“Berapa kali Daddy berkata ‘tidak’ ?” Perrie mendongak menatap wajah sang ayah, sebisa mungkin ia menunjukkan wajah memelasnya saat ini.
“Please, Dad. Aku bosan berada di mansion,” rengek Perrie yang dijawab oleh gelengan kepala dari sang ayah.
“Daddy sudah menyarankan untuk melanjutkan kuliah.”
“Tapi aku tidak suka, Dad. Aku lelah belajar,” keluh Perrie.
Vinic menghembuskan nafasnya dengan kasar, bukan tanpa alasan ia melarang sang putri untuk bekerja, putrinya itu masih kecil baginya dan Vinic tidak rela jika harus melihat putri satu-satunya bekerja banting tulang jika ia sendiri masih sanggup menghidupi keluarganya.
“Kau ingin kerja apa?” tanya Vinic frustasi.
“Apa saja, Dad.” Vinic kembali menghembuskan nafasnya dengan kasar mendengar jawaban sang putri, apakah gadis itu juga mau bekerja serabutan mengingat jawaban yang baru saja dilontarkannya?
“Ya sudah. Kau bekerja di perusahaan Daddy,” ucap Vinic akhirnya namun Perrie segera menggelengkan kepalanya.
“No.” Jawaban dari sang putri membuat Vinic mendelik.
“Aku tidak ingin bekerja di perusahaan Daddy. Semua pegawai pasti tahu jika aku putri Daddy.” Vinic mengusap rambutnya dengan kasar mendengar penuturan sang putri.
“Lalu kau ingin bekerja apa, Queen?!” tanya Vinic dengan kesal.
“Um ... Apa saja. Kalau tidak aku ingin bekerja di perusahaan lain, Dad,” jawab Perrie seraya tersenyum, Vinic menatap wajah sang putri untuk beberapa saat, memikirkan hal apa yang akan ia ambil mengenai keinginan putrinya tersebut.
Vinic kembali menghela nafas nya dengan kasar. “Baiklah, Daddy akan mencarikan mu perusahaan yang mau menerima mu,” ucap Vinic membuat Perrie tersenyum lebar, ia segera memeluk sang ayah dengan sangat erat yang dibalas dengan usapan Vinic di rambutnya.
“Thank you, Daddy,” ucap Perrie dengan senang.
“Hm,” jawab Vinic dengan malas, mau tidak mau ia harus menuruti keinginan sang putri, jika ia tidak menuruti keinginan gadis itu mungkin putrinya akan kabur seperti Dave Abraham sang kakak puluhan tahun yang lalu karena tidak ingin memimpin perusahaan ayah mereka, Smith Abraham.
“Jadi mulai kapan aku bisa bekerja, Dad?” tanya Perrie seraya mendongakkan wajahnya untuk menatap wajah sang ayah sedangkan Vinic kembali mendelik mendengar pertanyaan dari sang putri.
“Tidak secepat itu juga, Queen. Daddy harus mencari pemilik perusahaan yang bisa menjaga mu selama kau bekerja,” jawab Vinic membuat Perrie mengerucutkan bibirnya.
“Aku tidak mau seseorang tahu bahwa aku adalah putri Vinic Abraham,” ucap Perrie dengan protes yang membuat Vinic tercengang.
“Kau ... Kau tidak ingin mengakui bahwa kau adalah putri Daddy?” tanya Vinic dengan wajah sedih seraya membayangkan bagaimana jika putrinya itu tidak mau mengakuinya sebagai ayah, membayangkan hal itu ia jadi teringat dengan keponakannya bernama Arthur Abraham yang menjauhi kakaknya yang bernama Brian Abraham karena suatu hal yang ia sendiri pun tidak mengetahuinya.
Perrie terkekeh menatap wajah syok sang ayah. “Bukan itu maksud ku, Dad. Aku hanya tidak ingin mereka memperlakukan ku dengan baik karena mereka tahu bahwa aku adalah putri Daddy,” jawab Perrie yang membuat Vinic menghembuskan nafasnya dengan lega.
“Baiklah, besok pagi Daddy akan mencari seseorang yang bisa memasukkan mu di suatu perusahaan untuk bekerja.”
“Yeaaayyy. Thank you, Daddy,” ucap Perrie dengan kegirangan, ia segera mengecup wajah sang ayah setelah itu berlari memasuki kamar, ia tidak mau berlama-lama bersama di samping sang ayah saat ini yang besar kemungkinan bisa membuat pria itu berubah pikiran setelah rentetan pertanyaan yang akan ditanyakan oleh ayahnya tersebut.
Vinic hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sang putri, ia lalu bangkit dari duduk nya dan kembali memasuki kamar dan mendapati wajah sang istri yang sudah terlelap, ia segera bergelung di bawah selimut bersama sang istri dan menyusul memasuki alam mimpi.
Di tempat lain seorang pria tengah menyugar rambutnya dengan kasar lalu kembali menatap sebuah e-mail yang sedang ia baca saat ini.
Surat Pengunduran Diri.
Pria bernama Tony Wilson itu mengerang frustasi karena sekretarisnya mengajukan resign, ia bukannya tidak ingin menyetujui pengajuan itu, masalahnya saat ini salah satu cabang miliknya tempat sang sekretaris itu bekerja tengah mengalami masalah. Tony memang memiliki sekretaris yang berbeda di setiap cabang perusahaannya yang berguna untuk menghandle perusahaannya selama ia meninjau cabang perusahaan yang lain.
Namun saat ini sekretaris itu mengajukan resign karena sedang hamil tua dan Tony dibuat pusing oleh hal itu karena ia tidak mungkin bisa mendapatkan sekretaris baru dalam waktu singkat.
Pria keturunan Arab-Amerika itu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Niatnya melakukan kerjasama dengan seorang pengusaha dari Italia dan melakukan liburan di negara itu justru kacau balau setelah ia membaca e-mail pengunduran diri beberapa menit yang lalu. Ia lalu menoleh ke arah smartphone miliknya yang tergeletak di atas meja, ia segera menghubungi bagian HRD di cabang yang di-handle oleh sang sekretaris bernama Mia itu.
“Mark,” ucap Tony di dering pertama yang membuat lawan bicaranya segera menegakkan tubuhnya mendengar suara sang atasan.
“Ya, Tuan,” jawab Mark dengan ramah.
“Carikan sekretaris pengganti Mia secepatnya,” ucap Tony.
“Baik, Tuan. Secepatnya saya akan mencarikan sekretaris pengganti Mia,” jawab Mark, setelah itu Tony menutup panggilan tersebut. Ia menghela nafasnya dengan kasar lalu menyetujui pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Mia.
“Ya Tuhan, Dad. Apakah aku bisa menghandle seluruh cabang?” tanya Tony bermonolog seolah sedang bertanya kepada mendiang sang ayah yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu akibat kecelakaan pesawat.
Kedua orang tuanya mengalami kecelakaan ketika mereka akan berlibur dan hal itu membuat luka tersendiri di hati Tony, kini ia hanya berdua bersama dengan adiknya yang bernama Harley Wilson. Sepeninggal kedua orang tuanya ia juga harus mengambil alih perusahaan milik sang ayah yang memiliki cabang di mana-mana.