#
Laras mengarahkan moncong senjatanya kepada pemuda yang berdiri didepannya. Namun dibandingkan terlihat takut, pemuda itu malah tertawa keras.
“Ingin membunuhku? Yakin bisa membunuhku? Lihat, tangan anda saja gemetar. Apa ini karena Kirana? Kudengar dia bunuh diri dengan anakku dalam kandungannya, sayang sekali, padahal aku suka dengan tubuhnya.”
“Tutup mulutmu penjahat! Jangan menyebut nama Kirana dengan mulut kotormu itu!” teriak Laras. Air mata mengalir di pipinya. Bayangan Kirana kini melintas di depan matanya.
“Mulut diciptakan untuk berbicara, memangnya anda ingin aku menutup mulutku dengan apa? Anda sama sekali tidak merasa kalau anda juga bersalah? Anda kan membiarkan Kirana bertunangan denganku padahal dia tidak mau. Aku hanya memperkosanya, memangnya salah? Itu cuma mempercepat malam pertama kami dan mana kutahu dia akan langsung hamil. Lucu sekali,” ucap pemuda itu.
Laras menarik pelatuk senjatanya tanpa ragu dan dalam sesaat terdengar letusan senjata api sementara pemuda itu jatuh bersimbah darah dengan wajah penuh senyuman. Seakan dia sama sekali tidak keberatan menerima peluru itu di kepalanya yang sekarang berlubang.
Dengan gemetar, Laras menjatuhkan senjata yang dia gunakan dan berlari keluar dari apartemen, menerobos hujan lebat.
Dia menghidupkan mobilnya dan berlalu dari tempat itu dengan kecepatan penuh.
Meski begitu suara pemuda itu seakan menghantuinya.
“Anda sama sekali tidak merasa kalau Anda juga bersalah?”
Kalimat itu berulang-ulang di kepalanya bersamaan dengan wajah Kirana yang memohon padanya.
“Aku minta maaf Mama. Aku tidak sanggup lagi.”
Laras menyesal! Ya, dia sangat menyesal. Seharusnya dia membawa pergi Kirana dan hidup terpisah dari Arsen sejak lama.
Dia juga bersalah karena tidak mampu menolong Kirana padahal dia bisa andai saja dia tidak menuruti Arsen hanya karena berharap suaminya itu akan kembali kepadanya. Andai saja ia tidak terlalu egois. Dirinyalah yang telah mengorbankan putrinya sendiri demi menjamin rumah tangganya yang sejak awal tidak akan bisa dipulihkan.
Pandangan Laras menjadi buram karena air mata yang tak mampu dibendungnya lagi. Saat berikutnya yang terdengar hanya suara benturan yang sangat keras kemudian gelap.
Dalam beberapa saat, dalam kegelapan dan rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang, dia sempat mendengar suara sirene polisi yang membelah keheningan di kejauhan.
Air dengan perlahan memenuhi mobil Kirana, namun dia sama sekali tidak berusaha untuk keluar. Dia memejamkan mata, bersiap untuk menerima balasan setelah kejahatan yang sudah dilakukannya.
Dia tidak mati? Tentu saja, dia tidak akan mati semudah itu dimasa ketika dirinya begitu ingin mati.
Pada saat itu Laras menatap langit dan bertanya dalam hatinya. Kenapa Tuhan begini kejam padanya?
Ibunya bunuh diri di depan matanya saat dia kecil dan Kirana juga bunuh diri. Dia tidak memiliki apa-apa lagi, haruskah dia bunuh diri sejak awal?
Saat dia benar-benar nyaris kehilangan kesadarannya, seseorang memecahkan kaca mobilnya, melepas seat belt yang membelit tubuh Laras dan menariknya keluar dari mobil yang terus tenggelam ke dasar laut.
*
Laras membuka matanya dan menyadari kalau dirinya baru saja memimpikan masa lalu. Mimpi tentang kehidupannya yang lama dan menyedihkan.
Dilihatnya Bik Darmi tampak sedang membuka tirai jendela kamar, membiarkan sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar yang saat ini dia tempati.
Matanya mengerjap beberapa saat untuk menyesuaikan dengan cahaya silau yang masuk.
“Bik,” panggil Laras.
Bik Darmi berbalik dan tersenyum lembut.
“Non Laras sudah bangun? Mau sarapannya dibawa ke sini?” tanya Bik Darmi.
Laras menggeleng pelan.
“Aku akan membersihkan diri dulu dan sarapan dengan Kakek,” ucap Laras.
“Kalau begitu saya akan menyiapkan air mandi untuk Non Laras,” ucap Bik Darmi.
Baru beberapa langkah wanita paruh baya itu menjauh, Laras kembali memanggilnya.
“Semalam, penyakitku kumat lagi?” tanya Laras. Dia sendiri nyaris tidak mampu mengingat apa yang terjadi padanya semalam setelah dirinya terbangun karena mimpi buruk.
Hampir seperti ada kegelapan yang mengelilinginya dan mengendalikan semua indra di tubuhnya.
Laras mungkin tidak akan percaya kalau dirinya bisa gemetar dan menangis setelah bermimpi buruk. Dia bahkan berbicara hal-hal yang membuat orang-orang di sekelilingnya kebingungan, jika saja saat berobat di psikiater dia tidak diperlihatkan rekaman tentang dirinya sendiri.
Ini sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan dan dia membenci hal itu.
Bik Darmi mengangguk pelan saat Laras menatapnya.
“Non Laras harus berusaha mengurangi ketergantungan pada obat penenang,” ucap Bik Darmi.
Laras menarik napas panjang. Dia membutuhkan obat itu terutama saat dirinya harus melakukan perjalanan bisnis karena tidak mungkin membawa Bik Darmi sebagai pengawasnya pada setiap perjalanan bisnis.
“Hn.”
Hanya itu yang menjadi jawaban Laras.
Bik Darmi melanjutkan tugasnya menyiapkan air mandi untuk Laras.
Beberapa saat kemudian Bik Darmi sudah menyelesaikan tugasnya dan memutuskan untuk keluar dari kamar Laras agar majikannya itu memiliki waktu pribadi.
Setelah Bik Darmi keluar dari kamarnya, Laras bangkit berdiri dan menatap pantulan bayangan dirinya sendiri di cermin.
“Kirana tidak akan pernah ada. Ini adalah yang terbaik,” ucapnya pelan. Dia kemudian beranjak menuju kamar mandi dan mulai membersihkan tubuhnya.
#
Tuan Bamantara sudah berada di ruang makan saat Laras akhirnya bergabung di meja makan besar yang hanya di isi oleh dua orang anggota keluarga Bamantara itu.
“Kau terlihat sedikit pucat. Ambil saja waktu istirahat dan biarkan bawahanmu yang mengerjakan semuanya. Mereka dibayar untuk itu,” ucap Tuan Bamantara datar.
Laras mengambil tempat duduk di sisi kanan kakeknya.
“Kalau Kakek jadi aku, apa kakek akan membiarkan bawahan Kakek mengerjakan semuanya tanpa ikut campur? Itu sama sekali bukan gaya Kakek dan juga bukan gayaku,” ucap Laras sama datarnya.
Dilihat sekilas, sama sekali tidak ada kepedulian apalagi kehangatan dari cara Tuan Bamantara dan Laras saat keduanya saling berbicara.
Namun kenyataannya, keduanya saling peduli pada satu sama lain dengan cara mereka yang unik.
Tuan Bamantara meraih alat makan dan mulai sarapannya.
“Kalau begitu, batalkan semua perjalanan bisnismu ke luar kota dan ke luar negeri. Kau kembali bermimpi buruk semalam dan akan buruk kalau itu terjadi saat kau berada jauh dari rumah,” ucap Tuan Bamantara lagi.
Laras meraih kopi favoritnya dan menyesapnya pelan.
“Kali ini, aku akan membawa Bik Darmi kemanapun aku pergi dan bahkan aku akan mengunjungi setiap psikiater yang kakek rekomendasikan di semua kota yang menjadi tujuanku. Itu cukup kan? Aku tidak mungkin melepaskan tender penting,” balas Laras. Sikapnya memang sama keras kepalanya dengan sang Kakek.
Sejujurnya Laras merasa sedikit miris pada keadaannya sendiri. Dia bukan lagi anak kecil yang memerlukan pengasuh atau bahkan pembantu pribadi, tapi pada kenyataannya dia tidak bisa membantah kakeknya karena kenyataannya dia mungkin akan berada di kondisi yang buruk jika tiba-tiba penyakitnya kumat.
“Kalau begitu, tunda perjalananmu keluar kota selama dua hari ini dan temani kakek sepulang kerja untuk makan malam dengan kolega kakek,” ucap Tuan Bamantara.
Laras yang baru akan mengunyah sarapannya kini menatap kakeknya.
“Kakek tidak sedang mencoba untuk menjodohkanku lagi bukan? Kakek tahu, aku membenci hal itu setelah apa yang Papa lakukan kepadaku lima tahun lalu,” ucap Laras.
Tuan Bamantara menarik napas panjang.
“Larry menjodohkanmu pada pria terburuk di negara ini, sama buruknya dengan dirinya dan itu jelas berbeda denganku. Aku, kakekmu akan mengenalkanmu pada pria terbaik di dunia yang bisa kutemukan. Hanya mengenalkan, kalau kalian sampai tidak berjodoh itu bukan urusanku sama sekali. Setidaknya aku mencoba membantumu menemukan kebahagiaan bukan memanfaatkanmu untuk perusahaan atau keluarga Bamantara,” ucap Tuan Bamantara.
Kini Laras yang menarik napas panjang.
Susah sekali menolak keinginan kakeknya yang keras kepala. Mungkin sama keras kepalanya dengan dirinya mengingat di dalam dirinya mengalir darah keluarga Bamantara juga.
“Aku paham Kakek tidak berniat buruk kepadaku, tapi kebahagiaan tidak hanya ditemukan lewat pernikahan. Yang paling aku inginkan selain mengembangkan bisnisku dan bisnis keluarga Bamantara adalah bersama dengan Kakek dan menjaga Kakek sampai tua, tidak ada yang lain. Jadi tolong jangan paksa aku untuk menikah atau membina keluarga. Aku sama sekali tidak berminat pada salah satu atau keduanya,” ucap Laras. Dia terlihat sungguh-sungguh saat berbicara.
Di kehidupan kali ini, Laras hanya ingin membalas dendam dan hidup tenang tanpa harus menikah.
“Anak bodoh. Saat kau tua nanti, aku sudah lama menjadi tanah. Aku tidak bisa menerima kau hidup sendirian untuk waktu yang lama. Apa kau ingin membuat kakekmu ini mati penasaran dalam kekecewaan?! Aku melewatkanmu karena ibumu tidak ingin menunjukkanmu kepadaku saat kau lahir, jadi setidaknya sebelum aku mati aku ingin menggendong seorang cicit darimu,” ucap Tuan Bamantara dengan wajah sedih yang terlalu kentara dibuat-buat. Sejujurnya, dia juga bukan seseorang yang terbiasa bersandiwara.
“Anak kecil sangat ribut. Kakek kan suka ketenangan. Lagi pula, aku tidak akan memiliki anak. Jika saatnya tiba nanti, aku akan menyeleksi anak yang cemerlang dari panti asuhan, melatihnya dan mendidiknya dengan baik untuk menjadi penerus keluarga ini,” ucap Laras tegas.
Tuan Bamantara diam untuk beberapa saat. Begitu juga dengan Laras. Hanya suara alat makan yang terdengar memecah kesunyian saat itu.
Diam-diam Tuan Bamantara melirik cucu perempuannya tersebut. Terkadang dia berharap andai saja Laras memiliki sedikit kelembutan yang sama dengan almarhum istrinya mungkin tidak akan sesulit ini mempengaruhinya.
Sayangnya baik Larissa putrinya, maupun Laras, cucunya mewarisi lebih banyak sikapnya yang keras kepala.
“Kau tahu Laras. Ayahmu mengumumkan saudara tirimu sebagai pewaris utama keluarga Erlangga dan dia juga memberikan anak perusahaan Erlangga yang sebenarnya adalah bagian dari mas kawin almarhum Larissa dulu sebagai hadiah ulang tahun untuk adik tirimu. Apa kau rela? Mamamu meninggalkan wasiat kalau kau tidak akan pernah bisa mewarisi perusahaan itu selama kau belum menikah. Kau juga tahu kalau tadinya Rama, ingin memanfaatkanmu dengan membuatmu menikah dan membebankan hutang perusahaan pada perusahaan warisan Larissa. Tapi semenjak pernikahanmu batal dan perusahaan itu bersih, tampaknya dia sekarang berubah pikiran dan mengira kalau kau tidak akan pernah menikah. Dengan demikian kau tidak akan pernah menuntut perusahaan itu. Apalagi, kau memiliki perusahaan sebesar BM Corp. di tanganmu dan perusahaan yang kau rintis sendiri. Tapi apa kau rela? Bukannya kau ingin membalas dendam pada keluarga Erlangga? Apa kau benar-benar tidak akan mengambil semua yang seharusnya menjadi milikmu? Mereka pasti akan sangat bahagia.”
Tuan Bamantara mencoba sedikit provokasi untuk memancing Laras secara halus dan tampaknya caranya itu berhasil.
Melihat tatapan cucunya itu kini tampak seperti bisa menyemburkan api sewaktu-waktu. Sebuah kebencian yang sangat jelas dan terlalu kentara. Laras membenci keluarga Erlangga dengan segenap hati dan jiwanya, semua itu tergambar jelas di wajahnya sekarang.
“Karena ini, Kakek ingin aku menikah?” tanya Laras.
“Itu keputusanmu, bukan keputusan Kakek,” ucap Tuan Bamantara pura-pura tidak peduli.
Laras meletakkan peralatan makannya dan menyeka bibirnya.
“Jadi, di mana pria terbaik di dunia yang Kakek pilihkan untukku? Kalau dia memang benar-benar pantas aku mungkin bisa setuju meski dengan syarat,” ucap Laras.
Tuan Bamantara menahan senyumannya dan menunduk sejenak untuk menyembunyikan ekspresi kemenangannya.
“Ikutlah makan malam dengan Kakek nanti malam dan besok. Makanya kau harus menunda perjalanan bisnismu selama dua hari,” ucap Tuan Bamantara.
“Satu hari,” ucap Laras.
“Apa?” Tuan Bamantara sama sekali tidak menyangka kalau dia tidak bisa sepenuhnya menang dengan mudah melawan cucunya sendiri.
Laras menatap kakeknya dan tersenyum.
“Aku akan menunda perjalanan bisnisku satu hari dan berangkat di malam berikutnya setelah menemani kakek makan malam yang kedua kalinya. Bagaimana?” tawar Laras.
Tuan Bamantara menarik napas panjang.
“Jangan lupa ucapanmu. Bik Darmi dan juga psikiater di tiap kota. Ditambah, aku harus menerima laporan tentang kesehatanmu setiap waktu,” ucap Tuan Bamantara.
“Setuju. Kakek juga tidak boleh melarang dokter memberitahuku tentang kondisi penyakit jantung kakek. Aku ingin memantau perkembangan kesehatan Kakek juga,” ucap Laras.
Sejujurnya, alasan Laras mulai mengambil alih sebagian besar bisnis keluarga Bamantara adalah karena penyakit kakeknya. Dia ingin Kakeknya itu hidup lebih lama dibanding yang seharusnya.
“Setuju,” balas Tuan Bamantara.
“Aku tidak percaya pada Kakek,” ucap Laras.
“Aku berjanji. Bahkan aku sendiri yang akan memerintahkan dokter Edo mengirimkan laporan kesehatanku kepadamu setiap waktu,” ucap Kakek kesal. Tidak disangka dia juga bisa masuk dalam jebakan cucunya sendiri.
Laras tersenyum.
“Oke. Deal kalau begitu. Aku berangkat dulu Kek,” ucap Laras. Dia bangkit berdiri dan meraih kunci mobilnya.
Adiwilaga Bamantara hanya bisa menatap kepergian cucunya itu dengan tatapan nanar.
“Aku menyesal menurunkan gen keras kepala itu kepadanya,” gumamnya pelan.