Ketukan keras di pintu apartemen Abizar memecah keheningan pagi. Elsa, yang masih terbungkus selimut di sofa, terbangun dengan mata penuh kekhawatiran. Ia menatap Abizar, yang berdiri dengan jaket kulit hitam, tampak siap menghadapi hari yang sulit. Tatapan pria itu tegas, menunjukkan bahwa ia sudah tahu siapa yang ada di balik pintu.
Abizar berjalan menuju pintu, mengintip sebentar sebelum membukanya. Di depan pintu berdiri Darwin Luis, mengenakan setelan jas sempurna seperti biasanya. Tatapannya dingin, penuh ketegasan. Tanpa diundang, Darwin melangkah masuk, membuat Elsa yang masih duduk di sofa menjadi semakin gelisah.
"Elsa, aku perlu bicara denganmu," ujar Darwin tanpa basa-basi. Suaranya berat, penuh tekanan.
Abizar segera berdiri di antara Darwin dan Elsa, seperti tameng yang siap melindungi wanita yang ia cintai. "Kalau ada yang ingin kau bicarakan, bicarakan di sini. Aku tidak akan membiarkan Elsa sendirian."
Darwin mendengus kecil, ekspresinya mencerminkan ketidaksukaan. "Kau pikir kau bisa melindunginya, Abizar? Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri dari konsekuensi tindakanmu."
Elsa mencoba membuka mulut untuk membela Abizar, tetapi Darwin menatapnya dengan tajam, membuatnya terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke Elsa, wajahnya sedikit melembut. "Elsa, dengarkan aku baik-baik. Kau harus menjauh dari pria ini. Apa yang dia lakukan hanya akan membawa bahaya ke dalam hidupmu. Kau tidak tahu seberapa besar risiko yang ia ambil."
"Darwin, kau tidak berhak mengatur hidupku," jawab Elsa akhirnya, suaranya bergetar tapi penuh tekad. "Aku bisa membuat keputusan sendiri."
Darwin mendengus, menggeleng pelan. "Kau terlalu polos, Elsa. Apa kau pikir keluarga Smit akan membiarkan ini begitu saja? Mereka sudah mengincarmu, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Abizar mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Elsa tidak membutuhkan perlindunganmu, Darwin. Aku yang akan menjaganya."
Darwin menatapnya dengan sinis. "Menjaga? Dengan cara apa? Dengan melawan keluarga mafia sekelas Smit seorang diri? Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi, Abizar."
"Aku tahu siapa mereka, dan aku tidak peduli. Aku akan memastikan mereka tidak menyentuh Elsa lagi," balas Abizar dingin.
Darwin menatap Abizar, lalu beralih pada Elsa. "Kalau ini terus berlanjut, aku tidak punya pilihan lain selain memindahkanmu ke luar kota, Elsa. Tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapa pun, termasuk dia."
Mendengar itu, Elsa terperanjat. "Darwin, kau tidak bisa melakukan itu!"
"Aku akan melakukan apa yang perlu untuk melindungimu," jawab Darwin tegas.
Abizar melangkah maju, tatapannya tajam seperti bara api. "Coba saja. Aku akan memastikan kau menyesali keputusan itu."
Darwin tertawa kecil, suara yang lebih mirip ancaman daripada humor. "Kita lihat saja, Abizar. Kita lihat siapa yang akan menyerah lebih dulu."
Ia berbalik dan pergi tanpa menunggu jawaban. Ketika pintu tertutup, Elsa merasakan tubuhnya melemas. Ia menatap Abizar, matanya berkaca-kaca. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisiknya.
Abizar mendekatinya, memegang tangannya dengan lembut. "Kita akan melewati ini bersama, Elsa. Aku berjanji tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu."
---
Beberapa jam kemudian, Abizar berdiri di sebuah gudang tua di pinggiran kota bersama Saito, temannya yang setia, dan beberapa pria lainnya. Di depannya, lima pria berjas hitam berdiri dengan tatapan penuh tantangan. Salah satu dari mereka membawa samurai, sementara yang lain menyelipkan pistol di pinggang mereka.
"Abizar," kata salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan bekas luka di pipinya. "Kau tahu keluarga Smit tidak main-main. Ini adalah peringatan terakhir kami. Serahkan Elsa, atau kau akan menyesal."
Abizar mendekat dengan tenang, tatapannya dingin. "Kalian pikir kalian bisa mengancamku? Kalian bahkan tidak tahu siapa yang kalian hadapi."
Pria dengan samurai itu melangkah maju, senyum sinis di wajahnya. "Kalau begitu, tunjukkan apa yang bisa kau lakukan."
Tanpa peringatan, pria itu menyerang, mengayunkan samurainya ke arah Abizar. Tapi Abizar sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia menghindar dan meraih pipa besi yang tergeletak di lantai. Suara denting logam memenuhi ruangan saat samurai dan pipa saling beradu.
Saito dan anak buahnya tidak tinggal diam. Mereka melawan pria-pria lainnya, perkelahian yang penuh kekerasan. Suara tembakan bergema di udara, membuat suasana semakin mencekam.
Abizar terus bertarung dengan pria bersamurai itu. Gerakannya lincah dan penuh strategi, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi bahaya. Dengan satu gerakan cepat, ia berhasil menjatuhkan samurai dari tangan pria itu dan menodongkan pistol ke kepalanya.
"Kau ingin hidup?" tanya Abizar dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan. "Sampaikan pesan ini pada keluarga Smit: jika mereka mencoba menyentuh Elsa lagi, aku tidak akan sebaik ini."
Pria itu mengangguk dengan wajah pucat, jelas ketakutan. "Baik... aku akan menyampaikan pesanmu."
Abizar melempar pistol itu ke lantai dan menendang pria itu hingga tersungkur. Ia menoleh ke Saito. "Kita selesai di sini. Pastikan mereka tidak lupa pelajaran hari ini."
Saito mengangguk dengan penuh keyakinan. "Akan kuurus semuanya."
---
Saat Abizar kembali ke apartemennya, tubuhnya penuh dengan memar, tetapi pikirannya hanya tertuju pada Elsa. Ketika ia membuka pintu, Elsa langsung berlari menghampirinya. Wajahnya penuh kecemasan.
"Abizar! Apa yang terjadi padamu? Kau terluka!" teriaknya, suaranya penuh kekhawatiran.
Abizar tersenyum tipis, meskipun rasa sakit menjalar di tubuhnya. "Aku baik-baik saja. Aku sudah memastikan mereka tidak akan mengganggumu lagi."
Elsa menatapnya, air mata menggenang di matanya. "Kenapa kau harus sejauh ini? Kau bisa saja terluka parah, bahkan terbunuh!"
Abizar mengusap pipinya dengan lembut, menyeka air matanya. "Aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu, Elsa. Kau adalah segalanya bagiku."
Elsa memeluknya erat, tangisnya pecah di bahunya. "Aku tidak ingin kau terluka, Abizar. Aku tidak ingin menjadi alasanmu mengambil risiko sebesar ini."
"Kau bukan alasan, Elsa," bisik Abizar. "Kau adalah tujuan. Aku tidak peduli seberapa besar risikonya, aku akan selalu melindungimu."
Elsa melepaskan pelukannya, menatap Abizar dengan mata yang penuh emosi. "Kau gila, Abizar."
Abizar terkekeh kecil, meskipun suaranya terdengar lelah. "Mungkin. Tapi aku hanya gila karena kau."
Ia berjalan menuju pintu, berhenti sejenak untuk menatap Elsa sekali lagi. "Tunggu aku di sini. Aku akan memastikan semuanya beres. Aku berjanji akan kembali untukmu."
Elsa tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. "Hati-hati, Abizar."
Abizar mengangguk, lalu menutup pintu di belakangnya. Namun, ia tahu bahwa ancaman dari Darwin Luis dan keluarga Smit hanyalah permulaan dari perang yang lebih besar.
---
Di tempat lain, Darwin Luis berdiri di depan jendela kantornya, memandang ke luar dengan ekspresi serius. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, dan ia mengangkatnya tanpa berkata apa-apa.
"Tuan Darwin," suara di ujung telepon terdengar dingin. "Kami sudah siap untuk memindahkan Elsa ke lokasi yang lebih aman. Apa instruksi selanjutnya?"
Darwin menghela napas pelan, matanya penuh determinasi. "Pastikan tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, termasuk Abizar. Kita harus memastikan keselamatannya, tidak peduli seberapa keras dia menolak."
"Dimengerti, Tuan," jawab suara itu.
Darwin menutup telepon, lalu menatap langit dengan tatapan tajam. "Abizar, permainan ini baru dimulai. Kita lihat siapa yang akan bertahan sampai akhir."