Pengangguran Hari Kedua

1152 Kata
Sesungguhnya Rinjani tidak pernah menampik tentang kemungkinan ia bertemu dengan orang tua dari siswanya di luar tempat les. Sebagai manusia yang hidup dengan segala kebutuhan sosial mendesak, Rinjani tentu perlu untuk pergi ke tempat-tempat umum seperti food court ini contohnya. Namun saat ini, tepat di pukul empat sore ini, Rinjani sangat tidak mengharapkan semesta membuat dirinya bertemu dengan Adam. “Bagaimana pembelajaran anak saya hari ini?” Rinjani tidak ingat kalau ia sudah mempersilakan Adam untuk duduk di hadapannya. Pria itu barangkali langsung duduk tanpa memperdulikan Rinjani yang masih terpaku bingung. “Anda tidak membalas pesan saya.” “Kami masih dalam tahap pendekatan terhadap Himalaya,” jawab Rinjani setelah selesai dengan pikirannya. Ia membalas tatapan Adam, lalu melanjutkan, “seperti yang pernah saya katakan, membutuhkan waktu untuk bisa memahami Himalaya. Saya harap Bapak bisa mengerti dan sabar menunggu perkembangannya.” Adam hanya menganggukkan kepalanya sekali lalu. Terkesan tidak ingin mendengar Rinjani berbicara lebih banyak. Membuat perempuan yang hampir diusia tiga puluh itu ingin memutar matanya jengah. Namun Rinjani sadar bahwa itu akan membuatnya terlihat kekanakan dan sangat tidak sopan. “Dan apa maksudnya ini?” tanya Adam sambil menunjukkan sesuatu di layar ponselnya kepada Rinjani. Seketika Rinjani ingin mengutuk Miss Nana dan kebodohannya. Wanita itu! “Bisa anda jelaskan?” Nada suara Adam sangat jauh dari kata ramah. Rinjani menarik kedua ujung bibirnya agar melengkung ke atas, karena sungguh nada suara Adam memancingnya untuk membalas dengan cara yang sama. “Bapak bisa langsung tanyakan ke kantor untuk lebih jelasnya.” “Saya tidak punya waktu.” Rinjani sudah menemukan beberapa tipe orang tua siswa. Banyak yang menyenangkan, tapi tak sedikit pula yang menyebalkan. Dan diantara yang menyebalkan tersebut, Adam langsung menempati puncak teratas, meskipun Rinjani baru mengenalnya beberapa waktu lalu. “Kalau begitu bapak bisa langsung bertanya kepada Miss Nana.” Sebelum Adam menjawab lagi perkataannya, Rinjani langsung menambahkan. “Miss Nana adalah orang yang mengirimkan chat itu.” “Saya lebih suka berbicara dengan gurunya langsung,” jawab Adam. “Tidak ada jaminan kalau isi pesan tersebut belum terkontaminasi.” “Bapak akan segera mendapatkan pesan dari guru Himalaya.” Sebelah alis Adam langsung menukik tajam. “Saya sangat tidak suka membuang-buang waktu,” kata Adam terdengar berang. “Menurut anda apa yang sedang saya lakukan di sini?” tanya pria itu semakin kesal. “Dengan, Anda,” ujar Adam menakankan dua kata terakhirnya. “Saya bukan guru Himalaya,” jawab Rinjani singkat. “Setidaknya dimulai dari hari ini.” Tidak ada sedikit pun keterkejutan yang diperlihatkan Adam, tetapi Rinjani tidak peduli. Seharusnya ia mengatakan hal itu kepada Adam sejak tadi, tapi Rinjani masih memikirkan petuah Jia Li yang mengatakan kalau ia sebaiknya menjaga nama baik tempat les mereka. “Selamat sore,” kata Rinjani mengakhiri pertemuannya dengan Adam sore itu. * Rinjani kira hari kedua menjadi pengangguran adalah yang terbaik. Pikirnya setelah menghabiskan satu hari untuk menyesali apa yang sudah terjadi, kemudian menerimanya dengan ikhlas, ia bisa menikmati hari tanpa adanya beban. Rupanya pemikiran itu adalah analisa paling bodoh yang pernah dilakukan Rinjani. Dimulai sejak pagi, suara notifikasi handphone sudah membuatnya terpaksa membuka mata. Mulai dari pesan singkat tentang tenggat waktu untuk p********n utang ke Bank, peringatan dari pemilik apartemennya mengenai uang sewa. Cicilan motor serta cicilan laptop yang baru saja ia beli dua bulan yang lalu. Rinjani menghela napas lelah. Seharusnya ia sudah memikirkan makan siang, tetapi pesan dari Miss Nana masuk secara bertubi-tubi ke ponsel pintar miliknya. Perempuan itu mengabarkan tentang banyaknya orang tua yang protes sehubungan dengan kepergian dirinya dari tempat les tersebut. Dan betapa pusingnya bagian administrasi ketika menghadapi Adam yang mengetahui kebohongan kecil mereka. Handphone-nya berdering. Nomor telepon Victory Education Center, bimbel tempat Rinjani dulu mencari nafkah muncul di layar tersebut sebelum kemudian mati dan muncul lagi. Rinjani sempat dilemma antara ingin menjawab atau tidak. Sebab menurut egonya, bukan kewajiban dirinya untuk kembali terlibat dengan permasalahan mereka. Namun karena rasa kemanusiaannya masih cukup banyak, Rinjani akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan siapa pun yang berada di balik telepon ini. “Halo. Selamat siang,” sapa Rinjani. “Miss Rinjani,” panggil Miss Hanum di seberang sana. “Maaf mengganggu waktunya sebentar. Ada yang mau saya bicarakan.” “Silakan, Miss,” jawab Rinjani benar-benar ingin segera mengakhiri percakapan yang bahkan belum dimulai tersebut. “Papanya Himalaya marah karena dia pikir kita bohong.” “Bohong?” Rinjani memotong cepat karena merasa janggal dengan pemilihan kata perempuan yang sudah kepala empat tersebut. Sebelumnya pun, Miss Nana menggunakan kata tersebut kepada dirinya. “Himalaya tadi diajarkan oleh Miss Udik, eh maksud saya Miss Tuti.” Rinjani mengenal orang tersebut. Orang kepercayaan Jia Li selain Miss Hanum dan ditempatkan di kantor yang berbeda. “Dan Miss Nana bilang ke papanya Himalaya kalau anaknya hari ini mau belajar dan pintar.” Rinjani memijit pangkal hidungnya. “Karena Miss Udik, maaf maksud saya Miss Tuti mengatakan seperti itu.” Sebetulnya dibanding ‘udik’, Miss Tuti lebih cocok dengan gelar ‘dungu’. Perempuan tersebut sungguh menganggap semua orang bodoh, sehingga kepada siapapun akan ia sampaikan bahwa siswa di kelasnya selalu belajar dengan baik. “Sampaikan permintaan maaf dan katakan yang sebenarnya.” Rinjani menatap pemandangan dari balkon apartemennya. Barangkali semesta tahu kalau ia membutuhkan pemandangan yang bagus untuk melepas penat setelah bekerja. Unit apartemen yang ia sewa merupakan posisi paling bagus dari segala unit yang ada di sana. Selain keindahan kolam renang sendiri, Rinjani juga bisa menikmati panorama mewahnya kolam renang serta taman yang berada di apartemen orang lain. Dan perhatian Rinjani tertuju pada beberapa orang yang sibuk mendirikan sesuatu dengan layar yang besar. Hampir menyerupai layar lebar, tetapi Rinjani tahu kalau itu adalah sebuah papan iklan digital. Lalu satu pertanyaan timbul di benak Rinjani. Untuk apa ada papan iklan tersebut di lingkungan apartemen ini? Bukan hanya karena keberadaan benda tersebut yang terlalu mencolok, tetapi menempatkan papan iklan digital sebesar layar lebar tersebut di pusat pemandangan dua buah apartemen tentu menghalangi tatapan orang-orang dari hijaunya taman apartemen. “Papanya tidak bisa dibohongi seperti itu. Lagi pula Himalaya itu anak speech delay, nggak mungkin dia langsung bisa belajar.” Rinjani kembali menyambung perkataannya yang sempat terjeda lantaran fokusnya teralihkan. “Maaf, Miss Rinjani. Saya menelpon untuk minta tolong supaya Miss Rinjani yang berbicara ke papanya Himalaya.” “Ya?” Rinjani yakin pendengarannya salah tangkap. Namun mengingat sifat Miss Hanum, ia akhirnya tahu kalau perempuan itu benar-benar melimpahkan tugas ini kepada dirinya. “Saya tidak mengerti keadaannya, Miss Nana juga. Kalau masalah ini tidak diselesaikan dan keluhan sampai ke Ibu, Nyonya pasti marah besar, Miss.” Rinjani menghelas napas samar. Kesalnya mulai mengumpul sedikit demi sedikit. “Maaf Miss Hanum, saya rasa itu bukan tanggung jawab saya lagi. Dan kalaupun masalah ini sampai ke Ibu, itu memang sudah seharusnya.” “Tapi, Miss ….” “Saya izin tutup telponnya duluan ya, Miss. Saya ada kegiatan. Selamat siang.” Dengan begitu Rinjani mengakhiri sesi telepon yang sangat membuat jengkel tersebut. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN