First Meet
“Kamu gila!” teriakan itu berasal dari Jia Li, seorang wanita enam puluh tahun yang sudah mempekerjakan Rinjani hampir selama lima tahun ini. Dalam posisi berdiri, Jia Li menatap Rinjani tajam.
“Kamu digaji untuk bekerja.” Jia Li kembali berkata dengan nada tinggi. “Tapi lihat apa yang kamu lakukan,” sembur Jia Li ketika melemparkan beberapa lembar kertas ke atas meja, tepat di hadapan Rinjani yang masih membisu. “Kamu menolak siswa?” tanya Jia Li terdengar tidak percaya.
“Maaf, Bu,” jawab Rinjani dengan suara pelan.
“Minta maaf atas kebodohan kamu?” salak Jia Li kasar.
Rinjani mengepalkan tangannya di bawah meja, kemudian mulai berhitung di dalam hati. Hal yang selalu ia lakukan jika berada di dalam situasi seperti ini. Terima kasih kepada buku yang ia baca, berkat hal tersebut Rinjani selalu bisa menahan diri untuk tidak lepas kendali. Karena sejatinya ia hanyalah manusia yang selalu kesulitan dalam mengontrol emosi.
“Dalam minggu ini kamu harus mendapatkan lima siswa baru,” kata Jia Li yang langsung membuat Rinjani terbelalak kaget. “Kalau kamu gagal, silakan cari tempat lain.”
“Tapi, Bu ….”
“Silakan keluar dari ruangan saya.”
Rinjani masih bergeming.
“Setelah membuat kekacauan, sekarang kamu tidak mau mendengarkan saya?” tanya Jia Li kembali berang.
Rinjani menggeleng. Lalu ia berdiri sembari berpamitan. “Selamat siang, Bu.”
*
Sampai kemarin siang, Rinjani sudah lupa rasanya terintimidasi oleh orang lain. Tidak peduli siapa pun yang berhadapan dengannya, Rinjani tidak akan gentar meski cuma seujung kuku. Namun untuk kali ini Rinjani merasa gelisah hanya karena ditatap oleh sepasang mata tajam milik seorang pria bernama Adam.
“Langsung saja,” kata Adam dengan suara baritonnya. “Kenapa anda menolak anak saya?”
Rinjani membenci kenyataan ini, tetapi ia tidak bisa memungkiri bahwasanya pertanyaan yang dilontarkan Adam baru saja membawa Rinjani kepada rasa gugup yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Melihat seseorang gugup di hadapannya bukanlah hal yang baru bagi Adam, akan tetapi melihat sepasang mata tersebut masih setia membalas tatapannya meski dalam keadaan takut merupakan hal baru bagi Adam. Dan Adam semakin terkejut ketika akhirnya Rinjani menjawab ucapannya dengan ketenangan yang luar biasa.
“Saya minta maaf atas hal tersebut.”
Adam tidak mengalihkan tatapannya dari wajah Rinjani. Penasarannya baru saja terusik lantaran mendapati ketenangan wanita yang beberapa waktu lalu direkomendasikan oleh seorang temannya.
Rinjani menyadari jika Adam semakin mempertegas aura keberadaannya. Namun sesuatu harus ia jelaskan di sini. Oleh sebab itulah ia berusaha semaksimal mungkin untuk menekan rasa gugupnya.
“Tapi saya rasa ada kesalahpahaman yang perlu diluruskan.” Rinjani bersyukur bahwa ketenangan masih bersama suaranya. “Saya tidak bermaksud menolak anak Bapak, tapi karena …”
“Karena dia cacat, Anda langsung menolaknya,” kata Adam dengan suara dingin.
Hanya saja hal tersebut tidak lagi membuat bulu kuduk Rinjani merinding, terlebih setelah pria tersebut memotong ucapannya dengan sebuah kalimat yang menyebalkan.
“Speech delay,” ujar Rinjani menahan geram. “Karena anak Bapak mengalami speech delay, makanya saya belum bisa menerima Himalaya untuk saat ini.” Barangkali karena anak secantik Himalaya dikatakan ‘cacat’ oleh ayahnya sendiri atau bisa jadi karena ucapannya yang disela secara semena-mena, Rinjani tidak bisa memastikan untuk alasan yang mana kesalnya ini memuncak sampai ke ubun-ubun.
“Sebagai seorang pengajar, penting bagi saya untuk memastikan siswa mengerti dengan apa yang saya jelaskan. Selain itu, saya juga harus mengerti dengan kemauan dan pola belajar mereka. Dengan berbagai latar belakang dan juga pola asuh yang mereka dapatkan di rumah, tentu saja tidak mudah bagi saya mendapatkan keduanya. Satu-satunya cara yang bisa saya tempuh adalah dengan menjalin komunikasi.”
Rinjani hampir menghela napasnya karena lelah yang tiba-tiba melanda. Namun karena Adam masih bergeming di hadapannya, Rinjani tidak punya pilihan lain kecuali melanjutkan ucapannya.
“Saat ini saya sama sekali tidak mengerti cara berkomunikasi dengan Himalaya karena keterbatasan bicara dan bahasa yang dia miliki. Maaf kalau saya terkesan menolak, tetapi saya perlu tegaskan kalau saya bukan profesional di bidang tersebut. Lembaga kami juga tidak bergerak dibidang tersebut. Memaksa Himalaya belajar di sini.” Rinjani memberi jeda pada ucapannya. “Di bawah bimbingan saya akan percuma.”
Sekali lagi Adam dibuat terkejut oleh Rinjani. Bagaimana bisa ada orang yang terlihat kuat, tetapi menyuarakan kelemahannya selantang itu?
“Himalaya tidak akan bisa mendapatkan kemajuan apa-apa.” Rinjani menatap Adam tegas. “Dan Bapak hanya akan membuang uang percuma.”
Adam tersenyum sinis. Sebuah reaksi yang tidak pernah terpikirkan oleh Rinjani akan ia dapatkan setelah menjelaskan dengan sedemikian hati-hati. “Apa yang anda tahu tentang Speech delay?” Dan juga sebuah pertanyaan yang tak terduga.
Rinjani mengerjapkan mata dua kali. “Sebuah kondisi yang membuat anak belum bisa mengucapkan sejumlah kosa kata karena keterbatasan verbal yang mereka miliki,” jawab Rinjani setelah menatap Adam lama.
“Tepat sekali,” ujar Adam datar. “Dan sebagai seorang pengajar, Anda sama sekali tidak mengerti cara berkomunikasi dengan anak saya?”
“Maaf?”
Adam mendengus kasar. “Sepertinya kenalan saya terlalu berlebihan dalam menilai, Anda.”
Rinjani masih mencoba menelaah semua perkataan Adam di dalam kepalanya ketika lelaki itu sudah tegak berdiri di hadapannya.
“Entah apa yang saya pikirkan ketika datang ke sini dan membuang waktu dengan percuma,” kata Adam tepat sebelum keluar dari ruangan Rinjani. Meninggalkan perempuan itu dengan wajah tertegun oleh rasa tidak terima.
*