BAB 1

1048 Kata
“Oalah, jauh-jauh kerja kok ya dapat suami model buntelan kentut begitu. Enggak cocok sama sekali sama kamu, Lestari. Kamu ini cantik, berpendidikan, minimal suami kamu itu manajer perusahaan. Terus mukanya ya yang cakepan sedikit, enggak kayak suami kamu itu,ccuma tukang ojek, jelek lagi. Kasihan orang tua kamu menyekolahkan kamu tinggi-tinggi, anaknya cuma nikah sama tukang ojek online.” “Tuh lihat sepupumu, mereka semua dapat suami kaya dan juga tampan. Sudah dibuatkan rumah, walaupun masih ukuran kecil dan sederhana, setidaknya sudah tidak menumpang lagi di rumah orang tua ataupun mertua.” Kokom membanggakan menantunya. Ia menekankan setiap ucapannya. “Sudah, Bude? Sudah selesai menghina suamiku? Itu ada pintu, Bude bisa melewatinya untuk pulang.” Lestari menunjuk ke arah pintu dengan wajah kesal. “Kamu berani mengusirku, Lestari? Percuma berpendidikan tinggi, tapi enggak punya sopan santun. Kamu itu seharusnya bisa menghormati yang lebih tua. Dasar enggak punya adab! Percuma kuliah dibiayai mahal-mahal, kalau ujungnya kayak anak enggak berpendidikan.” “Aku bisa menghormati siapa saja, yang memang pantas untuk aku hormati Bude. Tapi manusia modelan Bude ini, tidak pantas dihormati. Datang ke rumah orang tanpa diundang, cuma mau menghina kami. Kalau suami Tari tukang ojek online, memangnya kenapa? Semua pekerjaan selama halal, tidak Tari permasalahkan Bude. Bude kesini, sebenarnya hanya mau pamer punya menantu kaya, ‘kan? Lah terus, Bude pikir Lestati peduli?" “Kalau iya, memangnya kenapa? Enggak suka? Kamu irikan sama Veni, suaminya PNS? Halah, sok-sokkan enggak peduli, padahal iri." “Enggaklah. Kenapa mesti iri?xBerapa sih gajinya? Sombong banget Bude ini." “Gajinya yang jelas berkali-kali lipat, dibanding hasil kerja suami kamu yang kere itu. Mungkin saja gaji Rangga sebulan, itu gaji suami kamu 3 bulan.” “Cukup Mbakyu! Mau bagaimana pun keadaan menantuku, Mbakyu tidak berhak menghinanya. Berhenti mengurusi kehidupan kami Mbakyu. Umur sudah tua seharusnya perbanyak amal kebaikan, bukan malah suka mencari masalah.” Rukmini yang sejak tadi mendengar ucapanctidak enak kakak iparnya itu, menyahut karena sudah tidak tahan anak dan menantunya dihina. Saat ini, suami Rukmini sedang memetik cabai di kebun, untuk dijual. Kakak Bagio akan ke rumah, jika adiknya sedang tidak ada. “Halah, kamu ini sama saja kurang ajar. Pantas saja Tari berani sama aku, orang kamu yang mencontohkan. Kasihan adikku punya istri sama anak yang suka membangkang seperti kalian.” “Lebih kasihan lagi Mas Bagio, punya kakak julid kayak Mbakyu.” “Dasar enggak sopan. Punya adik ipar kayak kamu, bikin aku naik darah saja. Awas kamu! Akan aku adukan pada Bagio perbuatan kalian. Kalian sudah tidak menghormati aku lagi sebagai saudara tua Bagio.” “Adukan saja Bude. Bapak juga sudah hafal sama tingkah Bude yang suka cari perkara sama kami. Jangan harap Bapak akan membela Bude.” Kokom pun pergi setelah menendang pintu dengan keras. Di usianya yang sudah menginjak 50 tahun, dia masih begitu kuat dan masih suka sekali mencari perkara. Rukmini dan Lestari, selalu menjadi bahan bulian Kokom dan anak-anaknya. Bahkan suami Lestari pun, tak luput dari omongan mulut jahat si Kokom. “Tumben Mamak berani melawan Bude? Biasanya Mamak diam saja,” cerca Lestari menyadari Rukmini bersikap tidak seperti biasanya. “Mamak sudah capek mendengar omongan sumbang bude kamu itu. Entah kapan bude kamu itu mau bertaubat? Umur tidak berbau, tapi tingkah laku tidak juga berubah.” “Iya sudah Mak. Selama mas Firman tidak mendengar hinaan bude, tidak masalah. Kasihan kalau sampai Mas Firman tahu, bisa sakit hati dia. Untung hari ini banyak antrean mengojek, jadi Mas Firman pergi lebih awal.” “Bude kamu itu memang tidak punya adab. Tidak bisa dijadikan contoh yang lebih muda. Umur bukan patokan seseorang menjadi disegani, kalau tingkahnya urakan seperti itu, yang ada malah jadi omongan orang saja.” “Iya sudah, biarkan saja Mak. Nanti bakalan sembuh kalau sudah dipatok.” “Eh bukan aku mendoakan bude cepat meninggal loh, Mak. Tapi kenyataannya kebanyakan orang yang julid dan suka mencari masalah sama orang, kalau belum mati belum sembuh. Tuh sama saja kayak Riska yang selalu mencari perkara sama kakak iparnya. Enggak ada sembuh, yang ada semakin parah saja kelakuannya. Kasihan mbak Tina punya adik ipar tukang adu domba kayak si Riska." “Iya Nduk. Mamak paham. Semua bisa kamu jadikan pelajaran Nduk. Ambil hikmahnya. Kamu yang sopan sama kakak ipar kamu. Sayangi dia, maka dia pun, akan menyayangi kamu. Iya sudah, selesaikan masaknya. Pekerjaan lain sudah menanti. Usahakan sebelum suami kamu pulang, semuanya sudah beres, jadi kamu bisa menyambut kedatangan suami kamu dengan badan sudah wangi.” Tok....Tok....Tok... Pintu pun diketuk. “Loh, siapa, Mak? Tidak mungkin itu mas Firman.” “Biar Mamak yang buka. Kamu lanjutkan saja memasaknya. Kasihan kalau suami kamu pulang, makanan belum siap.” Rukmini pun meninggalkan Lestari di dapur. Ia gegas ke depan melihat tamunya. “Benar ini rumah Ibu Lestari?Kami dari pihak Toko Pelangi, mengantarkan beberapa perlengkapan rumah tangga untuk bu Lestari.” “Apa Bapak tidak salah alamat? Anak saya jangankan untuk membeli semua ini, uangnya habis untuk kebutuhan sehari-hari,”ucap Rukmini memastikan. Rukmini memindai setiap inci dalam mobil truk yang terbuka, dan di dalamnya terdapat, sofa, tempat tidur, meja dan kursi makan, serta lemari. Semua barang yang dibawa mereka adalah barang mahal dan mewah. “Bagaimana, Bu? Mau diletakkan di mana, barangnya? Biar kami yang angkatkan.” “Sebentar saya panggilkan anak saya.” Rukmini pun masuk ke dalam dan memanggil anaknya untuk menemui mereka yang menunggu di teras. Kebetulan masakan sudah siap, dan Lestari sudah mematikan kompornya. Hanya tersisa menggoreng ayam saja. “Maaf Pak, kalau boleh tahu, siapa yang membeli ini semua? Takutnya salah alamat. Soalnya saya dan mamak saya tidak merasa memesan barang-barang ini." “Alamatnya benar. Namanya juga benar. Mohon maaf kami hanya punya wewenang mengantar, namun merahasiakan identitas pembeli atas permintaannya, adalah kewajiban yang mesti kami jaga.” Setelah merasa yakin, barang pun diturunkan dan diangkut ke dalam rumah mereka yang tidak begitu besar. Saat sedang asyik mengobrol di ruang tamu, derap langkah tak asing pun terdengar. “Mencuri di mana kalian, sampai bisa membeli barang-barang mahal ini? Kalau miskin ya miskin saja. Jangan memaksakan, nanti bisa stres karena terlilit hutang,” sindir Kokom tanpa tedeng aling-aling. Tanpa rasa malu, dia lantas menduduki sofa baru berwarna abu-abu itu, dengan tatapan sinis pada Rumkini dan Lestari. Sedang para pegawai toko hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan Kokom yang terkesan menghina itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN