“Bude! Apa Bude tidak lihat, kita sedang ada tamu? Berbicaralah yang sopan!” ucap Lestari mengingatkan.
“Halah, enggak usah mengatur kamu! Biar saja mereka tahu. Orang miskin kayak kalian, mana sanggup membeli semua ini dengan uang halal? Atau, jangan-jangan, kamu jadi wanita malam? Menjijikkan!” Kokom menunjukkan ekspresi menjijikka pada Lestari.
"Jaga ucapanmu, Mbak! Anakku tidak serendah itu," sahut Rukmini tegas.
“Maaf, Bu. Bukannya kami mau ikut campur, tapi ini semua memang milik bu Lestari. Beliau menjadi....”
“Enggak perlu dijelaskan pekerjaan saya padanya. Percuma. Kami akan tetap dipandang rendah olehnya,” potong Lestari dengan gurat marah di wajah cantiknya.
“Tapi ini sudah penghinaan Bu Tari,” protes salah satu di antara mereka.
“Tidak masalah. Sudah menjadi hal biasa kok. Mereka tidak punya pekerjaan lain, selain mencaci dan menghina kami.”
“Iya sudah Bu. Tugas sudah selesai. Barang sudah kami antar dengan selamat. Kalau begitu, kami izin pulang Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam. Hati-hati di jalan, dan terima kasih.”
“Sama-sama, Bu.”
Setelah kepulangan mereka, Kokom tetap saja duduk di sofa empuk itu, tanpa ada niatan sedikit pun untuk pulang.
“Kenapa, Bude? Betah duduk di sofa mahal? Beli juga dong Bude! Masa kalah sama Tari.”
“Sombong! Sofa begini saja palingan satu juta juga dapat,” sahut Kokom dengan pongahnya.
“Iya beli kalau begitu Mbak. Lain kali jangan suka bicara sembarang di depan banyak orang, Mbak. Apalagi memfitnah anakku.”
“Loh, enggak terima, kamu? Kenyataannya memang iya, ‘kan? Mana mungkin kalian bisa membeli ini semua?”
“Sudahlah, Bu. Percuma ngomong sama Bude.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam, Mas.” Senyum merekah terbit di bibir Lestari, saat mengetahui suaminya pulang dan berdiri di ambang pintu. Firman, perawakan tinggi, putih, dan hidungnya yang mancung menambah kegantengannya. Mata Kokom sepertinya sedang rabun, hingga pria setampan Firman, ia kata jelek.
“Aduh, tukang ojek sudah pulang. Lihat kelakuan istri kamu, membeli banyak perlengkapan rumah tangga. Ini pemborosan. Kalau enggak punya uang, jangan memaksa beli ini itu. Nanti kelilit hutang, tahu rasa kalian. Sampai kapan pun, kalian tidak akan bisamengikuti gaya hidupku. Paling besok, kalian sudah kesusahan untuk makan.”
“Sudah, jangan dengarkan ucapan Bude, Mas. Ayo cepat bersihkan diri, salat, dan kita akan makan siang.”
Firman pun menurut ucapan istrinya. Meski rasa marah ingin ia lepaskan, namun, mendengarkan istrinya adalah keputusan yang benar. Ia gegas ke kamar. Sementara kini, mata indah dengan bulu lentik milik Lestari menatap tajam pada Kokom yang tidak merasa bersalah sama sekali.
“Pulanglah, Mbak! Kedatanganmu hanya menjadi luka buat anak dan menantuku. Setiap ucapan yang keluar dari mulut jahatmu itu, mengandung racun.”
“Mau aku di sini, mau aku di mana kek? Itu hakku. Tanah ini milik Bagio adikku. Kalian itu hanya menumpang. Aku perjelas lagi, Menumpang."
“Eh, kebetulan ada kamu Tari. Durhaka kamu ini ya. Dikuliahkan mahal, kerja baru setahun, sudah menikah saja. Mana suami kamu, sama miskinnya. Kayak aku dong. Suami aku kaya. Aku bisa memberikan apa saja, yang ibuku mau. Oh, iya, datang ya, ke acara tasmiyahan anakku. Ini undangannya. Cukup datang saja enggak usah membawa apa-apa juga enggak papa kok. Takutnya kamu malah mesti hutang dulu buat beli kado.” Veni tiba-tiba nongol tanpa salam ataupun permisi. Ia langsung duduk di samping ibunya.
“Harus ya, datang? Kemarin kalian saja tidak mau datang saat acara pernikahanku dengan mas Firman berlangsung.”
“Aduh, maaf banget ya, kami enggak datang. Yang pertama kami sibuk. Terus, kalian menikah pasti juga cuma acara sederhana di rumah, enggak ada pesta. Buang-buang waktu saja dong, aku datang jauh-jauh dari sini ke Semarang,” sahut Veni dengan angkuhnya.
“Sudah Mbak. Bawa anakmu pulang. Kami tidak akan datang ke acara pesta anak kalian. Yang ada nanti, kami hanya jadi bahan lelucon kalian di sana.”
“Aduh, ke acara kami, kalian enggak akan rugi. Kalian bisa makan enak sepuasnya. Selama ini, Bulek mati-matian menyekolahkan Lestari. Jangankan untuk makan enak, bisa makan nasi setiap hari saja, sudah syukur.”
“Cukup Veni! Lama-lama mulutmu itu sama saja dengan ibumu!” bentak Rukmini. Tanpa mereka sadari, Firman pun menguping pembicaraan mereka. Gurat kesedihan jelas tampak di wajah pria tampan itu. Amarahnya pun memuncak, melihat istri dan ibu mertuanya dihina.
Firman lantas mengirim pesan pada salah satu pegawainya.
[Mas Adi, tolong kirimkan satu buket uang sejumlah sepuluh juta. Nanti saya kirim alamatnya.]