Brasta menatap pemandangan sekitar. Ya, ia tahu benar. Ia sudah tidak berada di dalam rumahnya. Melainkan sudah berpindah ke dimensi lain. Ke alam tempat Kenanga tinggal. Ternyata Kenanga tidak hanya ingin bercerita, melainkan juga ingin menunjukkan cerita itu pada Brasta. Peristiwa yang ingin diceritakan oleh Kenanga terulang kembali, seolah - olah Brasta ikut merasakannya.
Brasta tahu, ini adalah gunung Lembu. Gunung yang sebulan lalu ia daki. Gunung tempat Kenanga tinggal.
Kenanga memang sudah ingin berkomunikasi dengannya sejak ia masih di basecamp hingga sampai ke puncak, dan turun lagi ke basecamp. Tapi Brasta memilih untuk tidak menanggapi. Mengingat Brasta punya pengalaman buruk ketika berkomunikasi dengan penghuni gunung. Maka lebih baik ia cari aman saha.
Ternyata Kenanga masih terus mengikutinya sampai rumah. Bahkan sampai satu bulan pasca mendaki ke Lembu, Kenanga masih terus ikut.
Gunung Lembu yang kini ia pijak, terlihat mirip dengan gunung Lembu yang satu bulan lalu ia daki.
Bedanya gunung Lembu yang ini terlihat masih perawan, masih antah - berantah, belum terjangkau tangan manusia.
Maka sudah pasti bahwa Kenanga telah membawanya menjelajah waktu. Untuk mengalami kembali peristiwa yang ingin ia sampaikan pada Brasta.
Meski berada di gunung tanpa pakaian yang memadai -- Brasta hanya mengenakan kaos oblong dan sweat pants warna abu -- namun Brasta tidak merasakan dingin sama sekali. Padahal biasanya sudah pakai jaket tebal pun masih terasa dingin tiap kali ia mendaki gunung.
"Ini tahun berapa, Kenanga?" tanya Brasta kemudian.
Kenanga tersenyum. Ia senang karena Brasta langsung memahami situasi. Ia tahu telah dibawa ke masa lalu. "Tahun 1981," jawabnya.
Tahun 1981. Benar - benar sudah lama. "Wah ... orang tuaku bahkan masih kecil saat itu," jawab Brasta.
"Ya, berarti seandainya aku masih hidup, saat ini mungkin aku sudah punya cucu. Karena kamu bahkan sudah sebesar ini. Sudah pantas untuk menikah."
Brasta hanya tersenyum menanggapi ucapan Kenanga. Meski ia kurang begitu setuju. Karena ia masih berusia 23 tahun. Menganggap dirinya masih terlalu muda untuk menikah. Bahkan beluk kepikiran untuk melakukannya.
"Apa yang terjadi saat itu?" tanya Brasta akhirnya.
Kenanga nampak begitu sedih. Agaknya peristiwa yang akan diceritakan itu memang meninggalkan bekas luka yang begitu besar.
Kenanga tidak kunjung menjawab, namun jari telunjuknya menunjuk ke satu arah.
Brasta mengikuti arah yang ditunjuk oleh Kenanga. Ia menunjuk ke arah bawah -- arah basecamp gunung Lembu.
Brasta pun dibawa seolah - olah mengalami apa yang diceritakan oleh Kenanga.
***
Ada 7 orang pendaki yang baru saja sampai di basecamp gunung Lembu. Mereka mengenakan pakaian mendaki yang lengkap. Pakaian mendaki zaman dulu yang sudah tidak lagi dipakai saat ini.
Kelompok itu terdiri dari tiga orang perempuan, dan empat laki - laki. Semuanya nampak ceria. Termasuk satu wanita yang Brasta kenal. Ia lah ... Kenanga.
Perjalanan mereka berjalan ceria seakan tanpa beban. Namun ketika sampai di atas, ketika track pendakian semakin curam, mereka mulai kelelahan. Ada yang ingin istirahat membangun tenda, namun sebagian cukup egois karena merasa masih kuat.
Akhirnya tim terbagi menjadi dua kelompok. Masing - masing dipilih satu ketua kelompok. Kelompok yang duluan dipimpin oleh Seno. Sementara kelompok yang istirahat dipimpin oleh Adi.
Kenanga berada dalam kelompok yang istirahat. Bersama satu orang teman wanitanya, Rasti. Juga dua teman laki - laki yaitu Indro dan Adi itu sendiri.
Merasa lelah mereka sudah hilang, mereka pun melanjutkan perjalanan. Sejujurnya Kenanga merasa masih begitu lelah. Tapi ia merasa tak enak untuk berterus - terang. Kasihan jika teman - temannya melewatkan sunrise jika mereka kesiangan sampai di puncak.
Kini mereka sudah sampai di pos terakhir. Kurang sedikit lagi untuk bisa melakukan summit attack, atau naik menuju ke puncak gunung Lembu.
Namun ternyata Kenanga sudah tak dapat lagi menahan rasa lelahnya. Ia benar - benar telah merasa menjadi beban bagi teman - temannya. Seharusnya sebelum berangkat ia benar - benar menyiapkan fisik sebaik mungkin. Seharusnya.
"Udah, kalian duluan aja. Kenanga sepertinya udah nggak bisa lagi sampai puncak. Aku temenin dia di sini, nunggu kalian balik dari puncak, sembari istirahat." Adi dengan sikap penuh tanggung jawabnya sebagai pemimpin, mengatakan hal itu pada teman - temannya.
"Lho, Mas Adi ... sayang lho, bentar lagi udah sampai puncak." Rasti menjawab. "Kita istirahat dulu aja lah bentar, terus lanjut lagi. Kenanga juga pasti pengin banget sampai puncak, kan?"
"Iya, Mas Adi. Aku setuju sama Rasti." Indro menguatkan pendapat Rasti.
Adi pun dengan penuh wibawa menjawab. "Jangan terlalu memaksakan diri, itu nggak baik. Tujuan utama kita ketika mendaki gunung, adalah kembali ke rumah dengan selamat, menuju keluarga kita yang sudah menunggu. Puncak itu hanya bonus. Kenanga bisa lanjut kalau memang kuat. Tapi aku rasa, dia sudah sampai di puncak kekuatannya."
Kenanga hanya bisa menunduk. Ia benar - benar kecewa. Kecewa karena telah menjadi beban, kecewa karena tak bisa melihat puncak, juga kecewa karena kondisi tubuhnya yang lemah.
Tapi ia tidak mau menjadi egois dengan memaksakan kehendak ingin sampai puncak, yang pastinya akan semakin menjadi beban bagi teman - temannya.
Adi benar ... ia memang harus berhenti sampai di sini saja.
Kecewa pasti ada, tapi ini lah pilihan terbaik demi keselamatan bersama. Demi bisa bertemu dengan keluarganya lagi.
Indro dan Rasti pun segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak.
Sementara Adi dan Kenanga menunggu di sana, melepas kepergian yang lain menuju ke puncak.
***
Kenanga berhenti bercerita dan menunjukkan apa yang terjadi pada Brasta.
Brasta kini ingat. Ia pernah beberapa kali mendengar tentang seorang pendaki wanita yang hilang di gunung Lembu pada tahun 1981. Itu lah dia orangnya. Kenanga.
"Astaga ... ternyata kamu adalah Kenanga yang itu."
Kenanga hanya mengangguk. Wajahnya nampak begitu sedih.
"Cerita hilangnya kamu menjadi penyelamat bagi para pendaki baru. Kamu telah membantu banyak orang lolos dari maut, Kenanga." Brasta coba membesarkan hati Kenanga. Supaya ia tidak sedih lagi.
Tapi Kenanga masih nampak menyimpan kesedihan yang mendalam.
"Kamu kenapa, sih? Apakah ada cerita lagi yang ingin kamu sampaikan? Ceritanya belum selesai?" Brasta coba menjadi pendengar yang baik.
Kenanga pun mengangguk. "Cerita yang sampai pada telinga orang - orang ... itu bukan lah cerita yang sebenarnya." Kenanga perlahan bercerita. Raut wajahnya semakin terlihat sedih. Betapa menyakitkan segala kejadian yang menimpanya di masa lalu itu.
Brasta pun mengernyit. Apa maksudnya itu? Sepengetahuan Brasta, cerita tentang Kenanga adalah, wanita itu mengalami hipotermia ketika menunggu teman - temannya yang masih berada di puncak. Ia ditemani oleh pemimpin kelompoknya yaitu Adi.
Adi yang panik, kemudian mencoba mencari pertolongan. Tapi ketika ia kembali, Kenanga sudah tidak ada. Kenanga hilang.
Tim SAR sudah dikerahkan untuk mencarinya selama berminggu - minggu. Tapi hasilnya nihil. Kenanga dinyatakan sudah meninggal tanpa jasat. Sehingga tempat terakhir keberadaannya, dijadikan sebagai makamnya. Di sana dipasang batu nisan atas nama Kenanga.
Semenjak ada kejadian itu, para pendaki menjadi lebih mempersiapkan diri sebelum menanjak. Akhirnya banyak yang terhindar dari kejadian serupa.
Tapi kata Kenanga ... itu bukan cerita yang sebenarnya?
"Lalu gimana cerita sebenarnya Kenanga?" Brasta pun segera bertanya.
Kenanga terlihat masih begitu bersedih. Ia pun mulai bercerita, dan kembali menunjukkan kejadiannya pada Brasta.
Kejadian yang terpampang nyata di mata Brasta. Seolah - olah ia mengalami juga apa yang sedang terjadi saat itu.
***