Satu

910 Kata
Langit baru saja cerah. Jalanan masih basah. Namun perasaan siswi berambut panjang masih berselimut mendung. Ia telat. Terbayang dibenaknya hukuman berdiri satu kaki di depan kelas. Tak bisa dilukiskan rasa malu yang harus ia tanggung jika ada anak kelas lain memergokinya tengah menjalani hukuman. Tapi sepertinya dewi Fortuna sedang berpihak kepadanya. Satpam sekolah sedang baik hati dan memberinya kesempatan masuk. "Jika besok telat, gak ada toleransi lagi ya Neng," tegurnya. "Tiara janji pak. Ini yang pertama dan terakhir. Sekali lagi, terima kasih atas bantuannya," ucapnya penuh rasa syukur. Tiara tak menyiakan kesempatan. Ia langsung berlari menuju kelasnya agar bisa tepat waktu. Karena terburu-buru konsentrasi dan fokusnya menjadi terbatas.. Dug. Crash. "Haaahhh." Tiara menutup mulut. Tanpa sengaja ia membentur seorang siswa. Entah bagaimana kronologisnya. Yang jelas ia melihat cowok berwajah tampan bermata biru yang kini menatapnya dengan tatapan dingin. Sebagian seragam putihnya kotor karena cipratan genangan air kotor. Tiara sempat melihat, ia menghindari genangan air menggunakan tangannya yang kokoh sebagai penyangga. Kemudian berguling ke samping. Sialnya, bolpennya terjatuh dalam genangan, sehingga cipratan air langsung mengenai seragam putihnya "Ma...maaf. Aku gak sengaja," ucap Tiara terbata-bata. Ia mengambil tisu dalam tasnya.dengan perasaan bersalah. Didekatinya siswa asing tersebut hendak membersihkan tanah yang menempel di seragamnya. Plak. "Au," ringis Tiara memegang tangannya yang ditepis cowok itu. Bukan meminta maaf, tanpa sepatah kata pun, ia malah meninggalkan Tiara. "Tega amat sih," sungutnya. Astaga. Tiara menepuk jidat, ia baru ingat kalau dirinya telat. Setengah berlari, ia berusaha menuju kelasnya yang terletak di belokan depan. Beruntung, Bu Arik yang biasanya selalu tepat waktu,  hari itu belum ada di dalam kelas. Syukurlah, batinnya. "Tumben lu telat Ra," tegur Rani, teman sebangkunya. "Tau nih. Gara-gara begadang semaleman. Nonton Drakor," jawab Tiara penuh sesal. "Parah lu," ucapnya sambil tertawa. "Ketawa lu. Puas heh!" Tiara mendelik. "Yey.... gitu aja marah," ucap Rani masih cekikikan. "Ba-te-we, tumben Bu Arik telat ?" tanya Tiara mengingat sudah lewat seperempat jam guru killer itu belum memasuki kelas. "Owh, itu, kabarnya Bu Arik sedang kedatangan murid baru. Jadi dia nemuin ortunya dulu di kantor," sela Dika, sang ketua kelas yang tak sengaja mendengar pertanyaan Tiara. "Oh." Tiara manggut-manggut. "Eh, tumben lu lebih kusut dari biasanya," sapa Siska. "Gue telat, gak sempat dandan rapi," jawab Tiara cemberut. "Emang kenapa, masih tetap cantik," ucap Dika sambil berusaha meraih dagu Tiara namun gagal. "Cielah, maunya. Megang-megang mulu ya yang mau jadian." sindir Toni teman sebangku Dika. "Apaan sih," ucap Tiara dengan wajah bersemu merah. Dika hanya cengengesan, ia segera duduk ke bangkunya diikuti siswa lain karena mereka mendengar deheman Bu Arik yang sangat mereka hapal luar kepala. Tak berselang lama, wanita paruh baya muncul di pintu sambil menaikkan kacamatanya. Tatapannya menyapu seluruh siswa yang hadir. Kemudian ia berjalan menuju mejanya. Seperti biasa, ia mengucapkan salam dan menyapa seluruh siswa di hadapannya. Namun kali ini ia tidak segera duduk setelah salam. Wanita paruh baya berambut pendek yang masih cantik itu merapikan kemejanya kemudian mempersilahkan seseorang masuk. "Syukurlah hari ini kelas kita kedatangan siswa baru. Semoga kalian bisa berteman dengan baik. Ia murid pindahan dari SMA Taruna. Jadi Ibu harap kalian cepat akrab dengannya ya. Jangan ada yang berisik, kalian boleh kenalan setelah pelajaran usai," ucap Bu Arik. "Baik Bu," jawab semua siswa serempak. Bu Arik tersenyum. Mengingat selama mengajar di kelas ini muridnya tidak bandel sebagaimana kelas lain. Ia menaikkan kembali kacamatanya, kemudian mempersilahkan seseorang memasuki kelas. Sesaat kelas menjadi hening sejenak. Sampai sosok baru yang mereka tunggu telah berdiri di hadapan mereka dengan tatapan datar. Mendadak kelas agak gaduh. Berbeda dengan Tiara yang kini tengah menutup mulutnya mengingat cowok itulah yang ia bentur tadi. "Ayo, perkenalkan dirimu," ucap Bu Arik. Kelas kembali hening. Menunggu suara cowok berbadan tegap di hadapan mereka. Ia memiliki postur yang bisa di katakan wah. Dengan tinggi di atas rata-rata dan wajah rupawan yang nyaris sempurna. Sejenak makhluk tampan di hadapan mereka mengingatkan pada aktor pemain drama korea. Ditambah lagi warna matanya yang berwarna biru. Memperjelas keadaan bahwa ia manusia unik yang paling berbeda di kelas Ipa 1a. Bahkan mungkin berbeda dari seluruh siswa di sekolah SMA Unggulan. "Gue Adam," ucapnya dengan suara berat yang terdengar seksi. Membuat para siswi menjerit dalam hati dan para siswa menjadi iri. Hening. "Baiklah nak Adam. Silahkan duduk di bangku kosong di belakang," ucap Bu Arik mempersilahkan murid barunya yang memperkenalkan dirinya hanya dengan satu kalimat saja. Ia hanya mengangguk kemudian berjalan di antara para siswa. Mata tajamnya mencari bangku kosong. Mendadak suasana jadi ramai. Bahkan terjadi aksi dorong mendorong antar teman sebangku untuk pindah. Dengan maksud dan tujuan mulia, supaya Adam bisa duduk di samping mereka. Tiara menutup wajahnya dengan buku tulis. Ia malu jika bertemu dengan cowok itu lagi. Namun sayangnya ia mendengar cowok itu berbicara kepada Rani dengan manis dan langsung diberi anggukan oleh gadis yang sudah dijadikan sahabat olehnya sejak SMP itu. "Bolehkah saya duduk di kursimu hari ini ?" tanyanya dengan seulas senyuman manis yang memabukkan siapa saja yang melihatnya. "I....iya." jawab Rani kegirangan. Penghianat, batin Tiara sambil mendelik ke arah Rani. Sial. Entah mengapa bagi Tiara senyuman itu jadi lebih kelihatan seperti seringaian serigala daripada sebuah senyuman. Ia berhenti mengintip dan menutup wajahnya kembali dengan buku pelajaran yang berdiri terbalik di tangannya. "Sepulang nanti lu harus nunggu gue," bisiknya dengan nada ancaman. Tiara bergidik mendengarnya. Benarkan, cowok tampan itu kenyataannya memang menakutkan, ucap Tiara dalam hati. Di tempat duduk lain Rahardika Sebastian menatap murid baru itu dengan mimik tak suka. Apalagi ketika ia duduk di samping cewek yang disukainya. Tanpa sadar Dika mengepalkan tinjunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN