Flashback On
"Kalau boleh tahu, ini ada apa yah, Pak Tanu dan Bu Laras?" tanya Bu Nyai kepada orang tua Athala, yang nampak terlihat panik.
"E-eh, Bu Nyai, Kyai Ahmad. Maaf sebelumnya, sebetulnya ... " Mengalir 'lah cerita dari mulut Pak Tanu kepada kedua orang tua yang ia hormati itu.
Mereka berbicara di sudut aula, tepatnya di area khusus para saudara dan keluarga besar berada.
Pak Tanu tidak pernah segan untuk bercerita kepada Kyai Ahmad, karena beliau memang orang yang paling ia segani selama ini.
Pak Tanu adalah penyokong dana terbesar bagi pesantren yang dipimpin oleh Kyai Ahmad saat ini. Dulunya Pak Tanu adalah santri di pesantren yang ketika itu masih di pimpin oleh ayah Kyai Ahmad. Ketika Pak Tanu belajar agama di pondok, Kyai Ahmad masih menjadi pengajar membantu kedua orangtuanya. Kini beliau yang diserahkan meneruskan tampuk kepemimpinan pesantren.
Pak Tanu mondok ketika ia telah menginjak bangku kuliah, telat memang, tapi itu semua karena kemauan dari sang ayah --kakeknya Athala-- yang mengancam tidak akan menyerahkan perusahaan yang saat itu membutuhkan seorang ahli waris, jika Pak Tanu tidak mau mondok di pesantren. Sehingga mau tak mau, selama Pak Tanu kuliah, ia tidak tinggal di kost seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, melainkan bolak-balik, pesantren-kampus.
"Begitu, Pak Kyai, Bu Nyai," ucap Pak Tanu yang telah selesai dengan ceritanya.
Kyai Ahmad dan Bu Nyai saling memandang. Seolah ada ikatan batin diantara keduanya karena hubungan suami istri yang terjalin, membuat Bu Nyai paham akan maksud dari suaminya itu.
"Panggil dia!" perintah Kyai Ahmad kepada istrinya.
"Baik, Kyai." Bu Nyai memanggil suaminya dengan sebutan yang sama dengan orang-orang.
Pak Tanu dan Bu Laras nampak bingung dengan reaksi tenang yang Kyai Ahmad ciptakan. Dan beberapa menit kemudian, rasa bingungnya sedikit demi sedikit mulai terkuak.
Bu Nyai datang dengan seorang wanita muda cantik nan ayu dengan pakaian gamis dan jilbab lebarnya. Keduanya berjalan sembari dikawal oleh sepasang suami istri beserta anak balitanya.
"Abah, ada apa panggil saya?" tanya wanita muda itu. Ia berkata sambil menundukkan kepalanya.
"Cinta, perkenalkan, ini adalah Pak Tanu dan Bu Laras, mereka adalah tuan rumah acara pernikahan ini," ujar Kyai Ahmad memperkenalkan diri.
Wanita muda yang bernama Cinta itu menyalami Bu Laras. Dan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan d**a ketika berkenalan dengan Pak Tanu. Hal yang sama juga dilakukan oleh si mantan santri --ayah Athala.
"Salam kenal, Pak Tanu dan Bu Laras. Saya Cinta, Cinta Hanifah, salah satu santri di tempat Kyai Ahmad dan Bu Nyai."
"Salam kenal juga, Cinta," ucap nyonya Laras.
"Cinta, jadi begini ... putra sulung Pak Tanu dan Bu Laras, yang rencananya akan menikah hari ini terancam batal dikarenakan mempelai wanitanya yang tidak hadir." Kyai Ahmad mengawali cerita, namun langsung pada inti masalah.
Wanita muda yang bernama Cinta, masih menyimak penjelasan dari Kyai Ahmad. Tak sepatah kata pun ia memotong ucapan sang Kyai.
"Cinta ... bisakah kamu membantu kedua orang tua yang malang ini?" Kini giliran Bu Nyai yang bersuara.
Pak Tanu dan Bu Laras nampak heran dengan ucapan dari Bu Nyai dan Kyai Ahmad, yang seolah klop meski tidak ada obrolan diantara keduanya, sejauh yang mereka ketahui.
"Apa yang bisa Cinta bantu untuk mereka, Abah, Enin?" tanya Cinta.
"Jadilah pengganti mempelai wanita bagi putra mereka!" ucap Kyai Ahmad lugas tanpa ragu.
Cinta terdiam sejenak memikirkan kalimat yang diucapkan oleh sang Kyai. Ia bergeming, hingga tepukan di pundaknya, membuat ia tersadar. Tepukan halus dan hangat dari Bu Nyai dan seorang wanita lainnya yang tengah menggendong balita di tangannya.
"Bagaimana?" tanya Kyai Ahmad.
"Bismillah. Iya, Cinta akan menggantikan mempelai wanita yang tidak hadir hari ini. Pernikahan ini tidak bisa dianggap main-main, jadi ini semua bukan semata-mata untuk membantu Pak Tanu dan juga Bu Laras, tapi karena saya juga sudah siap untuk menyempurnakan separuh agama saya."
Pak Tanu dan nyonya Laras nampak takjub, mereka tak menyangka jika begitu mudahnya wanita muda di depannya ini menyetujui permintaan dari sang Kyai, tanpa perlu berpikir panjang.
"Nak Cinta, kalau boleh ibu tahu, maaf, mengapa Nak Cinta mengiyakan permintaan Kyai Ahmad, padahal jelas-jelas Nak Cinta belum kenal dengan kami dan juga putra kami khususnya?"
"Pertanyaan Bu Laras terlalu mudah saya jawab. Jika bukan Abah yang meminta, mungkin saya akan berpikir ulang, Bu, Pak. Tapi yang menawarkan adalah Abah saya, tentu saja penilaian beliau tidak perlu saya ragukan. Dengan beliau menawarkan saya seorang lelaki, maka saya sangat yakin jika pilihan Abah dan Enin adalah pilihan yang terbaik."
"Tapi bagaimana jika putra saya tidak sesuai dengan yang kamu harapkan untuk kamu jadikan sebagai pemimpin rumah tangga?" tanya Pak Tanu kini.
Gadis itu tersenyum. "Seperti yang saya katakan tadi, saya percaya dengan pilihan Abah. Jadi tidak ada keinginan sedikitpun bagi saya untuk menolak permintaan beliau."
Pak Tanu dan nyonya Laras tersenyum. Mereka nampak terlihat bahagia. Menurut keduanya, gadis cantik yang berdiri di depannya sekarang, adalah pengganti mempelai wanita yang paling baik.
"Baiklah, jika semuanya sudah setuju. Bagaimana jika kita segerakan saja niat baik ini?" ucap Kyai Ahmad. "Silakan Pak Tanu dan Bu Laras membicarakan perihal ini kepada putra kalian!" timpal Kyai Ahmad lagi.
"Baik. Kalau begitu, kamu, Cinta, bisa ikut istri saya --Laras. Saya dan Erika, akan menemui putra saya di atas." Pak Tanu membagi tugas.
Ada perasaan bahagia yang tak bisa diungkapkan oleh ketiganya, manakala mereka mendapatkan pengganti mempelai wanita yang luar biasa.
***
Flashback off
Cinta Hanifah. Gadis muda, berusia dua puluh tiga tahun. Cantik, ayu dan ceria. Ia baru saja selesai dengan pendidikan kuliahnya. Baru dua bulan yang lalu ia menerima gelar sarjana ekonomi.
Cinta Hanifah adalah seorang gadis yatim piatu. Kedua orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan ketika ia masih duduk di bangku sekolah SMP.
Sejak itu ia tinggal di pesantren, karena Kyai Ahmad adalah saudara satu-satunya yang ia miliki. Kyai Ahmad adalah paman ayahnya. Bisa dibilang, Kyai Ahmad adalah kakeknya. Tak heran ketika gadis itu kini menikah, maka Kyai Ahmad 'lah yang menjadi wali nikahnya.
Saat ini Cinta sangat cantik dengan dandanan ala pengantinnya. Meski 'make up' yang dipoles di wajahnya masih dalam batas wajar, sesuai dengan permintaannya, namun gadis itu malah semakin terlihat cantik dan alami. Erika --tante Athala-- seseorang yang mengerti akan fashion dan penampilan saja, bisa dibuat takjub dan terpesona dengan penampilan sang mempelai wanita.
Hanya Athala yang tidak mempedulikan sosok wanita yang saat ini telah sah menjadi istrinya itu. Ia sama sekali tak memperhatikan Cinta yang saat itu sedang menandatangani buku nikah mereka.
Bahkan ketika acara pemakaian cincin mahar pernikahan, yang seharusnya Athala sematkan di jemari Nadira, namun sekarang berpindah kepemilikannya, pria itu cuek tak memandang sedikitpun. Hanya gerakan-gerakan tangan saja dan juga sebuah gerakan mengecup kepala istrinya, tanpa ada kesakralan yang tercipta.
Kyai Ahmad dan Bu Nyai yang memperhatikan itu semua hanya bisa tersenyum. Mereka sangat mengerti dengan kondisi yang terjadi, hingga membuat pengantin pria terlihat tidak bahagia bahkan cenderung malas.
Namun lain halnya dengan Pak Tanu dan nyonya Laras --kedua orangtua Athala-- mereka kesal dan nampak tak enak hati kepada keluarga besan, terutama kepada Kyai Ahmad dan istrinya.
"Pak Kyai, maafkanlah Athala putra saya. Biar nanti saya yang mengajarkannya agar menjadi seorang pemimpin rumah tangga yang baik"
"Pak Tanu, itu tidak perlu. Biarkanlah mereka belajar mengarungi kehidupan rumah tangga itu berdua, tanpa ada campur tangan dari orang lain, terutama kita sebagai orang tuanya."
"Tugas kita hanya mengawasi dan menasehati saja, tidak lebih." Panjang Kyai Ahmad memberi wejangan.
"Baik, Pak Kyai. Jika menurut Pak Kyai seperti itu, kami berdua hanya akan mengawasi saja mereka."
Rangkaian proses acara akad nikah akhirnya selesai. Acara selanjutnya adalah resepsi yang akan diselenggarakan sore nanti hingga petang.
***