Athala memaksa agar pernikahannya tetap dilaksanakan. Meskipun ia tidak mendapatakan respon atas pesan yang dikirmkan ke nomor telepon Nadira --calon mempelai wanitanya-- semenjak malam hingga pagi hari ini, namun Athala tetap tidak peduli.
"Apakah kamu yakin, Athala, dengan keputusan kamu ini?" tanya Nyonya Laras dengan raut wajah khawatir.
"Ya, Bu. Aku yakin." Athala menjawab dengan tegas. Saat ini ia sedang berada di dalam kamar pengantinnya di sebuah hotel berbintang nan mewah, tengah memakai pakaian pengantin khas akad.
Para keluarga besar telah berkumpul di dalam aula tempat akan diselenggarakannya akad nikah. Para tamu undangan juga sebagian besar telah hadir dan memenuhi aula.
Pengantin pria telah bersiap di dalam kamar, meski hatinya berdegup kencang, namun ia memaksakan diri untuk memasang wajah biasa saja. Nyonya Laras sendiri telah kembali ke aula, untuk menemui suaminya --Pak Tanu-- yang sedang menemani para keluarga besar dan tamu undangan.
"Assalamu'alaikum!" sapa seorang wanita paruh baya mendekati sepuh, dengan jilbab menutup kepala, nampak cantik dengan penampilan serta dandanan alami, meski usianya yang sudah tidak muda lagi.
"Wa'alaikumsalam warahmatullah!" balas nyonya Laras menyapa si wanita tadi.
"Ibu Nyai? Pak Kyai!" seru Nyonya Laras demi melihat kedatangan tamu yang tak ia sangka akan datang.
Pak Tanu yang mendengar seruan kaget dari sang istri, menengok mencari arah sumber suara. Dan ternyata, ia pun kaget saat melihat sosok yang hadir di tengah-tengah aula itu.
"Yah, Pak Kyai dan Bu Nyai!" seru Nyonya Laras kepada suaminya.
"Kyai Ahmad dan Bu Nyai, apa kabar?" tanya Pak Tanu yang nampak antusias, mengulurkan tangannya untuk menyalami Pak Kyai, seorang pria tua dengan penampilan yang terlihat berwibawa dan bijaksana.
"Alhamdulillah baik, Pak Tanu, Ibu Laras," jawab Kyai Ahmad dengan senyum berkharismanya.
"Alhamdulillah. Silakan, silakan duduk di sini, Pak Kyai!" seru Pak Tanu kepada tamu yang sepertinya ia hormati itu.
"Terimakasih. Apakah saya datang terlambat? Acaranya belum dimulai 'kan?" tanya Kyai Ahmad dengan masih tersenyum sembari mendudukkan tubuhnya di kursi khusus undangan.
"Oh belum, Pak Kyai. Acaranya belum dimulai," sahut Nyonya Laras.
Rombongan tamu kehormatan keluarga Mahendra itu telah menduduki tempat yang telah disediakan. Total rombongan itu ada enam orang, dengan empat diantaranya sepasang suami-istri dengan anak balita, dan juga seorang wanita cantik yang masih terlihat muda dengan pakaian gamis berwarna biru muda dan jilbab lebarnya yang berwarna pink.
Hingga setengah jam berlalu sejak kedatangan Pak Kyai dan rombongan, acara pernikahan Athala yang seharusnya sudah digelar, namun hingga kini masih belum ada tanda-tanda akan dimulai.
Kasak kusuk dan bisikan dari para tamu sudah mulai memenuhi ruangan aula. Pak Tanu dan Nyonya Laras mulai menampakkan wajah pucat. Hal yang sama juga dirasakan oleh para keluarga besar Mahendra lain, yang mengetahui cerita semuanya.
"Ini bagaimana, Mas?" tanya Erika --adik Pak Tanu, tante Athala-- berbisik di dekat telinga kakaknya.
"Kamu sudah menemui Athala?" bisik Pak Tanu kepada istrinya.
"Sudah, ia masih bersikukuh dengan keputusannya tadi, Yah!"
"Kamu temui dia, Erika! Beritahu Athala jangan membuang-buang waktu dan membuat kita di sini menunggu terlalu lama. Tunjukkan rasa tanggung jawabnya atas keputusan yang sudah ia buat." Pak Tanu sangat hapal, putra sulungnya itu sangat dekat dengan sang adik --Erika-- maka dari itu, ia menyuruh adiknya untuk membujuk Athala untuk turun.
"Baik, Mas!" jawab Erika dan dengan segera menuju ke kamar pengantin tempat Athala berada.
Tidak sampai sepuluh menit, Erika kembali dengan wajah yang nampak pucat.
"Ada apa?" tanya pak Tanu.
"Athala tidak mau turun. Dia sudah mendapatkan balasan dari Nadira. Gadis itu mengirimkan sebuah poto, jika saat ini ia sedang bersama dengan mantannya di suatu tempat. Athala nampak shock, ia tidak terima jika ternyata harapannya telah pupus."
Pak Tanu dan Nyonya Laras terdiam. Raut kebingungan nampak di wajah keduanya. Bahkan nyonya Laras semakin pucat karena melihat para tamu banyak yang telah hadir. Dan aula pun sudah terlihat penuh dengan orang-orang yang sudah bersiap menyaksikan acara pernikahan putranya itu.
Ditengah kebingungan para keluarga yang memiliki hajat, tiba-tiba terdengar suara dari seseorang.
"Kalau boleh tahu, ini ada apa yah, Pak Tanu dan Bu Laras?" tanya orang itu.
***
"Athala, kamu disuruh turun oleh ayahmu sekarang!" seru Erika yang kembali menemui Athala di kamarnya.
Untung saja kamar yang di-booking untuk kamar pengantin dan beberapa saudara jauh, tidak berada di lantai paling atas, sehingga tidak membuat Erika, yang sedari tadi bolak-balik aula dan kamar merasa kepacean.
"Maafkan aku, Tante. Aku memang bodoh. Seharusnya sedari awal, aku sudah membatalkan pernikahan ini. Seharusnya aku sudah menyadari jika tidak mungkin gadis itu kembali kepadaku. Aku memang bodoh." Ada isak tangis dan penyesalan dari suara itu.
"Aku sangat merasa bersalah kepada ayah dan ibu. Aku malu untuk menemui mereka, Tante!" ucap Athala dengan linangan air mata dan mimik memohon.
"Tante tidak mau tahu dan tidak mau dengar ucapan kamu sekarang, Athala. Kamu sudah terlalu lama di sini dan membuat orang-orang di bawah sana menunggu. Sekarang kamu ke bawah sekarang, karena ayah dan ibumu sudah menyiapkan mempelai wanita, menggantikan Nadira untuk kamu nikahi."
"Apa! Apa ayah dan ibu sudah tidak waras? Aku tidak mau!" teriak Athala terkaget, mendengar kalimat yang keluar dari mulut tantenya.
"Jika kamu tidak mau, maka jangan harap kami masih mengakui kamu sebagai putra kami lagi, Athala!" balasan teriakan terdengar dari arah pintu penghubung antara kamar dan ruang tengah.
"Ayah!" lirih Athala. "Kenapa ayah tega berbuat seperti ini padaku?" tanyanya mulai menguasai diri.
"Tega katamu? Siapa yang mempunyai ide agar pernikahan ini tetap dilaksanakan? Dan siapa juga di sini yang menjadi sosok pengecut karena tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatan anehnya? Siapa?" tanya pak Tanu dengan ucapan tegasnya. Ia menatap Athala dengan sangat tajam.
"Baiklah, Athala minta maaf, Athala salah. Tapi tidak harus dengan cara seperti ini, Yah. Bagaimana mungkin aku menikahi seorang wanita yang tidak aku cintai bahkan tidak aku kenal!" ucap Athala pelan.
"Sudah terlambat Athala. Permintaan maaf kamu sudah tidak berlaku saat ini. Keputusan kamu semalam telah membuat situasi ini semakin runyam. Jika saja kamu tidak memiliki ide aneh ini, keluarga kita tidak akan menanggung perasaan malu yang lebih berat seperti sekarang."
"Aku tahu. Tapi, Yah?" Athala masih memohon.
"Sudahlah, Athala. Semalam kamu memiliki keputusan, sekarang pun kami berdua --Ayah dan Ibumu-- memiliki hak untuk memutuskan. Jika kamu masih ingin kami anggap anggota keluarga Mahendra, maka turunlah sekarang dan menikahlah dengan wanita pilihan ayah dan ibu demi menjaga perasaan malu dari pandangan para tamu undangan akibat keputusan yang kamu ambil semalam. Tapi, jika kamu tidak mau, kamu tahu konsekuensinya." Pak Tanu meninggalkan Athala yang masih terdiam. Ia tidak menyangka ayah dan ibunya memaksa ia agar menikah dengan wanita yang tidak ia cintai.
Meski ini juga kesalahannya namun tetap saja, ia tidak setuju dengan keputusan sepihak kedua orangtuanya itu.
"Tante? Athala harus bagaimana?" Athala menatap sang tante. Ia berharap ada angin segar atas keputusan yang diberikan oleh ayahnya tadi.
"Ikuti permintaan kedua orang tuamu, Athala. Karena Tante yakin, tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya ke dalam jurang kehancuran, apalagi ini perihal pernikahan. Pernikahan bukanlah peristiwa main-main, kamu tahu itu."
"Wush!"
Hilang sudah angin segar yang Athala harapkan akan keluar dari mulut manis tante kesayangannya itu.
Athala kini merasa berada di ujung tebing bebatu. Keduanya sama tak enak untuk ia pilih.
***