Arini beranjak berdiri dari samping Jumi tidur dan melangkah menuju pintu kamar mereka. Jumi yang masih ketakutan bertanya kepada Arini, “Mau ke mana kamu, Rin?. Jangan tinggalkan Aku sendirian di sini, aku takut.”
Mendengar suara Jumi yang bergetar memanggilnya, Arini pun menolehkan kepalanya ke arah Jumi dan berkata, “Aku hanya mau mengambilkan air minum untukmu, itu saja.”
“Aku ikut,” ucap Jumi. Ia lalu bangkit dari duduknya dan menyusul Arini, yang berdiri di depan pintu. Bersama-sama mereka ke dapur untuk membuat teh hangat.
Arini membuat dua cangkir teh hangat dan juga dibuatnya roti bakar, karena perutnya tiba-tiba merasa lapar, mungkin karena peristiwa yang baru saja terjadi tadi yang membuat dirinya ketakutan menjadikan Ia lapar lagi.
Selesai membuat roti bakar dan teh panas, Arini meletakkannya di atas meja yang ada di dapur, di mana Jumi sudah duduk di situ mengawasi dirinya membuat itu semua.
Arini duduk di depan Jumi, lalu keduanya menyantap roti bakar dengan nikmat, di temani secangkir teh panas untuk menghangatkan badan.
Jumi menatap ke arah Arini, “Aku merasa sangat senang saat tadi, ketika melihat kamulah yang berdiri di ambang pintu kamar, meski aku juga sempat ragu dan takut. Apakah ini diri kamu yang sebenarnya, ataukah makhluk itu lagi. Makhluk itu benar-benar bisa mengubah wajahnya mirip dengan wajahmu, sehingga membuat aku tertipu di awalnya.”
Arini mengambil tangan Jumi dan ditenangkannya, “Saat sudah sampai di kampus tadi, entah kenapa hatiku merasa gelisah dan tidak nyaman meninggalkanmu seorang diri.
Aku berbalik ke luar dari dalam kelas dan menuju ke parkiran. Dengan cepat kupacu motorku untuk segera sampai ke kost kita.
Saat masih berada di jalan, aku selalu teringat kamu yang masih demam, hanya itu saja. Tak terbayangkan sama sekali olehku kalau kau sedang dalam bahaya.”
“Terima kasih, sudah menyelamatkanku. Aku tidak mengerti, bagaimana bisa makhluk itu masuk ke dalam kost kita dan juga bagaimana bisa Ia muncul di siang hari, saat matahari sudah menampakkan wajahnya."
"Bukankah makhluk halus menurut cerita-cerita itu tidak akan muncul di siang hari, karena takut dengan matahari dan bagaimana bisa makhluk halus itu merubah wajahnya menyerupai kamu?” Tanya Jumi, sambil bergidik ngeri, teringat dengan peristiwa yang baru saja terjadi.
“Aku juga tidak mengerti, bagaimana caranya makhluk halus itu bisa masuk. Padahal malam hari saat kita pertama kali mendengar suara rintihan makhluk tadi minta tolong, makhluk itu tidak dapat masuk, entah kenapa hari ini makhluk itu malah dapat masuk ke dalam rumah.” Tutur Arini.
“Mungkinkah, sebelum ke kampus tadi kamu lupa menutup pintu rumah, jadi itu semacam undangan untuk makhluk itu masuk?” Tanya Jumi.
Arini mengerutkan keningnya mencoba untuk mengingat, “Kamu benar, saat aku datang tadi, pintu kost kita sudah terbuka. Tetapi seingatku saat berangkat ke kampus, aku sudah menutupnya. Tapi, entahlah. Aku sudah lupa, apakah aku menutup pintu kost kita sebelum berangkat ke kampus atau tidak.
Keduanya kemudian tidak mau lagi membahas kejadian yang baru saja terjadi dan lebih memilih untuk melupakan saja apa yang barusan terjadi.
Meski begitu, keduanya sadar, kalau mereka harus waspada, karena makhluk itu dapat menyerupai wajah mereka. Apa sebenarnya tujuan makhluk itu mengganggu mereka menggelayuti benak Arini dan Jumi. Mereka sepakat akan bertanya kepada ‘Orang Pintar’ dan meminta air yang bias mengusir makhluk halus itu, kalau nanti datang lagi.
Malam harinya, di saat Jumi sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Arini masih berkutat dengan laptop dan buku-buku untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosennya.
Arini melihat jam yang menempel di dinding kamar mereka, ternyata jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Arini meregangkan punggungnya yang terasa kaku. Ia lalu berdiri dan beranjak menuju kamar mandi. Kantung kemihnya terasa penuh dan harus segera dikeluarkan.
Arini pun berjalan menuju kamar mandi tanpa ada rasa takut dan saat Ia sudah menuntaskan kegiatan alamiahnya tersebut terdengar suara bum, benda yang jatuh dengan nyaring. Arini terpaku di tempatnya. Detak jantungnya terasa hendak melompat. Lututnya pun menjadi terasa lemas..
Arini memaksakan kakinya untuk bergerak menuju wastafel guna mencuci tangannya dengan sabun dan membilasnya dengan air keran.
Ia lalu beranjak menuju pintu kamar mandi, dengan setengah berlari dan saat Arini membuka pintu kamar mandi, Ia menjerit dengan kaget. Begitu juga dengan seseorang yang berdiri di depannya ikut menjerit kaget.
Setelah reda rasa terkejut keduanya, Arini dan Jumi pun tertawa terbahak-bahak. Keduanya menertawakan ketakutan mereka yang berlebihan. Namun, ternyata ada suara tawa lain yang ikut mengiringi tawa keduanya. Suara tawa yang terdengar mengerikan dari arah luar tempat kost mereka. Arini dan Jumi pun menghentikan tawa keduanya dan saling menatap dengan raut wajah ketakutan. Sementara itu suara tawa yang berasal dari luar masih juga memperdengarkan suara tawa menyeramkan yang tidak berhenti.
Arini dan Jumi mendengar suara pintu ruang depan yang di garuk menggunakan kuku-kuku yang tajam. Suara garukan pada pintu terdengar semakin keras dan semakin sering. Sementara itu suara tawa tadi sudah berganti dengan suara lolongan dan rintihan yang terdengar memilukan hati.
Arini dan Jumi langsung mengambil kaki seribu dan keduanya pun beranjak masuk ke dalam kamar. Arini dengan cepat menutup pintu kamar mereka. Keduanya kemudian duduk di atas tempat tidur dengan deru napas yang ngos-ngosan dan juga jantung yang rasanya mau copot.
Keduanya kemudian melompat kaget, ketika dari balik pintu kamar mereka, terdengar suara garukan dan cakaran. Mereka juga mendengar suara kucing mengeong, Arini menatap ke arah Jumi, “Bukannya aku tadi sore sudah mengeluarkan kucing kita. Bagaimana bisa sekarang, Ia berada di dalam rumah. Sementara rumah ini tertutup rapat.” Tanya Arini dengan raut keheranan dan juga cemas.
“Iya. Aku juga melihat saat kamu mengeluarkan kucing itu. Aku juga tidak mengerti bagaimana mungkin bukan kucing kita yang berada di dalam rumah dan kucing apakah sebenarnya yang ada bersama dengan kita saat ini?” sahut Jumi.
Arini kemudian berdiri menuju pintu dan saat tangannya sudah memegang pegangan pintu, Jumi berseru memperingatkannya agar jangan membuka pintu kamar mereka.
Arini menolehkan wajahnya ke arah Jumi, sementara tangannya masih memegang pegangan pintu dan tanpa sengaja, tangannya malah memutar pegangan pintu tersebut hingga terbuka.
Seekor kucing berwarna hitam pekat dengan bola mata yang berwarna kuning tampak berdiri tepat di depan ambang pintu kamar mereka.
Kucing itu memamerkan gigi-giginya yang runcing dan juga kuku-kukunya yang tajam. Dengan gerakkan yang seolah siap menerkam mangsanya.
Arini menelan ludahnya, Ia sangat menyesal sudah membuka pintu kamar mereka dan Ia hanya bisa terpaku ketakutan melihat kucing yang ada di hadapannya ini, bukanlah kucing peliharaan mereka.