Hari itu, ibukota distrik seratus satu sangat ramai, sebab turnamen yang selalu di tunggu-tunggu setiap dua tahun sekali akhirnya tiba.
Peserta dari segala penjuru kota di dalam distrik berdatangan dan memenuhi jalan-jalan, sedangkan para penyintas yang sedang melaksanakan misi pulang dengan cepat tak peduli apakah misi mereka selesai atau tidak.
Di luar dinding, terparkir banyak mobil penyintas yang baru saja pulang, mengantri untuk diperiksa agar bisa cepat-cepat masuk untuk beristirahat.
Agar bisa mengimbangi banyaknya penyintas yang kembali hari itu, disediakan hingga lima tim pemeriksa di depan gerbang.
"Selanjutnya." Yang memeriksa di tim dua adalah pria muda yang baru masuk ke distrik seratus satu beberapa bulan yang lalu. "Nama?" tanyanya begitu seseorang berdiri di depan mejanya.
"Yeona Thalassa."
Pria itu mengangguk dan langsung mencari nama yang disebutkan di komputer, namun menemukan nama itu telah diwarnai dengan warna merah. "Yeona Thalassa? Dua tahun lalu, penyintas itu tidak pernah kembali dari misi dan dinyatakan gugur."
"Tapi aku masih hidup."
Pria itu mendongak dengan mata menyipit. "Kalau begitu jangan menutup wajahmu." Sosok yang berdiri di hadapannya saat ini memang memakai jubah besar berwarna cream yang menutupi seluruh tubuhnya.
Yeona, melepaskan tudung jubahnya sesuai dengan permintaan pria itu dan memperlihatkan wajahnya. "Penampilanku saat ini mungkin akan terlihat jauh berbeda dari yang tercatat di data kependudukan," ujarnya pelan.
Saat Yeona melepaskan tudungnya, hampir semua mata secara instan mengarah padanya, namun yang dia lihat hanyalah petugas pemeriksaan yang mematung dengan mulut menganga.
"Tuan?"
"Ya?"
"Tolong lanjutkan pemeriksaannya."
"Oh, ya, benar." Pria itu berkedip beberapa kali untuk mengalihkan pandangannya dan menatap ke komputernya lagi. "Hum? Wajah kalian memang sama, tapi rambut, mata dan beberapa bagian lain sangat berbeda."
"Ya, memang. Tapi Yeona Thalassa adalah aku."
Pria itu menarik napas dan menatap gadis di hadapannya lagi, berusaha sekuat tenaganya untuk tetap berkonsentrasi. "Nona, bahkan jika dia adalah saudara kembarmu, kau tidak bisa mengambil identitasnya."
"Aku masih punya chipcard identitasku." Yeona mengeluarkan tangannya. "Ini seharusnya bisa menyelesaikan masalah."
Pria itu masih terlihat ragu, tapi tetap harus menscan pergelangan tangan gadis itu. Mengejutkannya, data Yeona Thalassa yang telah dinyatakan gugur benar-benar dipulihkan kembali.
Pria itu gagap. "Kau, benar-benar dia? bagaimana bisa?"
Banyak kasus penyintas hebat yang mati tiba-tiba di luar, tapi ini pertama kalinya orang yang dinyatakan meninggal dua tahun lalu nyatanya masih hidup dan kembali.
"Ya." Yeona memasang tudungnya kembali dan mengambil kartu yang keluar dari mesin. "Takdir." Dia kemudian berjalan menuju pos pemeriksaan virus.
Pria yang memeriksa identitas terus menatap punggung Yeona hingga seorang teman menepuk punggungnya. "Apa yang kau lihat?"
"Hah?"
"Kau sejak tadi menatap ke sana, apakah ada gadis cantik?"
Pria itu menoleh lagi ke arah Yeona pergi dan masih bisa melihat jubah coklatnya. "Tidak," jawabnya. "Dia biasa saja, aku bahkan tidak ingat lagi bagaimana wajahnya ... Next."
Ketika pria itu menatap ke arah komputernya yang masih menampilkan identitas Yeona, dia mengerutkan kening. "Huh? Apa-apaan ini? Apakah komputernya rusak? Kenapa menampilkan identitas seseorang secara acak?" Karena seingatnya, dia tidak pernah memeriksa orang dengan identitas ini.
***
Hari pertama turnamen akhirnya datang.
Untuk memastikan keselarasan kekuatan para peserta, penyelenggara turnamen membuat hingga tiga venue dalam turnamen. Semakin kecil angkanya, maka semakin tinggi level kekuatan peserta turnamen yang ada di sana.
Tapi sesuai ciri khas distrik seratus satu, tidak ada peraturan yang mengikat dalam turnamen ini,
Pembagian peserta yang masuk venue pun tidak perlu diperiksa apalagi dibagi oleh penyelenggara. Karena semuanya didasarkan pada kebebasan para peserta untuk menilai kekuatan mereka sendiri dan memilih venue tempat mereka adu kekuatan.
Jadi, jika ada orang lemah yang berpikir bahwa dia cukup kuat untuk masuk ke vanue nomor satu dan terbunuh, maka itu adalah akibat dari kepercayaan diri mereka sendiri.
"Hey, apa menurutmu si Lonewolf itu akan ikut turnamen lagi?"
"Siapa? Fu Qiu Shen?"
Pria yang bertanya pertama kali mengangguk. "Dia sudah memenangkan turnamen dua tahu lalu, aku harap tahun ini dia tidak ikut. Jika tidak, orang-orang seperti kita tidak akan punya kesempatan."
"Ck. Bahkan jika dia tidak ikut, kau juga tidak akan memenangkan pialanya."
"Setidaknya kalau dia tidak ikut, kita bisa menunjukkan kemampuan kita dan mencari guild yang bagus setelahnya. Apa kau tidak ingat bahwa pria itu membantai kita bersama lima puluh orang sekaligus?" Pria itu menghela napas. "Karena itu, hingga sekarang aku tidak pernah dilirik oleh guild kuat manapun."
"Ssttt ... Tutup mulutmu."
"Hah? Apa?"
"Dia lewat?"
Pria itu cepat-cepat menoleh dan memang melihat pria tinggi berambut hitam yang sedang dia bicarakan lewat dan masuk ke venue satu.
"Lihat, doa mu tidak dijabah." Teman pria itu mendengus dan merangkulnya. "Ayo, kita coba peruntungan saja di venue tiga, setidaknya menang di sana bisa dapat tiket makan gratis selama dua bulan di restoran mahal dan beberapa kristal nukleus kelas menengah."
Mau tak mau, jika tidak ingin babak belur lagi secara gratis, mereka harus memilih venue yang pesertanya sedikit lebih lemah.
***
Begitu Qiu Shen masuk dan duduk di kursi peserta, hampir setengah dari orang-orang yang duduk di sana memutuskan untuk berdiri dan keluar dari venue.
"Lihatlah, kau baru saja datang dan sudah mengusir banyak orang." Ben menopang dagu dengan bosan. "Apakah hadiah yang kau dapatkan di turnamen sebelumnya masih belum cukup?"
Qiu Shen tidak menjawab.
Ben juga sudah terbiasa jadi tidak keberatan. Dia kembali bertanya, "Qiu Shen, bagaimana kalau tahun ini kau memberikan kesempatan untuk orang lain menang?"
Qiu Shen melirik sekilas. "Tergantung."
"Tergantung apa?"
"Tergantung apakah ada orang yang membuatnya tertarik untuk bertarung tentu saja." Homi yang duduk tak jauh dari sana ikut bersuara.
Ben memutar mata. "Baiklah, tapi setidaknya biarkan aku melawan beberapa orang dulu oke? Turnamen sebelumnya aku tidak pernah naik ke arena!"
"Aku juga." Kali ini Homi menyetujui ucapan mutan beruang itu.
Tapi lagi-lagi Qiu Shen mengabaikan mereka, sepenuhnya memusatkan perhatiannya pada arena yang saat ini menampilkan beberapa pertarungan.
Tiga jam kemudian, hanya sedikit peserta yang tersisa, namun semakin banyak pula penonton, karena di saat semakin sedikit peserta seperti ini, maka pertarungan juga akan semakin seru.
Yang berdiri di tengah arena saat ini adalah mutan banteng dengan tanduk besar dan runcing, memegang tongkat bisbol besar dan berduri, sudah sejak setengah jam yang lalu dia menjatuhkan banyak peserta yang menantangnya dan masih belum terkalahkan.
"Kurasa sudah saatnya kita beraksi." Ben memukul pahanya penuh semangat kemudian menoleh. "Homi, aku yang maju dulu atau kamu?"
Homi masih menopang dagu dengan bosan. "Tentukan dengan ... Oh, terlambat. Sudah ada yang menantang lebih dulu."
"Apa? Siapa?" Ben menggeram marah dan menatap tajam ke arena, namun berakhir mengerutkan kening ketika melihat orang yang berdiri di hadapan mutan banteng itu. "Kapan dia datang? Setahuku, tidak ada orang seperti itu di venue ini tadi."
Homi juga mengerutkan kening, pasalnya orang yang baru naik berjalan dari kursi peserta, tapi anehnya, dia yang sejak tadi selalu mengamati orang-orang di kursi peserta sama sekali tidak menyadari keberadaannya. "Qiu Shen, apa kau melihatnya tadi?" tanyanya.
"Hn, dia duduk di belakangmu."
"Tidak mungkin! Aku sama sekali tidak melihatnya."
Ben mengangguk. "Aku juga."
"Kau melihatnya, hanya saja tidak menyadarinya," ujar Qiu Shen. Mata gelapnya tidak pernah meninggalkan sosok berjubah coklat di arena yang sejak awal dia masuk ke venue sudah memberikan sensasi yang sangat familiar, tapi juga asing di saat yang sama.
Siapa dia?
Bersambung ...