Senin pagi selalu menjadi hal yang paling menyebalkan bagi hampir semua manusia yang menetap di bumi. Tidak terkecuali bagi Rinjani, tentu saja. Apalagi ketika ia harus kembali duduk di ruangan Jia Li dengan raut wajah pimpinannya itu yang tidak bisa dikatakan baik.
“Apa kamu bahkan tidak mau mematuhi saya, Rinjani?” tanya Jia Li dengan suaranya yang cukup keras. “Siapa yang meminta kamu untuk berhenti mencari siswa?”
Rinjani menggeleng pelan.
“Lalu di mana siswa baru yang saya minta harus ada di minggu ini?”
Rinjani terdiam.
“Seperti yang sudah saya katakan,” kata Jia Li. “Kamu boleh angkat kaki dari sini.”
“Maaf, Bu.” Rinjani menyanggah cepat. “Tapi kalau perintah ibu karena penolakan saya terhadap satu siswa bernama Himalaya, hari ini saya sudah mendapatkan kembali siswa tersebut,” balas Rinjani masih dalam usaha mengontrol suaranya. “Saya rasa untuk mendapatkan lima siswa dalam waktu satu minggu itu terlalu berlebihan.”
Jia Li mendengus. “Berlebihan?” sergahnya tajam. “Mendapatkan kembali?” Kali ini terselip nada mengejek dalam suara Jia Li. “Jangan sombong, Kamu.”
Rinjani menghela napasnya samar. Kepalanya sudah berdenyut pusing sementara emosinya dipaksa untuk tetap stabil.
“Kamu pikir, kamu yang membuat dia kembali?” berang Jia Li. “Kamu tidak seistimewa itu Rinjani. Jangan merasa hebat hanya karena kamu yang memberikan dia kelas trial. Ada admin yang juga berperan penting untuk mendapatkan siswa itu. Marketing mereka bisa jadi lebih jago daripada cara mengajar kamu.”
Rinjani juga menyadari hal itu, akan tetapi perkataan Jia Li benar-benar sudah membuat kemarahannya hampir tidak terkendali.
“Silakan pergi dari sini.”
“Maaf, Bu?” Beruntungnya kewarasan masih bersama Rinjani, jadi alih-alih meninggikan suara seperti keinginannya, Rinjani bersuara lembut.
“Kamu saya pecat.”
*
Dan hari Senin Rinjani benar-benar menjelma menjadi hari yang paling buruk. Setelah diberhentikan secara tidak hormat, kini ia harus menemukan Adam tengah duduk di ruang kelasnya, menunggu.
“Selamat pagi,” sapa Rinjani. Setelah melihat Adam melihat jam tangan mahal yang melingkari tangan kirinya, buru-buru ia berkata, “Jam sebelas masih digolongkan ke pagi hari.”
Adam tidak mengatakan apapun, lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya singkat. Membiarkan Rinjani masuk lebih jauh ke dalam kelasnya sendiri sebelum duduk untuk saling berhadapan dengan Adam.
“Anda mengatakan untuk datang ke sini dan membahas Himalaya.”
Ingin rasanya Rinjani menghela napas panjang, lalu berteriak lantang kepada Adam. Mengatakan kalau ia baru saja dipecat dan jika ditelaah lagi, akar dari semua kesialannya di hari Senin ini adalah karena puteri kecil pria itu. Himalaya menjadi sumber dari pemecatan Rinjani, tapi alih-alih melakukan niatnya, Rinjani justru tersenyum sopan dan mulai menjelaskan perihal gadis penderita speech delay tersebut kepada ayahnya.
“Saya minta maaf kalau laporan saya mengganggu, Bapak,” kata Rinjani. “Tapi memang pada hari Sabtu kemarin Himalaya tidak belajar apa pun di sini.”
“Lalu apa yang akan anda lakukan untuk itu?”
“Sebaiknya Himalaya mendapat terapi bicara.”
“Anda tidak perlu khawatir,” sahut Adam. “Anak saya sudah mendapatkan terapi bicara dari dua tahun yang lalu.”
Rinjani tersenyum senang. “Syukurlah,” desahnya. “Saya senang mendengarnya. Paling tidak saya tahu Himalaya sedang berlatih dalam hal komunikasi.”
“Jadi?” tanya Adam terdengar tidak sabar.
“Bisa jadi karena ini terlalu tiba-tiba dan begitu asing bagi saya. Dan mungkin karena Himalaya juga belum siap untuk belajar hal baru. Saya maupun Himalaya membutuhkan waktu.”
Sepertinya Adam mengerti, karena pria itu hanya menganggukkan kepalanya pelan.
“Mungkin bisa kita mulai dari kesukaan Himalaya.”
“Es krim,” jawab Adam tanpa berpikir.
“Es krim?” ulang Rinjani.
Adam mengangguk, kemudian ia mulai membahas puteri tunggalnya bersama Rinjani. Ia menjawab semua pertanyaan Rinjani tanpa terkecuali.
“Terima kasih,” kata Rinjani di akhir pembicaraan mereka. “Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Memberikan yang terbaik yang kami bisa.”
“Kami?” tanya Adam.
Rinjani melebarkan kedua ujung bibirnya. “Saya tidak bekerja secara pribadi. Kami merupakan sebuah tim dan bekerja bersama untuk membantu siswa beserta orang tua mereka.”
Adam mengangguk. Kemudian matanya bergerak meneliti keseluruhan ruang kelas Rinjani sebelum kembali berhenti pada wajah itu. “Saya tidak tahu kalau kelas ini harus diasuh bersama tim.”
“Ya?”
“Saya harap ada laporan baik tentang anak saya untuk hari ini.”
Rinjani belum sempat merespons ketika Adam sudah berdiri dari tempat duduknya. Pria itu merapikan setelan jas mahalnya sebelum mengeluarkan dua suku kata dari mulutnya.
“Selamat siang.”
*
Rinjani meninggalkan kelasnya setelah memastikan semua barang pribadinya sudah masuk ke dalam tas. Lelah langsung menyergapnya begitu pintu ditutup dan kakinya melangkah pelan menuruni anak tangga.
“Ada kelas sampai jam berapa hari ini?” tanya Bu Lusi begitu ia sampai di lobi. Ternyata semua orang tengah berkumpul di bagian ruang kecil itu untuk menunggu waktu pas di pukul enam sore untuk kemudian menempelkan salah satu jari mereka ke mesin pencatat kehadiran.
“Setengah enam,” jawab Rinjani. “Tapi ada yang harus saya kerjakan dulu, Bu,” ujar Rinjani menyambung ucapannya sebelum Bu Lusi kembali melontarkan pertanyaan. Setelah yakin kalau ibu dari tiga anak itu tidak mempunyai pertanyaan lain, Rinjani melangkah menuju Miss Nana dan mengulurkan sebuah buku tebal.
“Ini catatan siswa yang saya pegang.”
Kening Miss Nana berkerut, begitu dengan semua orang yang ada di sana. Namun Rinjani tidak peduli, lagi pula semua orang pasti sudah tahu bahwa ia tidak akan menginjakkan kaki lagi ke tempat ini.
“Catatan apa, Miss?”
“Data siswa,” jawab Rinjani. “Kharakter, pola belajar. Termasuk kelebihan dan kelemahan mereka. Data orang tua serta wali juga saya sertakan berikut sama tujuan dan harapan mereka saat mendaftarkan anaknya di tempat kita.”
“Ng.” Miss Nana masih terlihat bingung. Sementara Bu Lusi dan beberapa orang lagi bergerak mendekati mereka. Bu Lusi bahkan meminta izin untuk melihat buku berwarna biru tersebut, kemudian tak kuasa menahan decak kagum setelah melihat isinya.
“Miss Rinjani membuat ini?”
Rinjani mengangguk pelan. Sebut saja kebiasaan atau justru karena kesulitan yang selalu ia terima sejak masih bersekolah. Rinjani selalu membuat catatan tentang beberapa orang yang harus selalu ia temui dalam kesehariannya. Dan ternyata hal itu sangat berguna di pekerjaannya, dengan menuliskan semua hal di buku catatannya, Rinjani menjadi sangat mudah untuk membuat siswanya nyaman, lalu tidak keberatan ketika harus menukarkan waktu bermain mereka dengan mendengarkan penjelasan Rinjani tentang sesuatu yang sangat sulit untuk disukai kebanyakan orang.
“Ada foto mereka juga, lho,” ujar Miss Gita yang berdiri di samping Bu Lusi.
“Masing-masing mereka udah saya buatnya program belajar sampai semester ini selesai. Semuanya ada di kelas saya dalam map file warna merah. Daftar kehadiran siswa saya simpan di dalam map file yang biru.”
Kini semua perhatian terfokus pada Rinjani. Seolah pemahaman mulai merayapi benak mereka satu per satu. Jarum jam sudah tepat berada di angka enam, tetapi satu orang pun tidak terlihat bergerak ke arah mesin fingerprint.
“Kenapa di serahkan ke Miss Nana?” tanya Bu Lusi pelan, nyaris seperti gumaman tidak berarti. Namun karena semua orang tengah membungkam mulut mereka, Rinjani dapat menangkap pertanyaan Bu Lusi dengan jelas.
“Tolong diberikan kepada guru yang akan menggantikan saya,” jawab Rinjani membuat semua orang membulatkan mata.
“Miss Rinjani mau izin?” tanya Miss Gita.
Rinjani tersenyum tipis, kemudian menggeleng lambat. “Saya diberhentikan.”
*