5. Insiden

1385 Kata
“Fio, aku mau mangga,” ucap Ken, sesaat ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki pelataran rumah. Fio mengernyitkan kening dan menoleh ke arah Ken yang tiba-tiba menginginkan buah mangga tersebut. “Minta sama mbok Luna saja ya, pasti ada di dapur,” ucap Fio, keluar dari mobil ketika sopir yang membawa mereka membukakan pintu untuknya. Berjalan menuju dalam rumah sementara Ken mengekorinya persis anak kecil. “Tapi mau yang di kebun belakang,” ucap Ken seraya merajuk. Fio mengingat dibelakang rumah memang ada satu pohon mangga yang sering berbuah, namun bagaimana dia memetiknya? Hari sudah sangat sore bahkan hampir senja. “Minta mbok Luna ya, nanti dipetikkin, aku mau istirahat, capek,” jawab Fio sambil masuk ke kamar mereka, meletakkan tasnya di kamar wardrobe dan membuka hels yang membebat kaki. Sementara itu Ken tampak mengerucutkan bibirnya sebal, dia tak jadi masuk ke kamar dan memilih mencari mbok Luna. Fio melihat ke arah pintu kamar dan melihat bahwa Ken tak ikut masuk ke kamar itu sehingga dia pun kembali keluar sebelum mandi, berjalan ke dapur dan menuang air ke gelas lalu meminumnya, jendela dapur terhubung ke halaman besar di belakang rumah mereka. Terdengar suara gaduh dari kebun belakang, sehingga Fio berniat memastikannya. Dia pun menghampiri mbok Luna yang sudah mendongak ke arah pohon mangga. Fio ikut melihat arah pandangan mbok Luna dan seorang pelayan lagi yang berada bersamanya. “Aakkhhh! Ken ngapain? Turun!” jerit Fio ketika matanya menangkap sesosok pria dewasa dengan pakaian kerjanya sudah berada di atas pohon. “Nyonya Fio,” ujar mbok Luna seraya meringis. “Mbok bagaimana dia bisa diatas? Nanti jatuh!” sentak Fio yang terkejut itu. “Haiii Fio, mau mangga?” tanya Ken dengan polosnya. Fio menggeleng dan menepuk keningnya, “astaga Ken maunya apa sih? Nanti kalau jatuh bagaimana? Seenggaknya bikin anak dulu kek satu!” sungut Fio sambil meringis. Ken tetap saja terus naik ke batang pohon di atasnya. “Ken kamu turun sekarang!” ujar Fio sambil bertolak pinggang, seperti seorang ibu memarahi anaknya. “Ini hampir dapat,” ucap Ken yang sudah menjulurkan tangannya ke arah satu buah mangga terdekat dari jangkauan. “Turun Ken!” sentak Fio namun diacuhkan oleh Ken. “Mbok! Besok potong aja pohon ini!” perintah Fio. “Tapi ini pohon kesayangan tuan Dhanan Nya, dibawa dari mana ya? Mekkah atau mana gitu?” “Memangnya di mekkah ada pohon mangga?” cebik Fio. “Mbok juga lupa, tapi yang jelas dari luar negeri, mbok takut ah Non kalau ditebang nanti didatangi tuan Dhanan, kalau masih hidup sih didatangi nggak apa-apa nanti mbok minta uang jajan sekalian. Lha kalau sekarang?” ujar Mbok Luna sambil mengusap tengkuknya yang meremang. “Fio, Fio, tangkap!” panggil Ken sambil melempar satu buah mangga ke arah Fio, Fio yang tak siap pun hanya mampu membulatkan matanya ketika mangga itu mengenai keningnya, “Dukk!!” “Ken!!!!” teriak Fio sambil mengusap keningnya yang terkena mangga itu. “Hahahaa maaf Fio kena ya?” ujar Ken dari atas membuat Fio rasanya ingin melempar balik mangga yang sudah tergeletak di bawah itu, seandainya mangga itu tak segera diselamatkan oleh mbok Luna. “Nih anak sudah nggak mau punya istri kali ya? Astaga Tuhan, dosa apa yang aku perbuat? Huwaaa mama sakit!!” rungut Fio sambil terus mengusap keningnya yang sepertinya mulai benjol, dia pun berjalan menuju rumah dengan terus mengaduh, sementara Ken masih tertawa hingga mbok Luna memintanya turun dengan segera. Fio membuka kulkas besar berwarna hitam di hadapannya, mencari kompres dingin yang biasa dipakai untuk memar, dia pun menemukan benda berwarna navy itu, isinya merupakan gel yang bisa dipakai dalam keadaan panas atau dingin. Karena sudah ada di dalam kulkas dia langsung menempelkannya ke kening sambil menekan perlahan, sungguh dia menyesal melihat Ken yang memanjat pohon, keningnya jadi benjol seperti ini. Dia pun membawa kompres itu dengan terus menekan di keningnya menuju kamar, melihat ke cermin yang mana kening itu mulai membiru dan menonjol terus saja misuh-misuh tak jelas. Hingga Ken masuk ke dalam dan duduk di sampingnya yang sudah memegang kompres di kening. Ken tersenyum lebar memamerkan deretan giginya. Sementara Fio sudah mendengus dan Ken menyodorkan mangga yang belum dikupas itu namun melihat sisa air di buah tersebut, Fio yakin bahwa dia telah mencucinya. Padahal mangga itu belum masak, mungkin masih terasa asam. Entahlah. “Kenapa lagi?” sentak Fio. “Mau?” tanya Ken dengan polosnya. “Nggak! Makan sendiri sana!” rutuk Fio. Fio menurunkan kompresnya dan menoleh ke arah Ken yang masih tertawa melihatnya. “Fio, keningnya kok seperti ikan papa,” tunjuk Ken ke kening Fio. Membuat Fio sekuat tenaga menahan kesal. Ikan papa dia bilang? Itu berarti kan ikan Lau Han yang keningnya memang maju sebagai ciri khas ikan tersebut. “Terserah! Aku mau mandi, sana makan mangganya!” decih Fio. Ken pun membuka mulutnya lebar dan menggigit mangga itu. “Aaahhh kamu mau apa?” teriak Fio membuat Ken menghentikan aksinya menggigit mangga. Ken pun berdecih, “pahit.” “Iya lah, harus dikupas dulu! Mbok Luna kemana sih? Bukannya urusin kamu dulu,” ujar Fio sambil merebut mangga dari tangan Ken, “ayo aku kupasin,” rutuk Fio sambil berjalan lebih dahulu, Ken mengekornya dengan wajah senang. Fio menuju ke dapur dan tak mendapati seorang pelayanpun disana, membuatnya sedikit bingung padahal rumah itu biasanya selalu ramai terutama di sore hari seperti ini, dimana para pelayan akan menyiapkan makan malam untuk mereka. Fio mengambil sebilah pisau dan duduk di kursi tinggi dengan meja khas bartender yang ada di salah satu bagian dapur itu, sementara Ken tampak memperhatikannya dengan mulut menganga hingga Fio menyodorkan tissue yang berada di dekatnya. “Waterfall,” ujar Fio seraya mengedikkan dagunya ke arah Ken, Ken mengambil tissue itu dan menyeka sudut bibirnya lalu tersenyum lebar kembali menganga. Fio melirik ke arah Ken dan menggeleng. “Mingkem Ken, nanti ada lalat masuk,” pinta Fio yang membuat Ken sukses menutup mulutnya. Fio sekuat tenaga menahan tawa, rasa sakit di keningnya mulai tak terasa lagi melihat kepolosan Ken. Setelah mengupas buah tersebut, Fio meminta Ken mengambil piring dan Ken membawanya dengan sangat hati-hati. Diletakkan piring itu di hadapan Fio. Dan dengan segera, Fio memotong buah tersebut yang bagian dalamnya masih berwarna putih dan meletakkan di piring. Setelahnya, Ken mulai mencicipi buah tersebut sementara Fio sudah mengernyit sambil mencecap salivanya karena tak terbayang rasa masam dari buah yang belum masak itu, tapi Ken tetap menikmatinya. “Tadi aku dengar, kamu bilang anak ya?” tanya Ken sambil mengunyah mangga, Fio yang sedang memperhatikan Ken pun jadi gelapagan. “Nggak, salah dengar kali,” ujar Fio seraya beranjak dari kursi. “Wulan bilang, kalau sudah menikah kita bisa punya anak,” ucap Ken lagi. “Jangan pernah dengar omongan dia, oke? Setelah makan mangga, kamu mandi ya sudah hampir malam,” ucap Fio meninggalkan Ken yang masih memakan buah mangga yang diidamkannya dengan wajah ceria. *** Di apartmen, Pasha. Pria itu sedang menata barang bawaannya, kini dia membuka sebuah kardus dan mengeluarkan beberapa bingkai foto untuk di tata di rak dekat televisi. Satu buah bingkai foto bersama kedua orang tuanya, dan satu lagi bingkai foto bersama Ken. Mereka saat itu sedang wisuda bersama, tampak Ken sangat ceria dan tampan. Pasha menghela napas panjang dan mengusap bingkai itu lalu dia meletakkannya di salah satu sisi. Pasha kembali mengambil satu buah bingkai lagi, dimana ada fotonya bersama Ken, mengapit seorang wanita cantik berkulit putih, tubuhnya tampak mungil dengan rambut keriting gantung, pakaiannya cukup seksi dengan rok pendek. Wanita itu tersenyum lebar seraya mengamit lengan Ken dan Pasha di sisi kiri dan kanannya. Ya dia lah Devanya, sahabat Ken dan Pasha dahulu ketika mereka kuliah, namun rupanya Devanya dan Ken mempunyai perasaan lebih diatas perasaan seorang teman. Mereka pun berkencan selama beberapa tahun. Meskipun begitu Pasha tetap hadir sebagai sahabat mereka berdua, hingga Devanya memutuskan Ken dengan alasan ingin menikah. Ken tahu sejak lama bahwa keluarga Devanya termasuk keluarga kolot yang memang terlalu ikut campur akan pernikahan di keluarganya, bahkan sudah sejak lama Devanya di jodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya yang masih kerabat mereka. Pasha kembali meletakkan bingkai itu di kardus, lalu melihat ponselnya yang berdering tampak nama Ken memanggilnya. “Ya Ken?” tanya Pasha, lalu dia pun tertawa mendengar apa yang diucapkan Ken, menjauh dari ruang tamu miliknya untuk berbicara dengan sahabatnya itu. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN