'Perhatian.... waktu istirahat telah tiba. Jangan lupa untuk mencuci tangan sebelum makan dan berdo'a sesuai keyakinan masing-masing.'
Bunyi pengeras suara dengan menggunakan bahasa indonesia, inggris kemudian korea. Begitulah bunyi tanda istirahat di SMA Unggulan. Berikut pula saat masuk nanti.
Setelah mendengar itu guru langsung mengakhiri pelajaran dan membiarkan para siswa keluar kelas. Kesempatan itu langsung digunakan Tiara untuk kabur. Ia segera mengajak Rani keluar kelas. Dan tanpa sengaja ia melihat Adam menatapnya tajam.
"Hiiii..., menakutkan tuh cowok," ucap Tiara setelah duduk di kantin sekolah.
"Siapa ? Si Adam?" tanya Rani.
Tiara mengangguk sambil mengunyah roti yang dibelinya barusan.
"Iyalah... menakutkan. Takut cinta gue di tolak," ucap Rani sambil menaik turunkan alisnya.
"Lebay lu."
Rani cekikikan. Ia juga memakan roti yang sama dengan Tiara. Tak lama setelahnya, Dika dan Toni bergabung dengan mereka.
"Rese tuh anak baru, ngapain juga duduk di dekat Tiara," sungut Dika kesal.
"Idiiiiihhhhh, ada yang kebakaran nih ye..." ucap Rani. Dika melempari Rani dengan sedotan.
"Emang dimana ada kebakaran ?" tanya Tiara kebingungan.
"Pala lu," sahut Rani ngakak.
"Nah, ini nih yang bikin gue penasaran. Jangan-jangan lu dapet juara satu sekolah karena nyontek kali ya Ra. Gak peka banget kalu ngobrol," ucap Toni.
"Lu ngatain cewek gue?" Dika mulai emosi.
"Sabar mas bro, lu sarapan apa sih pagi tadi. Jangan-jangan bensin lu minum. Gampang banget nyolotnya," ucap Toni sambil mengelus-elus puncak kepala Dika.
Melihat itu, Rani dan Tiara kompak tertawa.
Di tempat lain di belakang sekolah. Adam duduk di bawah pohon yang rindang. Beberapa cewek yang melintas menatapnya dan berbisik satu sama lain. Ia sama sekali tak peduli. Fokus pikirannya menikmati semilirnya angin yang sejuk menerpa tubuhnya.
Ting. Tong.
Bunyi line memecah perhatiannya. Di raihnya benda tipis itu. Dan memeriksa siapa pengirimnya. Samuel, batinnya. Emang siapa lagi di kontak line-nya hanya ada dia.
Samuel :
Ingat, jangan lupa sarapan. Itu masakan ibumu.
Mendengar kata 'Ibumu' rasanya ada perih yang terasa di hatinya. Perasaan itu segera ia tepis. Ia paling benci jika harus larut dalam kesedihan. Kemudian tangannya sibuk mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya. Isinya kentang goreng dengan parutan keju dan mayonaise. Ya, itu makanan kesukaannya. Dimakannya dengan pelan sambil menikmati pemandangan di hadapannya. Sekolah barunya itu memang lebih megah. Bangunannya mengusung tema sekolah modern. Berbagai fasilitas penunjang bakat tersedia di sana. Rasanya tak salah jika ia memilih pindah kesini ketimbang sekolahnya yang dulu. Di sini lebih banyak pepohonan rindang. Seolah kemodernan dan alam menyatu. Adam menoleh ke pepohonan di sampingnya yang rimbun. Ia yakin telinganya menangkap suara cicit anak burung dan induknya. Ia tak mengerti kenapa telinganya bisa setajam ini.
Setelah menghabiskan bekal makanannya. Diraihnya botol yang biasanya berisi air minumnya. Penutupnya ia buka kemudian ia teguk.
Huk. Huk. Huk.
"Air apa ini, rasanya anyir," icapnya pada diri sendiri. Di tengoknya cairan aneh melalui corong kecil botolnya. Warnanya merah menyerupai jus tomat. Ia berpikir mengingat rasanya persis darah. Adam segera mencium aromanya. Dan benar baunya amis darah. Reflek ia muntah-muntah. Bau darah dan anyir seakan melekat di indera penciuman dan perasanya.
"Paman sudah gila," rutuknya. Di kembalikannya lagi botol itu ke dalam tasn. Ia harus ke kantin membeli sebotol air sebelum tanda masuk kembali berbunyi.
Dengan langkah tenang ia menuju kantin. Sayang, ia masih baru. Agak bingung juga kemana ia harus pergi. Beruntung ada sekumpulan siswa yang membahas makanan apa yang akan mereka beli di kantin. Adam langsung mengikuti mereka dari jauh. Sehingga tak lama sampailah ia di tempat paling berisik dengan bau aneka makanan yang bercampur ria di indera penciumannya.
"Bu, air botol satu," ucapnya pada penjaga kantin. Setelah menyerahkan uang dan menerima kembaliannya. Adam langsung meneguknya tanpa peduli bahwa saat itu seluruh mata tertuju padanya. Jakunnya bergerak naik turun saat air melewati tenggorokannya. Rasa dingin itu begitu nikmat terasa. Hingga sisa air di botolnya tinggal seperempat.
"Oppa..., sini...." rengek Rani sambil menggenggam kedua tangannya di depan d**a. Matanya tak lepas dari memandang Adam.
"Ishhhh." Tiara menunjukkan rasa tak sukanya meski sebenarnya ia juga melihat ke arah Adam.
Tidak hanya Rani dan Tiara yang terpaku pada wujud Adam. Seluruh siswi maupun siswa seperti terhipnotis akan keberadaannya. Bahkan kegiatan yang mereka lakukan sebelum ada Adam terhenti sejenak. Yang sedang memasang kecap di mangkok baksonya, saat Adam datang ia lupa hingga kecap memenuhi isi mangkoknya. Ada juga yang niatnya mau memasang garam malah memasang cabe. Ada juga yang tadinya berjalan malah jatuh ke selokan dekat kantin. Bermacam kejadian terjadi hanya karna kehadiran Adam.
Adam tak merasa akan semua kejadian tersebut. Setelah minum ia langsung kembali ke kelasnya.
"Hah, kenapa bakso gue jadi berisi kecap semua," teriak seseorang. Mendengar itu yang lain tertawa.
"Woi..., tolonginnnn.... gue jatuh keselokan," teriakan itu membuat mereka berdiri dan melongo ke arah selokan. Di sana berdiri seorang pemuda yang bajunya telah belepotan kotoran selokan.
"Ya ampun... kenapa elu masuk ke situ sob," teriak temannya.
"Gara-gara murid baru noh," ucapnya kesal. Meledaklah suara tawa memenuhi isi kantin.
***
"Waktunya pulang telah tiba. Kepada seluruh siswa diharap langsung pulang ke rumah. Ikutilah rambu lalu lintas dan ikutilah aturan dalam berkendara. Selamat sore..."
Terdengar suara riuh di seluruh sekolah. Para siswa kegirangan akhirnya mereka bisa pulang. Begitu juga dengan kelas Adam. Guru yang tadi mengajar telah meninggalkan ruangan.
"Ayok Tiara," ajak Rani.
"Tunggu, dia masih ada urusan ma gue," cegah Adam. Rani mengernyit dan memandang Tiara penuh tanda tanya.
"Gue gak mau. Gue mau pulang," sahut Tiara. Ia keluar dari mejanya hendak keluar kelas. Tetapi Adam langsung menghadangnya.
"Ya sudah di sini saja," ucap Adam. Ia segera membuka kancing bajunya.
"Hah, lu mau ngapain Dam!!!" pekik Rani.
Adam tak menjawabnya. Ia memberikan bajunya kepada cewek cantik di hadapannya. Sementara ia hanya memakai kaus polos berwarna putih.
"Lu harus ganti seragam gue," bentak Adam ke Tiara.
"Yaudah gue cuciin." Tiara merengut mengambil seragam Adam. Wangi maskulin langsung tercium olehnya
"Gak. Lu harus beliin. Ntar malem anterin ke rumah," ancamnya.
Adam berbalik dan melangkah pulang. Tiara melongo.
"Oiiii alamat rumah lu di mana!!" Teriak Rani.
"Di kertas," jawabnya singkat.
Rani tak mengerti ucapannya. Namun ia melihat secarik kertas di meja. Ia meraihnya dan menemukan alamat Adam di sana.
"Asiiikkk. Gue dapet alamat rumahnya," teriak Rani berjingkat-jingkat.
"Seneng lu ya di atas penderitaan gue," ucap Tiara lemas.
"Kan cuma seragam, elu mampu beli lah."
"Bukan itu, lihat merek seragamnya." Tunjuk Tiara pada logo di belakang baju putihnya.
Brian d' jandro.
"Whatt." Rani menutup mulutnya. Ia sangat terkejut. Merek itu sangat mahal. Karena pembuatnya adalah salah satu desainer ternama dunia. Tapi, Rani juga bingung karna baru kali ini ia tahu brand itu memproduksi seragam sekolah.
"Aduh Tiara. Maafin gue ya. Gue gak bisa bantu. Tabungan gue gak cukup beli itu seragam," rengek Rani.
Mendadak Tiara merasa sakit kepala.
***
Mobil pribadinya datang menjemput. Adam segera masuk. Pak Parmin hanya menolehnya sekilas. Sekedar memastikan tuan mudanya telah duduk di dalam mobil dengan nyaman.
"Gimana sekolah barunya tuan?" sapanya.
"Hmm," sahut Adam sekenanya. Ia menyenderkan punggungnya dengan malas.
Sopir pribadinya hanya melihatnya lewat spion di depan. Setelah melihat kondisi tuannya yang memejamkan mata. Ia memilih tidak bertanya lagi. Jalanan kota yang ramai memperlambat laju mobilnya sampai di rumah. Saat memasuki kawasan perumahan elit Adam membuka matanya. Hidungnya kembali mencium aroma lavender seperti biasa.
Ia menggeser duduknya ke tepi pintu. Kacanya pun ia buka. Sehingga dari tempat ia duduk bisa melihat ke beranda atas rumahnya. Di sanalah ia bisa melihat gadis berambut panjang tengah menatapnya.
Apakah itu ibu ?
Pertanyaan itu berulang ribuan kali di hatinya. Bayangan wanita itu menghilang setelah mobilnya memasuki pekarangan rumah. Adam turun seperti biasa. Kemudian memasuki rumahnya yang besar. Biasanya ia langsung ke kamarnya. Namun kali ini ia sedang ingin marah kepada seseorang.
BRAKKKK.
Adam melempar botol minumannya di depan pemuda yang tengah duduk santai membaca koran. Saking nyaringnya suara benda yang ia lempar. Dapat menarik perhatian seluruh penghuni rumah. Bahkan salah satu pemuda yang tadinya sibuk memasak, menghentikan kegiatannya sejenak dan mengintip di pintu dapur yang tak jauh dari ruang tamu. Dari tempat ia berdiri ia bisa melihat dua orang yang tengah saling bertatapan di sana.
"Paman sudah gila ya?" bentak Adam.
"Tidak sopan."Samuel mendelik.
"Oh, jadi paman sengaja ya. Ngisi botol Adam sama darah. Emang Adam apaan," ucap Adam kasar.
Pemuda di dapur segera melepas celemeknya dan bergegas ke ruang tamu.
"Aduh, maaf Dam. Itu punya kak Frans. Tadi subuh kak Frans salah ngisi air sama darah yang mau di bawa ke rumah sakit. Maaf ya," ucapnya.
Adam hanya memandangnya tak percaya.
"Konyol," ucapnya menatap pemuda itu yang hanya cengengesan mendengarnya.
Kemudian ia memilih naik ke kamarnya. Ia sudah cukup lelah dengan semua kekacauan yang terjadi. Ia sangat benci kecerobohan. Ia mau istirahat.
Ketika Adam telah menghilang di pintu kamarnya. Pemuda yang tak lain Frans memandang Samuel. Ia meminta penjelasan atas perbuatan Samuel mengisi botol minuman Adam dengan darah.
"Aku hanya penasaran," ucapnya.
Frans menghela napas. Seharusnya Samuel tidak buru-buru seperti ini. Kalaupun Adam tidak menunjukkan gejala apa-apa justru itu bagus.
"Aku mau ngantar makanan ke kamar nyonya," ucap Frans.
Samuel hanya mengangguk sementara matanya kembali tertuju ke koran yang di bacanya.