Iri?

1006 Kata
"Siapa dia?" Tatapan sinis dari seorang pria yang barusan datang terus dilayangkan pada Justin yang masih berdiri di tempatnya. Irene melirik sang bodyguard yang nampak diam dan tetap profesional. Dia lantas kembali menoleh ke arah temannya dan menyahut, "tidak tau, tidak kenal." "Bohong, Vid! Dia bodyguard Irene." seru Kitana Ryn yang membuat Irene langsung memukulnya karena terlalu jujur. "Kenapa harus ada bodyguard segala, Sweety? Kau tidak begini sebelumnya. Atau ini ulah kakakmu?" "Jika bukan Leon siapa lagi? Kau kan juga tau seperti apa kakakku itu. Tidak bisa dibantah juga karena dia selalu mengancam akan menarik kartu kreditku. Belum lagi mobil yang aku bawa pasti akan ditahan juga olehnya. Aku bisa apa?" "Ck! Aku punya banyak uang, kau bisa minta uang padaku jika Leon tidak memberimu. Aku tau kau pasti tidak nyaman jika ada bodyguard begini, iya kan? Mau apa-apa pasti susah karena setiap pergerakanmu pasti akan diperhatikan olehnya," ujar David sembari kembali menatap Justin tidak suka. Lalu David kembali melanjutkan, "dia pasti akan melaporkan apa saja yang kau lakukan pada Leon." "Aku tau, David. Tapi tidak apa-apa, ada untungnya juga kalau ada bodyguard. Ke mana saja ada yang menjagaku. Bonus juga karena wajahnya tidak membosankan. Tampan," ujar Irene terang-terangan memuji Justin tampan di depan David dan juga Ryn. Ryn bahkan sampai tersedak minumannya sendiri saat Irene mulai blak-blakan mengatakan Justin tampan. Sebab tadi pun Irene masih ogah-ogahan dan tidak mau mengakui jika Justin adalah pengawalnya. "Astaga pelan-pelan jika minum Ryn!" seru David. Raut wajahnya terlihat khawatir melihat sang adik sepupu sampai terbatuk-batuk karena tersedak minuman. Diam-diam Justin melihat bagaimana Irene yang terpegun melihat apa yang sedang terjadi. Perhatian yang diberikan David pada Ryn membuat Irene terdiam dan menatapnya lamat. Dari matanya saja terlihat sendu. Irene mengalihkan pandangannya. Dan detik itu juga, dia menyadari jika Justin melihatnya, memergokinya. "Lain kali hati-hati jika minum." "Kau ini berisik sekali! Jangan pegang-pegang kepalaku! Semua orang bisa salah paham nanti, David!" "Salah paham bagaimana? Kau kan adikku. Untuk apa memikirkan ucapan orang lain hah?" "Iya kalau mereka tau kita sepupuan. Jika tidak? Jelas bisa salah paham semuanya. Bisa-bisa kita ini dikira pasangan, dan aku tidak mau ya! Jadi berhenti!" Ryn terus saja menyingkirkan tangan David yang mengusap puncak kepalanya. Tapi semakin Ryn bersikeras menyingkirkan dan menepisnya, David justru bersemangat untuk terus menggoda Ryn sampai kesal. Tingkah kakak beradik itu membuat Irene tersenyum kecut, lalu mengalihkan wajahnya lagi ke lain arah. Dan Irene tidak lagi peduli jika Justin kembali melihatnya. Sementara itu, David yang sudah puas menganggu sang adik sepupu sontak kembali memfokuskan perhatian pada Irene yang kini menatap ke luar jendela. "Irene?" Sang pemilik nama menoleh dan menyahut, "ya? Kenapa?" "Mau jalan-jalan ke sungai sore ini?" Irene mengangguk dan menjawab, "mau, asal Ryn juga ikut. Aku tidak mau jika hanya berdua saja denganmu." "Oke! Aku akan ikut." seru Ryn yang langsung setuju. Padahal biasanya Ryn paling malas jika pergi-pergi apalagi bersama David. Alasan Irene memberikan syarat tadi itu karena dia tidak tega untuk menolak ajakan dari David. Irene sudah yakin jika Ryn akan menolak, tapi ternyata justru mengiyakan tanpa adanya drama sama sekali. "Kenapa tiba-tiba langsung mau?" cecar Irene penasaran. "Kan ada Justin." jawab Ryn dengan kerlingan nakal. "anggap saja seperti double date. Kau dengan David, dan aku bisa bersama Justin nanti. Setuju?" Irene mencebik dan menyahut, "terserah. Kalau dia mau dekat-dekat denganmu." Lirikan Irene membuat Justin langsung tau apa maksudnya. Meskipun mengetahui maksud tersebut, Justin hanya diam tak mau menanggapi. Tugasnya hanya menjaga dan mengawasi apa saja yang dilakukan oleh Irene. Jadi, dia tidak perlu menjelaskan soal hal lain. Harusnya orang yang berakal juga tau jika dia ini sedang bekerja, bukan main-main. +++ Di sinilah mereka berempat, berada di sebuah sungai panjang yang terdapat taman juga di sana. Tempat nomer satu yang selalu didatangi oleh para anak muda dan juga orang-orang yang sudah berkeluarga bersama anak-anak mereka. Menikmati waktu kebersamaan di sebuah taman benar-benar menenangkan dan menyenangkan. Apalagi ada aliran sungai yang begitu bersih mampu menyegarkan pandangan mata. David dan Ryn berjalan lebih dulu di depan sembari bercanda ria. Seolah dunia hanya milik kakak beradik tersebut. "Kau lihat mereka?" Justin sontak mengikuti arah pandang Irene yang tertuju pada David dan Ryn yang sedang bercanda di depan. Lalu terdengar suara kekehan ringan dari Irene yang kembali menarik perhatian Justin. "Meskipun hanya sepupuan, kenapa mereka hubungan mereka begitu manis? Kau lihat kan sejak tadi bagaimana perlakuan David pada Ryn? Sangat perhatian dan manis." "Apa kau iri, Nona?" tanya Justin. Mendapatkan pertanyaan tersebut membuat Irene akhirnya menghentikan langkahnya. Dia menoleh, lalu sedikit mendongak untuk menyatukan tatapan pada sang bodyguard. Irene tersenyum kecut dan menyahut, "siapa saja juga akan iri. Siapa sih yang tidak mau diperhatikan oleh kakaknya sendiri?" Senyuman getir mulai terpatri dan Justin bisa merasakannya. Merasakan apa yang tengah Irene rasakan sekarang. Tidak perlu membutuhkan waktu yang lama bagi Justin untuk memahami apa yang terjadi. Segala sesuatu yang dilakukan oleh Irene semata-mata hanya untuk menarik perhatian dari Leon. Irene, kesepian. Irene butuh perhatian lebih dari kakaknya sendiri. Tidak heran jika saat ini gadis itu benar-benar merasa iri pada sahabatnya sendiri. Karena Ryn benar-benar diperhatikan oleh kakak sepupunya. Pertengkaran kecil yang terjadi di antara David dan Ryn justru menambah keirian Irene. Sebab keduanya terlihat sangat menggemaskan. Irene, ingin juga seperti itu. Tapi Leon sedikit pun tidak punya waktu untuknya. "Kau pun bisa. Kau punya kakak juga, Nona. Kenapa harus iri?" "Kakak mana yang kau bicarakan, Justin? Rasa-rasanya aku seperti tidak punya kakak. Miris, bukan? Sudah tidak punya orang tua, lalu punya kakak tapi seperti tidak punya." "Kenapa kau bicara begitu, Nona? Tidak baik berkata seperti itu." "Faktanya memang seperti itu, Justin. Coba kau tanya pada Leon, berapa kali dia pergi ke luar kota tiap bulan? Berapa kali dalam seminggu dia lembur sampai larut malam? Berapa kali dia bertemu denganku dalam seminggu? Berapa kali dia meluangkan waktu untukku dalam setahun? Pernah tidak sehari saja dia meluangkan waktu yang benar-benar kosong untukku? Coba kau tanya padanya. Aku yakin dia tidak akan bisa menjawabnya." Justin lantas bungkam. Memilih diam kala ucapan Irene penuh dengan penekanan. Jelas sekali ada yang tertahan saat ini. Dan Justin bisa merasakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN