Menyembunyikan Identitas

1194 Kata
“Apa rencanamu besok?” Tanya Ye Jun berusaha mengalihkan pembicaraan agar suasana tidak semakin menyedihkan. Seumur-umurnya, ini kali pertama Ye Jun merasakan beratnya menahan rindu. Ia tidak pernah jatuh cinta sebelumnya, dan tak mengerti mengapa ia bisa segila ini kepada Ilona. Ilona mengedipkan sepasang matanya, melipat bibir saat memikirkan jawaban apa yang sesuai hati nuraninya. “Hmm... Aku ingin menjenguk ayahku dan mencari pekerjaan. Dan mencari tempat tinggal yang layak dan murah.” Timpal Ilona yang teringat tiga hal penting sebagai agendanya besok. Ye Jun terdiam lalu tersenyum tipis, “Semangat ya! Kalau kamu perlu bantuanku, jangan sungkan.” Ujar Ye Jun lembut menawarkan dirinya. Ilona menggelengkan kepala dengan cepat, “Tidak perlu, aku tidak mau merepotkanmu terus. Ini saja sudah lebih dari cukup kok.” Seru Ilona, masih merasa punya harga diri untuk tidak terlalu bergantung kepada kekasihnya. Selama ia bersama Ye Jun, pria itu sudah memberinya banyak uang pegangan yang tak bisa Ilona tolak. Pria itu terus memaksa dan menjadikan profesi Ilona sebagai supir sewaannya sebagai alasan pemberian bantuan itu. Ilona jelas tahu maksud baik Ye Jun dan ia pun tidak menampik bahwa saat ini ia sungguh membutuhkan bantuan keuangan. “Baiklah, yang penting kamu harus terbuka padaku apapun kesulitanmu.” Ujar Ye Jun tak mau memaksakan kehendaknya. Ilona tersenyum senang, ia lega lantaran Ye Jun begitu mengerti akan dirinya. “Kamu juga, apapun yang terjadi, yang kamu lakukan sepanjang hari, harus ceritakan padaku.” Ujar Ilona tak mau kalah bersifat posesifnya. Ye Jun menelan salivanya, bagaimanapun ia belum bisa seterbuka itu kepada Ilona. Bukan karena meragukan kekasihnya, namun Ye Jun merasa dirinya masih terlalu rumit untuk dipahami oleh Ilona yang belum mengenal siapa dirinya dan masa lalunya. “Hmm.... It’s okay.” Jawab Ye Jun agak tertekan. “Hmm... Jadi, apa yang kamu lakukan seharian ini setelah sampai di sana? Apa kamu merahasiakan sesuatu dariku?” Ilona kembali mengungkit pertanyaan yang belum puas ia dengarkan jawabannya. Apa yang membuat Ye Jun begitu sibuk sampai menunda menghubunginya. Ye Jun tertegun, bingung harus menyusun kebohongan untuk menutupi kenyataan. “Itu... Ada kerjaan yang harus langsung aku periksa, aku benar-benar baru bisa pegang ponsel sekarang.” Jawab Ye Jun, setengah berbohong, separuhnya lagi jujur lantaran memang Ye Jun memeriksa berkas laporan dari Ae Ri dan merasa terganggu oleh sepupunya. “Sesibuk itukah kamu? Sebenarnya kamu kerja apa di sana?” Tanya Ilona, kali ini dengan raut serius. Ia merasa berhak tahu apa profesi pria itu di negara asalnya. Mengapa ada pria seroyal Ye Jun yang berani memberikannya gaji 20 juta Rupiah hanya untuk menjadi supir pribadinya? Keadaan menjadi hening, Ye Jun terpaku diam sementara Ilona enggan membiarkan pertanyaan itu lolos tanpa jawaban yang bisa menyakinkannya. “Onnie, aku sudah melaporkan semua yang aku tahu. Belum ada perkembangan lagi sekarang, apa kamu tidak mengantuk? Bukankah di sana lebih cepat dua jam dari sini? Hoaamm... Aku sudha sangat mengantuk dan lelah seharian membuntuti mereka.” Stefi berulang kali menguap lebar, saking ngantuknya sampai air matanya pun bercucuran setiap kali ia menguap. Ae Ri sudah menyita tiga puluh menit waktunya untuk interogasi yang jawabannya hanya berujung itu-itu saja. “Aku tidak mengantuk dan tidak akan menyudahi pembicaraan sebelum kamu memberiku kepastian.” Gerutu Ae Ri dengan kepala batunya. Stefi menghela nafas berat, makan gaji besar yang ia terima dari wanita Korea itu terasa tidak sepadan dengan waktu, tenaga dan pikiran yang ia curahkan dalam pekerjaan abal-abalan ini. “Kepastian apa lagi Onnie? Bisakah kita lanjutkan lagi besok setelah pikiranku lebih segar? Aku akan menjawab semua pertanyaanmu, tapi aku mohon biarkan aku tidur dulu.” Rengek Stefi hendak menangis, wajahnya terlihat memprihatinkan saking mengibanya. Andai saja pekerjaannya legal dan terlindungi oleh negara, tentu ia akan menuntut bos tidak berperikemanusiaan itu. Sayangnya pekerjaan ini hanya sebatas kesepakatan antara dua pihak saja, dan Stefi merasa bayaran yang diberikan Ae Ri cukup besar dan wajar bila wanita itu bertindak seenaknya. “Secepatnya cari tahu tentang wanita itu, apa yang dikerjakannya sekarang. Apa dia punya rencana menyusul ke Seoul?” Seru Ae Ri, memberikan pekerjaan selanjutnya kepada mata-mata amatirnya. Stefi mengangguk mantap, “Baiklah Onnie, besok aku akan membuntutinya. Selamat malam Onnie, mimpi indah.” Ujar Stefi dengan cepat mengucapkan salam penutup itu, berharap Ae Ri terkecoh dan menyudahi pembicaraan kali ini. “Good night.” Jawab Ae Ri pelan. Mulutnya menganga saat tahu lawan bicaranya sudah menutup panggilan dengan cepat. Merasa terkecoh, Ae Ri pun mengumpat seraya menatap layar ponsel yang sudah padam cahayanya. “Woi...Nggak sopan, aku belum selesai bicara.” Gerutu Ae Ri kesal, walaupun ia tahu itu sia-sia tetapi demi kepuasan dirinya yang bisa melampiaskan uneg-uneg, hanya teriak sendiri pun sudah cukup melegakan. Ae Ri melempar ponselnya ke atas ranjang, tubuhnya pun ikut ia hempaskan dengan kencang. Untung saja tempat pendaratannya sangat empuk dan nyaman, jika tidak mungkin tubuh kurusnya sudah meronta kesakitan. Pikirannya menerawang jauh, merenungi nasib percintaan yang belum berpihak kepadanya. “Kalau aku tahu mengijinkanmu pergi ke sana hanya untuk menambah masalah baru, aku tidak akan membantumu berlibur ke Indonesia. Lebih baik aku mencari alasan untuk menahanmu di sini, membiarkan kamu larut dalam kesedihan dan aku akan menghiburmu. Mungkin kalau begitu caranya, aku yang akan mendapatkan cintamu, bukan gadis lokal sialan itu.” Pekik Ae Ri mengamuk, tangannya mengepal kencang lalu memukul ranjang berulang kali, menyalurkan energi berlebihan yang membuat ia merasa emosi. Setelah mulai sanggup mengontrol emosinya, Ae Ri menghentikan kekonyolannya dan terus berpikir. “Aku harus memisahkan mereka, apapun caranya Ye Jun tidak boleh bertemu gadis lokal itu lagi.” Ungkapnya dengan penuh ambisi besar. Ye Jun terbangun cukup pagi meskipun tidur begitu larut demi mengobati rasa rindunya kepada Ilona. Alam bawah sadarnya sudah mengatur ulang kebiasaan lamanya ketika berada di rumah, ia terbiasa memulai aktivitas sangat pagi dan berangkat ke kantor. Walau hanya tidur beberapa jam sehari, Ye Jun tidak mengeluh apalagi merasa lelah. “Selamat pagi tuan muda.” Chin Ho yang terbiasa mengimbangi ritme Ye Jun pun sudah tampil rapi dengan setelan formalnya. Ia membungkuk hormat begitu Ye Jun keluar dari kamar tidur. Ye Jun tersenyum tipis, mengangguk pelan sebagai balasan atas sikap hormat pengawalnya itu. “Ikut denganku ke ruang kerja sebentar. Ada yang perlu sampaikan.” Seru Ye Jun kemudian mengawali langkahnya menuju tempat yang ia maksud. Chin Ho sudah kembali tegap lalu menyusul dari belakang setelah Ye Jun mendahuluinya beberapa langkah. Dua pria beda generasi berada dalam ruangan tertutup dan kedap suara, namun di luar ruangan itu, ada seorang wanita yang berdiri di muka pintu, berharap bisa menguping pembicaraan di sana. Ae Ri begitu hapal kebiasaan Ye Jun dan memaksakan diri untuk mengikuti kebiasaan disiplin pria itu. Sepanjang malam Ae Ri terus terjaga, pikirannya terlampau kusut sehingga mengusir kantuk yang sempat beberapa kali terasa. Wanita itu sudah tampak cantik dengan setelan dress formalnya, siap memulai hari baru di kantor bersama Ye Jun. Namun ajakan Ye Jun kepada pengawal pribadinya untuk membahas sesuatu mengusik rasa penasaran Ae Ri. Ia mengendap-endap mendekati ruangan ini, berharap bisa mencari celah walaupun kecil kemungkinannya. ‘Sial, aku tidak bisa mendengar apapun. Apa yang kalian bicarakan diam-diam? Apa ini dirahasiakan dariku? Apa tentang gadis lokal itu?’ Dan serentetan pertanyaan pun mengusik ketenangan batin Ae Ri yang terasa sia-sia karena tidak ada jawabannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN