Evan berdiri di muka pintu kontrakan Ilona, sempat berpikir beberapa saat, menimbang sekali lagi, haruskan ia mengetuk pintu? Setelah berdebat melawan kata hati, akhirnya ia mengangkat tangan, mengepalkannya kemudian mengetuknya berulang kali. “Siapa? Sebentar!?” Terdengar sahutan dari dalam, reflek Evan menarik nafas panjang dan dalam kemudian menghembuskannya, berharap bisa rileks dengan cara itu. Tak lama kemudian pintu terbuka, Evan berusaha tersenyum senatural mungkin, tetapi gagal. Senyum itu menjadi canggung saat mendapati yang ia temui bukanlah Ilona. Sepasang mata pria paruh baya di hadapannya yang cukup tajam pun menohok hingga ke dasar hatinya. “Siang om, Ilonanya ada?” Tanya Evan, sebisa mungkin merendahkan dirinya. Andrew malah menatapnya dari ujung kepala ke ujung kaki lal