"Shilla.. Sini bantuin Ibu masak," panggil sang ibu dari depan pintu.
Shilla yang sedang mengenakan seragam sekolah tidak langsung menyahut tetapi mencepatkan gerakannya kemudian langsung keluar menuju dapur rumah mewah yang ada di depannya, alias rumah majikannya. Ya, mereka -Shilla dan kedua orangtuanya- tinggal di rumah kecil yang disediakan oleh majikannya -keluarga Dinata-. Ibunya bekerja sebagai pelayan dan ayahnya sebagai supir pribadi tuan Dinata. Sedari lahir tinggal di rumah ini, karena orang tuanya sudah bekerja di sini bahkan sebelum Ia ada.
Gadis cantik itu langsung saja membantu sang ibu yang tengah sibuk memasak.
Shilla kini berusia 18 tahun. Dia merupakan salah satu mahasiswi terpintar di angkatan. Universitas favorit di daerah ini.
Ashilla shafira. Gadis cantik, mungil, ramah, periang, friendly, dan cerdas. Tapi itu tidak menjamin akan membuat teman-temannya menerima dengan mudah. Banyak yang tidak menyukai gadis itu di karenakan status keluarga yang dianggap rendah. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mem-bully.
Apalagi dengan kehadiran putri satu-satunya keluarga Dinata -Rachel Ayla Dinata- yang kebetulan teman satu angkatan dan satu jurusan. Rachel seakan-akan tidak menyukai keberadaan Shilla. Mungkin karena dirinya iri terhadap Shilla, karena Shilla selalu berada di atas Rachel dalam banyak hal, tentu saja kecuali kekayaan yang dimiliki.
Shilla dan Rachel bagaikan langit dan bumi. Mereka berdua sangat berbeda dan bertolak belakang. Shilla rajin, Rachel sangat malas. Shilla ramah, Rachel sombong. Dan banyak lagi.
Mengenai keluarga Dinata. Andrew dan Ella Dinata. Andrew merupakan CEO dari perusahaan turun-temurun keluarga Dinata. Dan orang Indonesia asli. Sedangkan sang istri, Ella Dinata beliau merupakan anak angkat dari teman bisnis orang tua Andrew. Ayah Ella berkewarganegaraan Spanyol dan ibu asli Indonesia. Mereka mempunyai tiga penerus yaitu dua putra dan satu Putri.
Revan Arvyn Dinata, putra pertama. Yang kini berusia 21 tahun, merupakan mahasiswa semester akhir, yang hanya menunggu untuk wisuda. Tampan namun sangat dingin tak tersentuh dan sombong.
Raka Arya Dinata, anak paling ramah diantara ketiganya. Tampan itu pasti. Berusia 20 tahun dan sekarang semester 6 jurusan kedokteran.
Terakhir si bungsu, dan putri satu-satunya. Rachel Ayla Dinata. Gadis cantik namun sombong. Berusia 18 tahun, dan duduk di bangku kuliah semester 2 seperti Shilla.
Jam menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Waktunya Shilla dan sang ibu -Rini- menyajikan hidangan pagi pada meja makan berukuran besar itu. Seluruh anggota keluarga Dinata telah hadir di meja makan.
Shilla meletakkan lauk satu persatu. Saat tepat dihadapan Revan, saat itu pula jantungnya berdetak kencang. Shilla tak tau apa artinya.
*******
Shilla berlari menaiki tangga untuk menuju lantai 3 dimana kelas paginya dilaksanakan. Karena menunggu angkutan umum lama, jadilah Ia baru tiba di gerbang kampus pukul 07.50, 10 menit sebelum perkuliahan dimulai.
Tepat pukul 08.00, akhirnya Shilla tiba. Shilla memasuki ruang kelas dan duduk di bangku paling depan. Tak ada yang menemani. Tidak, kebanyakan mahasiswa disini sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Mereka tak menganggap Shilla ada dalam kelas. Atau mungkin mereka memang tak melihat kehadiran Shilla sebagai salah satu penghuni kelas.
Kelas pertama yaitu mata kuliah manajemen keuangan. Kelas yang disukai Shilla karena memaksimalkan kemampuan perhitungan. Shilla menyukai semua yang berbau angka dan hitung menghitung.
Bu Dini selaku dosen menjelaskan panjang lebar. Mengharap 30 mahasiswa yang duduk mendengarkan bisa dengan mudah mengerti dan memahami. Sayangnya, tak semua serius memperhatikan. Hanya segelintir saja yang memang sudah diniatkan mencari ilmu. Selebihnya tak jauh dari kegiatan mengobrol, merebahkan kepala karena kantuk, ataupun dengan handphone di genggaman.
Tak terasa, lebih dari 2 jam terlewati. Waktu untuk kelas ini hampir selesai. Di depan kelas juga sudah ramai mahasiswa lain yang akan menggunakan ruang untuk kelas selanjutnya.
"Buka modul kalian halaman 57. Kerjakan soal nomor 1 dan 2. Dikumpulkan pada pertemuan berikutnya. Tulis jawaban sejelas dan serinci yang kalian bisa. Saya permisi, terimakasih," ucap bu Dini panjang lebar dan bergegas keluar ruang kelas.
"Heh Shilla, sekalian punya Gue kerjain. Awas Lo kalo lupa!" ancamnya. Dia itu Laura, siswi cantik dan populer setelah Rachel di sekolah menengah atas dulu. Yang kebetulan memasuki universitas, fakultas, jurusan dan kelas yang sama. Dan kebetulannya lagi, ada 5 di kelas ini yang merupakan teman sekolah menengah atas Shilla. Satu diantaranya, Rachel.
Shilla hanya diam dan menerima perintah dari teman-temannya. Dia tak berani menolak permintaan mereka. Menghela nafas panjang dan memejamkan mata sejenak. Itu yang selalu dilakukan Shilla agar lebih tenang dan tidak terpancing amarah. Kemudian dilanjutkan menganggukkan kepala kecil.
Kelas selanjutnya masih sekitar 90 menit lagi. Memilih perpustakaan untuk menunggu waktu dengan mengerjakan tugas yang tadi diberikan. Butuh waktu 1 jam untuk mengerjakan soal dengan tingkat ketelitian tinggi. Mengambil ponsel dan memotretnya. Shilla masih mengingat Laura dan teman-teman tadi meminta ‘tolong’ untuk tugasnya dikerjakan juga. Mengirim jawaban yang didapatkannya dengan susah payah pada Laura. Mungkin jika dosen tidak memperhatikan secara jeli tulisan mahasiswanya, mereka akan minta dituliskan juga jawabannya. Untung saja tingkat ini lebih sulit dibandingkan saat sekolah.
Shilla tak pernah mengeluh mengerjakan tugas milik teman-temannya. Selain takut, Shilla juga selalu berfikir positif. Begini ‘kalo aku ngerjain tugas mereka juga, itu kan artinya aku bisa tambah faham di soal-soal yang aku kerjakan’.
*******
Mata kuliah kedua atau terakhir Shilla di hari ini telah usai 10 menit yang lalu. Shilla masih berada di kampus. Karena tadi pagi mendapat pesan bahwa hari ini akan diadakan rapat mingguan organisasi yang diikutinya. Yaitu Himpunan Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Shilla merupakan mahasiswa yang rajin dan pintar. Di tahun pertamanya ini juga sudah aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan yang lumayan menyita waktu.
Setelah dua jam berlalu, akhirnya kegiatan ini selesai. Shilla keluar setelah semua penghuni ruang pergi.
Shilla duduk di halte tak jauh dari kampus. Sendirian. Kebanyakan dari mereka membawa kendaraan pribadi masing-masing.
Hari mulai gelap, angin juga berhembus makin kencang. “Sepertinya akan turun hujan,” batin Shilla menatap langsung ke arah langit.
Dan benar saja, tak perlu menunggu lama, rintik hujan turun membasahi bumi. Bis yang ditungguinya pun tak kunjung datang.
Shilla menggesekkan kedua tangannya kemudian menempelkan di pipi, “Ini sangat dingin,” Shilla melakukan itu berulang-ulang, sampai tiba-tiba
Tin tin
Terdengar suara klakson mobil tepat di depannya. Shilla mendongak dan melihat mobil yang sepertinya tidak terlalu asing.
Kaca mobil itu terbuka sedikit, dan menampilkan wajah dingin tuan mudanya -Revan-
"Masuk. Sekalian pulang!" ajak Revan dengan suara datar. Itu bukan ajakan melainkan perintah.
"Eh, gak usah Kak. Saya nunggu bis aja," jawab Shilla menunduk.
Shilla memang memanggil Revan dan Raka dengan sebutan kakak. Karena memang itu perintah langsung dari bu Ella-ibu Revan-
"Ini bukan tawaran. Tapi ini perintah!" geram Revan dengan suara yang sangat dingin.
"Ya - yaudah kak." Selesai menjawab, Shilla langsung masuk ke kursi penumpang yang ada di belakang.
"Siapa yang suruh di belakang?! Lo pikir gue supir lo apa!!" bentak Revan dengan nada tinggi sampai Shilla yang baru saja menutup pintu tersentak kaget.
Tanpa kata, Shilla langsung keluar dan menuju kursi penumpang di samping pengemudi.
"Maaf," gumam Shilla pelan, tapi masih dapat terdengar di telinga Revan.
Tanpa sadar, Revan menaikan kedua sudut bibirnya tipis.
Perjalanan dilewati dengan keheningan. Jika biasanya hanya butuh sepuluh sampai dua puluh menit untuk sampai, ini sudah lebih dari tiga puluh menit dan masih berada di dalam mobi. Macet dan hujan yang tak kunjung reda menjadi alasan.
Shilla masih asik membaca buku. Sedangkan Revan, dia mulai kebosanan. Sesekali Revan melirik ke arah Shilla, dan pandangannya jatuh pada bibir pink milik Shilla.
Seakan sadar sedang diperhatikan, Shilla memberanikan diri menghadap Revan. Mata mereka terkunci. Saling memandang, dan tak sadar salah satu di antara mereka mulai mendekatkan wajahnya.
Shilla hanya mematung, buku yang dipegang juga sudah jatuh di pangkuan. Shilla membulatkan matanya saat merasakan benda kenyal dan lembut menempel di bibir. Shilla ingin sekali memberontak, tapi kedua tangannya kini berada di genggaman Revan.
Saat matanya melihat ke arah wajah manusia di hadapan, lebih tepatnya mata Revan, ternyata dia memejamkan mata seakan menikmati ciuman ini. Tidak, ini bukan sebuah ciuman. Bibir Revan hanya menempel dan diam. Suara klakson yang bersahutan dari arah belakang mobil menyadarkan Revan akan tindakan gilanya.
Shilla hanya menundukkan wajah. Tangannya meremas erat rok panjang abunya. Sebenarnya Ia ingin menangis, sangat ingin. Tetapi Ia tahan.
“Apa yang gue lakuin,” rutuk Revan dalam hati setelah sadar apa yang telah dilakukannya pada Shilla.
“Tuhan, ini apa??” tanya Shilla dalam hati.
Itu adalah first kiss bagi keduanya. Jantung keduanya pun kini berdetak dengan sangat kencang. Keadaan sekarang benar-benar terasa makin canggung.
Lima belas menit kemudian, mobil Revan mulai memasuki halaman depan rumah keluarga Dinata.
"Makasih," ucap Shilla pelan dan pergi meninggalkan Revan.
Revan menghela nafas dalam dan masuk kedalam kediamannya. Dia langsung masuk ke kamar tanpa menghiraukan panggilan dari ibu dan juga adik-adiknya.
Di tempat lain,
Shilla hanya menangis dan menyentuh permukaan bibirnya. Dirinya takut apabila ada yang mengetahui kejadian tadi.
Shilla memang gadis yang sangat polos. Dia tidak tau sama sekali tentang hal-hal yang berkaitan dengan lawan jenis.