dari sahabatku. Kau bisa memanggilku Om Barata untuk sekarang,” ucap Barata Naratama. Laras mengulurkan tangan memperkenalkan diri sambil menahan rasa mual yang tiba-tiba menguasai tubuhnya. Dia tidak ingin membuat Kakeknya yang malam itu terlihat sangat bahagia, menjadi kecewa karena sikapnya. “Senang berkenalan dengan Om, saya Laras,” ucap Laras sambil memoles senyum senatural mungkin. “Arkarna adalah satu-satunya harapanku sekarang Laras. Kau mengerti kan? Aku akan menanggung semua dosaku di hadapan Kakekmu saat aku bertemu dengannya di akhirat nanti.” Bayangan itu kini berputar-putar di kepala Laras. Ucapan dari Barata Naratama ketika dia menemui pria itu di Rumah Sakit untuk terakhir kali dan itu membuatnya memendam kemarahan yang tidak bisa di ungkapkan. Sekarang dia mengerti kenapa Tuan Naratama saat itu menyebut Kakeknya. Mereka ternyata adalah teman dekat seperti ini dan saat itu dia bahkan dengan tega mendorong Kirana ke dalam pernikahan dengan cucunya, Arkarna meski dia tahu seperti apa sikap Arkarna saat itu. Di balik wajah ramah dan menyenangkan Barata Naratama, tidak ada yang bisa dilihat Laras selain keegoisan. Dia terlalu egois untuk mempertahankan Arkarna sebagai penerus keluarga Naratama karena saat itu tidak ada lagi keturunan keluarga Naratama yang tersisa dan untuk memperkuat posisi Arkarna secara sosial, Barata Naratama mendorong pernikahan Arkarna dengan Kirana lewat kesepakatan bersama Arsen. Orang ini adalah salah satu yang bertanggungjawab atas kematian Kirana di masa yang telah dijalani oleh Laras sebelumnya. “Kau mungkin sudah pernah bertemu dengannya dulu. Ini anakku Yudha Naratama, kalian pernah bertemu beberapa tahun lalu,” ucap Tuan Naratama kemudian. Saat itu, jantung Laras berdegup kencang saat mendengar nama Yudha Naratama. Dia ingat, di kehidupan sebelumnya, Yudha Naratama sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat di waktu yang sama dengan hari pernikahannya. Dia tidak mungkin salah tentang hal itu karena di malam ketika dirinya dan Arsen akan berangkat untuk berbulan madu adalah ketika berita kecelakaan itu disiarkan bersama dengan nama-nama penumpangnya yang tidak selamat. Nama Yudha Naratama adalah yang paling menarik perhatian saat itu karena dia adalah satu-satunya penerus keluarga Naratama saat itu. “Karena saat itu tidak memungkinkan bagi kita untuk berkenalan secara benar. Kurasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri. Senang berkenalan denganmu Laras, kau bisa memanggilku Yudha saja,” ucap Yudha. Dia meraih pergelangan tangan Laras dan menciumnya. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Laras. Dia hampir tidak bisa menyembunyikan nada suaranya yang terdengar bergetar. “Sudah kuduga kau akan melupakanku, padahal biasanya wanita yang kutemui tidak akan mudah melupakan wajahku. Sepertinya kau memang wanita yang berbeda,” ucap Yudha. “Dia yang mengantarkanmu menemui Kakek di hari kau melarikan diri dari pernikahan waktu itu. Kau lupa?” tanya Tuan Bamantara. Laras mengerjap sesaat. Sekarang dia ingat dengan pria yang menolongnya saat itu. Dia tidak pernah menyangka kalau pria itu adalah Yudha Naratama. Tuan Naratama kini tampak menatap Laras dengan tatapan yang sendu. “Jika hari itu kau tidak menghentikannya ke bandara, aku tidak tahu bagaimana lagi hidupku akan berputar dengan kenyataan kalau putraku satu-satunya juga akan pergi lebih dulu dariku. Aku Barata Naratama dan putraku ini selamanya akan merasa berhutang budi padaku Laras,” ucap Tuan Naratama. “Kau terlihat pucat. Apa kau sakit Laras?” tanya Yudha yang menyadari kalau saat ini Laras tidak terlihat baik-baik saja. Laras menggeleng lemah. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut. Aku harap kalian tidak keberatan kalau aku ke toilet sebentar,” ucap Laras. Tuan Bamantara menatapnya khawatir. “Kau yakin tidak apa-apa? Kita bisa menunda makan malam ini di lain hari dan pulang sekarang,” ucap Tuan Bamantara. “Laras, Om harap kau tidak menjadikan perjodohan antara dirimu dan Yudha sebagai sebuah beban. Tidak masalah jika kau tidak menyukai Yudha, Om tidak akan memaksamu,” ucap Tuan Naratama. Laras tertegun sejenak mendengar ucapan Tuan Naratama. Namun kemudian dia tersenyum tipis. “Aku hanya butuh waktu sebentar ke toilet. Kalian terlalu khawatir,” ucap Laras. Dia kemudian bangkit berdiri dari tempat duduknya, tepat ketika para pelayan mulai membawakan hidangan pembuka ke meja mereka. Yudha ikut berdiri. “Kurasa aku juga butuh ke toilet sebentar,” ucap Yudha. Dia melangkah keluar dari ruangan itu menyusul Laras tanpa menunggu persetujuan dari ayahnya dan Tuan Bamantara. Entah kenapa, Yudha merasa sangat khawatir dengan kondisi Laras. Terlebih saat dia meraih tangan Laras untuk berkenalan tadi, dia bisa merasakan kalau telapak tangan Laras saat itu sedingin es. Di sisi lain, Laras bergegas memasuki bilik toilet yang kosong dan langsung memuntahkan semua yang masih tersisa di dalam perutnya. Isi perutnya mendesak keluar bahkan meski sudah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan di sana. Seorang petugas kebersihan tampak khawatir melihat kondisi Laras. “Nona, Anda tidak apa-apa? Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas itu sambil mengintip dari luar pintu toilet yang tidak sempat dikunci Laras tadi. Laras berusaha berdiri namun kakinya terasa lemas. Air mata mengalir di pipinya karena siksaan yang sekarang dirasakannya. Wanita petugas kebersihan itu segera bergegas membantu Laras untuk keluar dari bilik itu dan berdiri dengan bertopang pada wastafel. “Anda terlihat seperti orang yang akan pingsan. Apa ada orang yang harus saya panggilkan? Apa Nona makan malam dengan keluarga? Saya bisa membantu memanggilkan mereka,” ucap petugas itu lagi. Namun bahkan Laras sendiri tidak akan menyangka kalau kondisinya akan bisa seburuk ini hanya karena bertemu dengan dua orang dari keluarga Naratama. Tuan Naratama yang berperan pada kematian putrinya, Kirana dan Yudha Naratama yang seharusnya sudah tewas dalam kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu. Kenapa semuanya berbeda? Entah itu sikap Tuan Naratama, maupun Yudha yang ternyata adalah orang yang membantunya waktu itu. Apa dia tanpa sengaja telah mengubah masa depan semua orang juga? Laras berusaha untuk bertahan, namun dia bahkan tidak bisa berdiri dengan benar. “Yudha Naratama,” ucap Laras. Sebelum akhirnya pandangannya menjadi gelap. Hal terakhir yang dia dengar adalah suara seorang pria yang memanggil namanya. “Laras!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN