Suara derap langkah kaki membuat telinga Eden bergerak-gerak karena menurutnya mereka sangat gaduh. Ia pun membuka kedua matanya dengan cepat, sesekali mendesah karena hal pertama yang dilihat selalu gambar rubah merah jelek di langit kamar.
Eden memilih bangun, tersentak melihat beberapa bayangan siluman yang tengah lari-lari seperti mengejar sesuatu. Instingnya sebagai pemburu siluman pun keluar. Ia berganti pakaian dengan cepat, dan tak lupa menutupi sebagian wajahnya dengan kain.
Lantas yang dilakukan setelah itu adalah berjalan mengendap-endap keluar kamar, persisi seperti pencuri. Dari jauh, Eden melihat beberapa siluman menggiring beberapa pria tampan. Tak ingin ketinggalan informasi, ia mengekor mereka dari jauh. Semakin langkahnya berjalan, semakin jauh pula ia masuk ke dalam lorong-lorong yang sangat gelap.
Tiba-tiba, semua obor menyala. Eden tersentak kaget, dan bersembunyi di balik tembok. “Huh! Aku hampir saja ketahuan.” Bagaimana tidak? Ketika obor menyala, para pengawal itu menoleh kebelakang. Untung saja ia reflek segera bersembunyi.
“Kenapa kita harus membawa semua siluman tampan itu kemari?” keluh kesah dari siluman berkepala macan.
“Mereka kandidat selir, jadi ratu ingin melihatnya.” Mereka pun bergegas menggiring pria tampan itu masuk ke dalam ruangan.
“Selir! Seorang ratu, ingin memiliki selir pria!” gumam Eden tak percaya. Ia kesal karena keluar kamar sampai jauh hanya mendapatkan informasi yang tak ada artinya. “Sial!” umpatnya dengan keras sambil melempar penutup wajahnya begitu saja ke tanah.
“Kenapa kau melempar ini benda ini?” tanya seorang yang membuat Eden mendongak mencari keberadaan suara itu. Mata mereka bertemu, mata biru safir dengan mata merah seperti Phoenix.
Eden tertegun sejenak, tapi juga merasakan hawa kuat mendominasi di sekitar tubuh sosok yang ada dihadapannya. Dia bukanlah siluman biasa, dengan segala kemewahan elegan yang dimiliki. Pria itu tak terpesona sama sekali, hanya ada sedikit rasa takut yang mendera.
“Ini, simpan benda ini baik-baik.” Secepat kilat wanita itu mendekati Eden, tanpa jarak diantara mereka. Dia terlihat tegang. Hal itu sukses membuat wanita tersebut senang mendapatkan sesuatu yang diinginkan. “Kenapa kau tak masuk ke ruangan itu?” tunjuknya dengan lembut.
Bibir merah stroberi itu sangat merekah. Een menelan ludahnya dengan susah payah. Karena berhadapan dengan monster yang tak terjangkau. Nyalinya seakan menciut sebab perbedaan kekuatan.
“Kau sangat lemah, sampai aku tak bisa mendengar nafas magis mu.” Tangan lentik itu mengelus wajah Eden dengan lembut. Sekali lagi, bukan terangsang karena kepiawaian sentuhan dingin, melainkan rasa tak aman yang dirasakan.
“Masuklah..., ikut denganku.” Dengan lancang wanita itu meraih jemarinya, dan sialnya Eden menuruti memilih mengekor tanpa paksaan.
‘Apa-apaan ini, aku seperti terhipnotis,’ batinnya ingin lari.
Ketika wanita itu berjalan, semua siluman berkepala hewan sujud hormat. Tidak hanya itu, para pria yang merupakan kandidat selir juga menunjukkan rasa hormat mereka. Ada yang berdecih ketika seseorang yang diharapkan mampu menyaingi mereka.
Dan di sini Eden terlihat acuh, sebab bukan salahnya berada di ruangan itu. Wanita itu terus menuntun Eden menuju barisan depan. Tak lupa sebelum duduk di kursi, ia mengelus sayang wajahnya. Oh s**t! Semua pria yang ada di ruangan itu menatapnya dnegan banyak ekspresi.
“Jadi, kalian yang terpilih.” Wanita itu mengibaskan jubahnya-mengeluarkan ekor merah berjumlah delapan. Semua pria menunduk, tapi tidak dnegan Eden yang tak mengerti dengan situasi saat ini.
“Kenapa kau tak menunduk?” tanya seseorang yang berada di sampingnya.
“Maksudnya? Kenapa aku harus menunduk?”
“Beliau ratu kita, Ratu Irene.”
Mata Eden berkedip-kedip lucu, benar-benar nol dengan situasi yang dihadapi. Ratu Irene, siapa? Dia? Wanita yang duduk di depannya dnegan gaya elegan angkuh luar biasa. Hal itu terus di amati oleh Irene yang merasa akan mendapatkan hal menyenangkan.
‘Dia terlalu polos. Aku suka tipe polos seperti dia,’ batinnya menyeringai.
“Angkat kepala kalian.” Irene terus memandangi Eden yang terlihat bingung. Mata mereka pun bertemu, dan dia lebih memilih membuang muka ke arah lain.
“Kalian akan tidur di satu ruangan. Dan jangan lupa, saling mengenal dirilah satu sama lain.” Irene bangun dari kursi kebesarannya, berjalan mendekati Eden yang masih mencerna situasi. Sumpah, ia memang benar-benar tak ada pengalaman mengurusi wanita. Dan ia adalah jomblo abadi.
“Jadi, nikmati harimu. Aku akan mengawasi mu.” Irene mencolek dagu Eden, dan berlalu begitu saja. Semua pria yang berstatus menjadi kandidat selir menatap tajam kepadanya karena merasa iri.
“Kau sangat beruntung bisa dikenal oleh yang mulia.”
“Aku! Beruntung....?” tunjuk dirinya sendiri. Yang ada buntung karena aku terjebak di sini, tambahnya di dalam hati.
“Kita semua di sini berlomba untuk mendapatkan hati sang ratu.” Salah satu pria memakai pakaian serba merah muda datang mendekat ke arahnya.
Eden berpikir sejenak, memikirkan semuanya dengan teliti. Jika ia menjadi kandidat selir, tentu akan mudah mendekati wanita yang bernama Irene itu. Dan juga, ia harus mencari Gilbert yang sedang disekap.
‘Tidak buruk jika aku menjadi selir. Lagi pula aku tak akan tertarik dengan wanita itu. anggap saja sedang memainkan opera.’
Eden memutuskan untuk mencari informasi sambil memerankan peran sebagai kandidat selir. Untuk Irene, wanita itu tak mungkin tertarik padanya karena ia sangat lemah dan lusuh dibandingkan dengan kandidat lainnya.
“Hei,” panggil seseorang sambil menyenggol bahu Eden. Ia tersentak kaget, membuat pria itu terkekeh dnegan ekspresinya. “Maafkan aku. Emmm apakah aku boleh jujur padamu?”
Dahi Eden berkerut menatap pria berpakaian serba pink itu dengan pandang sulit diartikan. Dia tersenyum cerah, layaknya seorang gadis, dan ia tak suka itu. “Katakan.”
“Ku harus berhati-hati, karena kau sangat lemah dibandingkan dengan yang lain.” Si pria berpakaian kuning itu menepuk pelan bahunya, dan beranjak pergi begitu saja.
Para kandidat selir pun terlihat kasak-kusuk satu sama lain seakan mengejek Eden yang sangat lemah di bandingkan dengan yang lain. ‘Sial! Ini namanya diskriminasi.’ Teriaknya frustasi.
Eden merasa berada di piramida bagian bawah yang harus merangkak menuju ke puncak. Pandangan mereka yang sangat meremehkan membuat pria itu terhina. Bagaimana bisa terjadi, padahal ia pemburu siluman berkuasa. Dan sekarang, ia menjadi siluman lemah tanpa daya dan upaya.
Ia kesal, lantas pergi menjauh meninggalkan aula yang terus mengintimidasinya. “f**k!” umpat Eden cukup keras. tak lupa ia mengusap rambutnya dengan kasar. Lebih baik dirinya tidur, untuk merilekskan tubuh agar kembali fit. Namun ketika hendak melangkahkan kakinya keluar ruangan, para pengawal menghadangnya dengan cepat.
“Semua kandidat tak boleh keluar begitu saja.”
Eden menghela nafas dengan kasar, merasa tak berdaya dan kembali dengan gontai menuju ke aula lagi. Sayangnya, semua orang yang ada di sana sudah tak ada. “Lupakan... aku bisa tidur di manapun.”
Kasur empuk, ranjang lumayan bagus tak bisa ditempati malam ini. Eden tak punya pilihan lagi, selain menerima takdir terjebak dalam peran yang tak menguntungkannya sama sekali.
Bersambung