Setelah Deri pergi dari rumahnya, Bram memikirkan tentang siapa Cindy? Polisi wanita yang bertugas di Kota mana? Apa hubungannya dengannya atau hanya sekedar kencan semata.
Bagaimana jika ternyata Cindy adalah wanita dari masa lalunya dan sebetulnya ia dan Cindy memiliki hubungan yang istimewa. Lalu karena kecelakaan dan kemudian ia hilang ingatan, membuatnya lupa akan keberadaan Cindy?, pikirnya.
Bram menggerakkan garpu dan sendok yang dipegangnya dengan lambat. Nasi padang berlauk rendang yang dibelinya untuk makan malam terasa hambar. Pandangannya samar dan menerawang.
Akhirnya Bram menaruh sendok dan garpunya menyilang di atas piring lebar yang masih terlihat setengah dari sisa nasi padang yang dilahapnya tadi. Ia beranjak berdiri dan meninggalkan ruang makan untuk menuju rumah Deri yang berada di seberang kediamannya.
Tirai jendela rumah Deri bergerak ke samping, terlihat sedikit tersingkap saat sang pemilik rumah mengintip ke arah luar.
Belum juga Bram mengetuk, Deri sudah membuka pintu rumahnya. “Hei, ada apa? Apa ada masalah?”
“Kamu melihatku berjalan ke mari?” tanya Bram yang tekjub Deri segera membuka pintu rumahnya.
“Ya, tadi aku memang ingin keluar untuk membeli sesuatu. Kebetulan, aku melihatmu datang ke mari,” jawab Deri sembari tersenyum simpul. “Ada apa Bram? Apa ada masalah?” lanjutnya bertanya karena melihat raut muka Bram yang kusut.
“Apa kamu tahu di mana rumahku dulu?” tanya Bram dengan tatapan bergetar.
Deri tidak langsung menjawab. Ia menatap Bram sebentar dan kemudian baru mengeluarkan suaranya. “Kamu ... tidak punya rumah.”
Bram tampak terkejut sesaat. “Jika aku tidak punya rumah, lalu di mana dulu aku tinggal?”
“Sebetulnya, secara harfiah dulu kamu tidak memiliki rumah karena tidak pernah membeli sebuah hunian. Kamu lebih suka mengembara. Menyimpan uang di bank, membeli sebidang tanah dan juga emas. Tapi hidup di berbagai tempat, bebas. Bagai burung yang hinggap di pepohonan. Bertengger dari satu ranting ke ranting pohon lainnya.”
“Siapa namaku dulu, apakah Herman?” tanya Bram sekali lagi.
Deri mengangguk pelan. “Ya, Herman ....”
“Pasti ada informasi tentang Herman di sebuah akun media sosial,” ujar Bram sembari merogoh saku celananya, mengambil ponsel pintarnya.
Deri membuka pintu rumahnya lebih lebar dari pada sebelumnya. “Ayo, masuk,” ujarnya mempersilahkan masuk.
Bram masuk ke dalam rumah Deri sembari memainkan ponselnya. Ia duduk di sofa tanpa memperhatikan lagi langkahnya. “Siapa nama lengkapku, Der?”
Deri yang baru saja duduk segera menatap Bram. “Kenapa? Kamu akan mencari dirimu sendiri di sosial media? Aku rasa tidak usah. Sepertinya kamu tidak memilikinya. Kamu adalah seorang perampok profesional. Tidak mungkin mempublikasikan identitas yang bisa dilacak oleh kepolisian.”
Bram diam. Penjelasan Deri terdengar masuk akal.
“Jika ada sedikit informasi dari dirimu terdektesi kepolisian. Bayangkan betapa mudahnya mereka menyelidikmu,” lanjut Deri lirih. “Kamu tidak memiliki akun-akun sosial media seperti itu, Bram. Jika pun kamu memilikinya, tidak perlu lelah mencari di gawaimu. Aku pasti sudah berteman denganmu di akun sosial media tersebut kan?”
Bram menarik nafas panjang dalam dan mengembuskannya perlahan.
Hening.
Mereka saling menatap satu sama lain.
“Jika begitu, apa kamu tahu siapa Cindy?”
Deri menggeleng pelan. “Tidak Bram ... Aku tidak mengenal Cindy. Kamu tidak pernah mengenalkan aku dengan wanita bernama Cindy itu. Mungkin perbincangan yang kamu ingat itu hanya perbincangan biasa saja. Dan Cindy hanya wanita yang kau kenal saja. Seorang polisi wanita yang mungkin bisa kau manfaatkan.”
Bram mengatupkan bibirnya. Ia merasa tidak sebegitu teganya, hingga bisa memanfaatkan perasaan seorang wanita. “Mungkin di masa laluku dulu, aku memang seorang perampok. Tapi aku tidak mungkin menjadi seorang pria b******k yang bisa memanfaatkan seorang wanita.”
Deri langsung tersenyum getir dan kemudian disusul tawa lirih. “Menurutmu begitu Bram? Dahulu kehidupanmu lekat dengan dunia malam. Uang, judi dan juga wanita ... Bagimu tidak masalah jika memanfaatkan seseorang yang penting niatmu tercapai.”
Bram menggelengkan kepalanya. Ia sungguh tidak merasa begitu. Ia segera beranjak berdiri dari duduknya. “Oke ... Jika kamu tidak bisa memberitahukanku informasi yang membantu, tidak apa-apa. Aku pulang dulu.”
Deri ikut berdiri. “Hei, kamu marah? Tersinggung dengan kata-kataku?” tanyanya tidak enak hati.
“Tidak, tidak ... Aku tidak marah padamu. Hanya saja aku terkejut saat mengetahui jika aku ternyata sebrengsek itu. Karena saat aku tahu masa laluku dulu adalah seorang perampok. Sekelebat bayangan dan kepingan memori yang hilang langsung teringat. Tapi untuk sebagai pria b******k yang sering memanfaatkan wanita, aku merasa aku tidak pernah seperti itu.”
Kembali hening.
Bram menghela nafas panjang. “Aku pulang dulu,” lanjutnya sembari membalikkan badan dan berjalan menuju pintu rumah.
“Jika ada yang bisa aku bantu, jangan lupa memberitahuku!” seru Deri sembari melihat punggung Bram yang berjalan menjauhinya.
Bram menoleh sebentar dan mengangguk. Ia menunjukkan jari jempolnya. “Tentu!”
Setelah Bram menyeberangi jalanan perumahan yang tidak terlalu lebar dengan trotoar dan tanaman bunga juga pepohonan yang rapi khas perumahan elite, Deri masih tetap memandangi punggung tetangganya itu hingga Bram membuka pintu rumahnya sendiri dan tidak terlihat lagi oleh netranya.
Deri kembali masuk ke dalam rumah dan bergegas menaiki anak-anak tangga dan menuju kamarnya. Ia mengambil ponsel miliknya yang sebelumnya tertinggal di atas ranjang tidur. Ia mengusap layar ponsel dan mencari nama seorang pria yang disimpan dengan sebutan nama, ‘Big Boss’.
Deri menekan logo gagang telepon yang berwarna hijau. Lalu tidak lama kemudian sambungan telepon terdengar.
Sekitar satu menit, terdengar nada tunggu panggilan berubah, tanda seseorang yang dihubunginya sudah mengangkat panggilan teleponnya.
“Halo, Jo?” panggil Deri.
Pria di seberang sana pun menyebut namanya. “Ada apa Der? Apa ada informasi terbaru?”
“Bram mulai ingat semuanya ....”
Seulas senyuman terhias di wajah pria tampan berkulit bersih. Dari wajah dan perawakan tubuhnya tidak terlihat sama sekali jika pria ini adalah seorang penjahat kelas kakap yang memiliki beberapa pengikut setia.
Tiga tahun ke belakang, pria bernama Jonathan yang kerap dipanggil Bos Jo ini, sukses menggeluti bisnis haramnya. Yaitu menjadi bos dari segala para penjahat. Di dalam naungannya, ia menjamin jika pengikutnya akan aman. Namun kesetian adalah hal utama. Siapa yang berani berkhianat, nyawalah bayarannya.
“Jadi Bram sudah mulai mengingat semuanya?”
“Iya Jo,” jawab Deri dan kemudian terdiam sesaat. “Tapi ... Sorry, aku ralat dengan yang kukatakan sudah mengingat semuanya. “Bram belum mengingat semuanya. Tapi hanya sebagian. Kepingan ingatan mulai mencul perlahan. Dan tiba-tiba dia mulai menceritakan tentang perbincanganya dengan seorang kawan yang membicarakan seorang polisi wanita bernama Cindy.”
“Cindy?” Jonathan berbalik bertanya.
“Iya. Cindy ... Apa kamu mengenalnya Jo? Tadi barusan sekali, Bram mengunjungiku dan bertanya-tanya tentang apa aku tahu dahulu dia tinggal di mana dan juga apa aku mengenal seorang polisi wanita bernama Cindy yang mungkin saja pernah dikencaninya.”
Di seberang sana Jonathan terdiam dan merenung sesaat. “Hm ... Cindy ... Apa Bram menitipkan uang tersebut pada Cindy?” Ia bertanya seraya bertanya pada dirinya sendiri.
“Entahlah. Aku juga tidak dapat memastikan,” jawab Deri lirih.
“Bantu Bram menemukan Cindy, dan laporkan perkembangan selanjutnya!”