Justin kini tau duduk permasalahannya. Dia bisa menyimpulkan semua yang terjadi dalam sekejap, hanya dari ucapan dan juga tingkah Irene. Apalagi saat Irene terang-terangan mengatakan padanya bahwa dia iri pada hubungan David dan Ryn. Irene sangat iri dengan Ryn yang begitu disayangi oleh David selaku kakaknya. Meskipun hanya sepupu, tapi Ryn selalu mendapatkan perhatian lebih dari David.
Justin tau, hal tersebut sangat sensitif. Apalagi membicarakan soal hubungan antara kakak beradik. Justin anak tunggal, tapi dia bisa merasakan kehampaan yang dirasakan oleh Irene.
Karena itulah, Justin mengajak Leon untuk membicarakan hal tersebut. Dia ingin memberitahu Leon jika Irene hanya butuh kakaknya. Hanya meminta waktu lebih dari biasanya.
Ponsel Justin kembali bergetar di dalam saku celananya. Karena itulah, dia mulai memeriksanya. Namun, saat tau jika itu adalah panggilan telepon dari sang Ayah—Hans Karl, Justin membiarkannya. Mengabaikannya sampai sang Ayah lelah sendiri untuk menghubunginya. Jujur saja, akhir-akhir ini hubungannya dengan sang Ayah sedang tidak baik-baik saja.
Bagaimana tidak? Justin dipaksa untuk bertunangan dengan anak dari teman sang Ayah. Justin benci dengan perjodohan yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.
Sudah berkali-kali Justin menolaknya, tapi sang Ayah terus menerus memaksanya. Bahkan jauh lebih gencar dari sebelumnya. Justin benar-benar malas untuk bertemu dengan sang Ayah. Apalagi kalimat terakhir yang Ayahnya katakan begitu menyakitkan.
“Terima perjodohan itu, atau kau ingin Ayahmu ini benar-benar tiada dan kau baru menyesal, Justin? Apa kau mau kejadian ibumu terulang kembali pada Ayahmu ini?”
“Bisakah Ayah berhenti menyangkut-pautkan hal ini dengan Ibu? Aku benar-benar muak jika Ayah terus menerus begini.”
“Ayah tidak akan berhenti sebelum kau menyetujui perjodohan itu. Lagi pula apa yang kurang dari Alexa? Dia gadis yang baik dan sangat ramah. Alexa cocok denganmu, apalagi kalian sudah pernah bertemu beberapa kali. Kau juga tidak punya pasangan, lalu apa yang membuatmu menolak, Justin? Bisakah sekali saja menurut dengan perintah orang tua? Kau tidak mau menyesal untuk kedua kalinya kan?”
“Apa yang mereka tawarkan sampai Ayah mau menjodohkan kami? Yang jelas, aku sama sekali tidak akan menerima perjodohan itu, apalagi ini menyangkut soal kerjasama bisnis. Aku bukan barang, Ayah! Yang bisa seenaknya kau gunakan untuk kelangsungan kerjasama kalian. Aku menolaknya!”
“Mau sekeras apapun kau menolaknya, tentu kau tau sekeras apa juga Ayah saat memaksamu nanti.”
Justin benar-benar selalu kehabisan kata-kata jika berhadapan dengan sang Ayah yang sama keras kepalanya dengan dia.
"Justin!"
Justin langsung menoleh begitu pundaknya disentuh oleh Leon. Temannya itu baru saja kembali dari kantor dan langsung pergi ke dekat kolam renang untuk menemuinya.
"Lembur lagi kau?"
Leon mengangguk mengiyakan. "Iya, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku." jawabnya. Lalu Leon kembali melanjutkan, "kenapa kau ingin bertemu denganku di sini? Ada hal yang ingin kau katakan padaku, Justin?"
"Ya, tentu saja. Dan ini soal Irene. Jadi, memang paling aman jika kita mengobrol di sini. Kalau di ruang tamu, takut jika tiba-tiba Irene turun dan mendengar semua obrolan kita."
"Penting? Dia membuat ulah lagi?" tanya Leon dengan cepat. Seolah bisa membaca tabiat sang adik yang memang selalu membuat masalah. "ah, benar-benar anak itu. Apa sih maunya Irene?!"
"Santai dulu, Leon."
"Bagaimana bisa santai jika ini soal Irene? Berulang kali dia membuat ulah, Justin. Bahkan disaat ada kau yang aku tugaskan untuk mengawasi saja, dia masih berani membuat ulah. Ampun beneran deh Irene. Aku sampai bingung harus bagaimana lagi menghadapinya. Selalu saja tiap hari membuat masalah yang berbeda-beda."
Leon meluapkan segala kekesalannya. Jujur saja, Leon merasa ini sudah dipuncaknya. Dia benar-benar kesal bukan main pada sang adik yang tidak henti-hentinya membuat masalah. Sangat menguji kesabarannya berulang kali.
"Kau sadar tidak Leon, jika sumber permasalahan yang ada itu darimu?"
Leon mengerutkan kening bingung dengan ucapan Justin barusan. "apa maksudmu? Bagaimana bisa kau mengatakan itu padaku? Kau menyalahkan aku, Justin? Di mana letak kesalahanku sampai Kau menuduhku sebagai sumber masalah yang terjadi? Sedangkan semua masalah yang ada diciptakan oleh adikku sendiri."
"Sebelum aku menjawabnya, tolong jawab dulu pertanyaan-pertanyaan dariku, Leon. Aku ingin tau sejauh mana kau mengenal adikmu sendiri."
"Hah? Kau meremehkan aku, Justin? Aku kakaknya, jelas aku tau semua tentang adikku sendiri." sahut Leon penuh dengan percaya diri.
"Apa warna favorit Irene?"
"Biru. Saat kecil dia sangat terobsesi ingin menjadi princess Cinderella yang ada di dalam kartun Disney. Gaunnya berwarna biru muda, cantik sekali dan Irene sangat menyukai warna itu."
"Salah, Irene menyukai warna merah. Dia sudah dewasa sekarang, Leon. Dia bukan anak kecil yang dulu. Tentu pilihan warna favoritnya bisa berubah seiring berjalannya waktu."
"Jangan membodohiku, Justin. Lagi pula dari mana kau tau jika Irene menyukai warna merah?"
"Kau,"
Leon menunjuk dirinya sendiri, "aku?"
"Ya, kau. Sepertinya kau lupa dan tidak sadar. Kau sering membicarakan Irene yang suka sekali mengoleksi barang-barang yang berwarna merah. Kau bahkan mengatakan padaku jika semua barang-barang milik Irene membuat matamu pedih. Sekarang coba kau lihat, apa sekarang dia sering memakai barang-barangnya yang berwarna merah? Tidak kan? Aku rasa dia menyingkirkan semua yang berwarna merah demi dirimu. Aku memang baru sehari bersama Irene, tapi jangan lupakan jika selama hampir satu tahunan aku memantau Irene dari jauh dan kau tau akan hal itu."
Leon diam. Dia tidak tau harus mengatakan apa. Karena seingatnya dulu semasa kecil Irene sangat menyukai warna biru.
"Pertanyaan selanjutnya, Leon. Berapa kali dalam seminggu kau punya waktu untuknya? Waktu yang benar-benar luang untuk kalian bisa mengobrol dan menghabiskan waktu berdua?"
"Tidak ada. Aku hanya bertemu dengannya setiap sarapan pagi." jawab Leon jujur.
"Karena kau terlalu sibuk, benar?"
"Ya, kau tau sendiri jika semua usaha yang ditinggalkan kedua orang tuaku bukan hanya satu, Justin. Tentu saja aku sibuk mengurus semuanya. Ini semua juga untuk Irene."
"Tapi pernahkah kau berpikir jika Irene juga butuh perhatianmu?"
"Aku selalu memperhatikannya, Justin. Jika tidak, mana mungkin aku selalu—"
"Irene butuh kau Leon! Dia hanya butuh kau meluangkan waktunya sebentar saja untuk mengajaknya mengobrol santai layaknya adik kakak pada umumnya. Dia terus membuat kegaduhan dan masalah terus menerus hanya untuk menarik perhatianmu saja. Dia ingin kau punya banyak waktu untuknya. Bukan hanya memberikannya uang saja. Kau sadar tidak jika kesibukanmu terlalu over? Kau melupakan Irene yang butuh diperhatikan lebih? Apa pernah kau bertanya padanya bagaimana perasaannya hari ini? Bagaimana kuliahnya? Apa sudah makan? Mau berbagi cerita tidak? Hal-hal sepele yang tidak pernah kau lakukan padanya. Irene hanya butuh itu. Harusnya kau bisa lebih peka lagi, Leon."
Leon tidak menyangkal apa yang baru saja Justin ucapkan. Semuanya memang benar, dan Leon baru menyadarinya. Dia terlalu over dalam memikirkan pekerjaan. Tidak pernah sekalipun menanyakan keadaan Irene atau hal-hal sepele seperti yang dikatakan oleh Justin barusan.
"Kau hanya datang disaat Irene membuat masalah. Maka dari itu, dia terus memberontak dengan membuat masalah berulang kali agar kau bisa meluangkan waktu barang sebentar untuknya. Meski saat bertemu pastinya kau akan memarahi dan memakinya karena terus membuat ulah." lanjut Justin yang semakin membuat Leon tertampar fakta.
"Aku benar-benar tidak menyadari itu, Justin. Aku pikir dia memang berubah begitu karena faktor lingkungan pertemanannya yang buruk. Tapi tidak aku sangka jika semua itu berasal dari aku sendiri."
Justin menepuk pundak Leon sebagai tanda untuk memberikan semangat pada teman sendiri. "belum terlambat untuk memperbaiki semuanya, Leon. Lebih baik mulai sekarang sering-sering luangkan waktu untuk Irene. Dia butuh waktu lebih banyak mengobrol denganmu. Dia suka diperhatikan seperti dulu."
"Di mana dia sekarang?"
"Tidur di kamarnya."
Leon mengerutkan keningnya sambil melihat jam tangan yang ada pergelangan tangannya.
"Irene tidak biasa tidur cepat jam segini, Justin. Aku tau sekali jam tidurnya."
"Hah?"
"Kau tidak kecolongan kan? Irene suka berbohong biasanya."
"Sebelum kau pulang, aku sudah mengecek ke dalam kamarnya. Irene tidur, Leon. Dia sudah tidur pulas."
Bukannya membalas perkataan Justin, Leon justru langsung pergi ke kamar Irene begitu saja. Lalu di ikuti dengan Justin yang berjalan di belakangnya.
Perasaan Leon sepertinya tidak salah kali ini. Dan benar saja, Irene tidak ada di kamarnya. Melihat kamar tersebut kosong, Justin tentu saja terkejut. Bagaimana bisa dia kecolongan begitu saja?
"Lihat? Dia itu pandai berbohong. Kau juga kenapa mudah sekali kecolongan begini? Ah, dia pasti ke club malam lagi. Lihat saja, aku akan menyeretnya pulang dan—"
"Biar aku saja."
"Tidak Justin. Biar aku saja. Sudah biasa dia begini."
"Katakan saja dia biasanya ke club mana? Biar aku yang menjemputnya. Jangan kau, karena aku tau kau pasti akan memarahinya lagi. Kau mudah sekali emosi. Jangan sampai ucapanmu nanti malah menyakitinya. Dia pergi mungkin karena merasa sepi sendirian. Aku menduga begitu karena kau mengatakan sendiri bahwa Irene sudah biasa begini. Kau juga sering sekali tidak pulang karena mengurus pekerjaan di luar kota kan?"
"Aku benci mengiyakan, tapi memang benar. Sepertinya memang begitu, dia pergi ke sana karena tidak mau kesepian. Ya sudah, kau saja yang menjemputnya. Aku akan kirim alamatnya."
Justin lantas mengangguk, lalu bergegas pergi menyusul Irene.