Tangan kecilnya terulur membelai perut rata yang tertutupi selimut tipis rumah sakit. Matanya menangis, namun bibirnya tersenyum samar. Akan ada makhluk mungil yang menempati perutnya selama sembilan bulan mendatang. Shilla memang merasa kecewa pada keadaannya kini. Karena kehamilannya, dirinya tak dapat meneruskan pendidikan dan meraih cita-cita. Tapi mau bagaimana lagi? Seperti inilah takdir. Shilla bertekad mempertahankan janin dalam perutnya apapun yang terjadi. Walau semua orang menolak kehadirannya. "Selamat sore, Nona," sapaan itu membuyarkan lamunannya. Dihadapannya berdiri seorang dokter muda yang tampan. Memberi senyum yang terkesan manis. "Eh, iya Dok. Sore," jawab Shilla. "Bagaimana keadaan anda?" "Baik Dok." "Apa ada keluhan?" "Sejauh ini tidak ada Pak do