Survival 4

1097 Kata
Setelah memberikan peringatan, yang sebenarnya terdengar lebih seperti nasehat di telingaku, wanita itu berbalik untuk pergi. Aku mengejar dua langkah dan menarik ujung lengan jubahnya. "Bolehkah, aku tahu namamu?" tanyaku, meski tahu bahwa setelah beberapa hari di penjara, kondisiku tidak sebaik sebelumnya, tapi aku masih berusaha untuk memeras senyum tulus yang dulunya kata orang begitu manis. Gadis itu menatap wajahku sejenak sebelum menarik lengan bajunya dari genggamanku. "Jangan tersenyum, jangan bersikap ramah apalagi mencoba untuk memperbaiki penampilanmu di depan orang lain. Tempat ini bukan lagi distrik dua yang normal, semakin polos kamu, maka semakin mudah kau dimanipulasi seseorang." Matanya terlihat menyelidik di sekitar tubuhku. "Tidak peduli apakah kau dulunya seorang nona muda yang dimanjakan, kau sebaiknya membuang semua identitas dan kebiasaan itu, dan mulai hidup seolah semua orang di tempat ini adalah musuh, karena di tempat ini hukum rimba mulai berlaku." Aku tercekat dengan kalimat panjang dan kejam itu, namun jauh lebih ketakutan dengan mata tajam yang gadis itu layangkan padaku. "Aku hanya ingin tahu namamu," ujarku pelan sambil memilin ujung pakaianku. Apakah menanyakan nama seseorang di tempat ini juga terlarang? Tanpa kusangka, gadis itu menjawab, "Iris, orang-orang memanggilku dengan nama itu." Aku sangat senang, dan ingin memberitahunya namaku juga tapi gadis itu telah pergi tanpa menoleh lagi, jubah panjangnya bergerak seiring dengan langkah kakinya, sebelum dia benar-benar menghilang dari pandanganku di balik pintu gerbong. Kupikir, aku akhirnya bisa punya seorang teman, tapi sepertinya aku hanya terlalu naif. Aku menghela napas pelan dan masuk ke kompertemen, tak lupa mengunci pintu sesuai saran Iris. Di dalam kompertemen itu, tidak terlalu luas namun juga tidak terlalu sempit, memiliki dua ranjang tingkat di kiri dan kanannya, juga sebuah sofa usang dan meja teh di sisi jendela. Di sisi kiri pintu, ada pintu lain yang mengarah ke kamar mandi. Aku masuk ke sana dan menemukan cermin usang yang ujung sebelah kirinya telah pecah, meskipun agak kabur, tapi aku masih bisa melihat penampilanku dengan jelas. Aku terlebih dahulu mencuci tangan, kemudian wajah, lalu tinggal sejenak untuk mengamati wajahku sendiri. Setelah beberapa hari di penjara, makan makanan lembek dan tidur di tempat yang dingin, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana pipiku yang dulunya berisi kini menjadi lebih tirus, mataku terlihat sayu dengan lingkaran hitam yang tebal di sekelilingnya, serta bibir yang pecah-pecah. Kesejahteraan yang kumiliki di masa lalu telah dilucuti layaknya raja yang dikudeta, aku sendirian, di tempat asing nan mengerikan ini. Namun bahkan air mata tidak lagi ingin menetes dari mataku. Seorang Thalassa tidak pernah terlahir dengan rupa yang biasa saja, kami dikenal sebagai keluarga yang memiliki segalanya, kekayaan, kecerdasan dan juga keelokan rupa. Namun penampilanku saat ini sama sekali tidak menampakkan sosok Thalassa lagi. Aku menghela napas dan memercikkan air ke cermin, menyebabkan pantulan di sana tak lagi terlihat jelas. "Mungkin aku harus mandi untuk mendinginkan kepala," bisikku pada diri sendiri. Selesai mandi, aku memilah-milah tempat tidur, mencari tempat yang sekiranya jauh lebih bersih dari yang lain dan merapikannya. Kereta baru saja mulai bergerak beberapa saat yang lalu ketika aku masih di kamar mandi, jadi sekarang pemandangan yang tersaji di jendela terus berubah, dari pepohonan ke ilalang, kemudian pemukiman dan hutan. Aku berbaring menghadap jendela dan menjadikan pemandangan bergerak itu sebagai pengusir kebosanan dan tanpa sadar tertidur. Aku terbangun menjelang siang hari saat mulai merasa lapar. Jadi aku bangkit dan keluar dari kamar, mengunci ruangan rapat-rapat, kemudian berjalan ke kantin. Kompertemen para wanita benar-benar kosong melompong, jadi sensasi seolah hanya ada aku di kereta itu sangat kental. Untungnya, aku tidak cukup penakut untuk membayangkan banyak hal-hal yang menakutkan. Sesampainya di kantin, kulihat tidak cukup banyak orang lagi yang masih duduk untuk makan siang, beberapa diantaranya bahkan hanya duduk untuk menatap jendela sambil merokok. Semua makanan di kereta ini memang gratis, tapi aku sudah tidak berharap untuk mendapatkan makanan yang lebih baik dari penjara. Untungnya, di kereta ini, kami masih diberikan satu buah apel sebagai makanan pencuci mulut. Aku ingin mencari sudut yang tersembunyi untuk duduk, dan kembali membuat keberadaanku tidak disadari orang-orang. Tapi sosok yang duduk di tengah ruang begitu menarik perhatianku. Punggung lebar dan rambut hitam pekatnya begitu familiar. Aku menghampirinya dan menyapa. "Hay, bolehkah aku duduk di sini?" Pria itu mendongak dan memperlihatkan warna matanya yang segelap langit malam. Dia memiliki wajah tampan dan garis rahang yang tajam, bermata sipit juga bibir yang tipis. Benar-benar tipe wajah oriental dari Timur. Mungkin dari China atau Korea? "Gunakan sesukamu," ujarnya sebelum kembali menunduk untuk melanjutkan makan siangnya. Aku duduk dan mulai makan juga, tapi tidak bisa menahan rasa penasaranku dan terus menerus melirik wajahnya. Saat melihat makanannya hampir habis, aku menyodorkan apelku ke arahnya. "Untukmu." Dia tidak menjawab, atau lebih tepatnya tidak peduli. Dia mengupas apel miliknya sendiri dan makan sembari menatap ke arah jendela. "Hey, yang memungut ikat rambutku, kamu kan?" Tidak ada jawaban. "Aku tahu itu kamu, terima kasih." Pria itu masih mengunyah apel dengan lahap, sama sekali tidak menanggapiku. "Hey?" Aku mengetuk meja untuk menarik perhatian. Masih tidak ada tanggapan. Aku cemberut dan mendorong buah apel -yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian pria itu sepertiku- semakin dekat hingga menyentuh sikutnya. "Hey, bolehkah aku tahu nama ... Bang! Aku membelalak. Pisau yang awalnya pria itu gunakan untuk memotong apel, kini berada di antara jari tengah dan jari manisku. Sedikit saja pisau itu bergeser dan jariku akan terputus. Jantungku berdegup kencang, sedangkan seluruh tubuhku bergetar hebat. Dengan penuh ketakutan aku mencoba untuk melihat wajah pria itu hanya untuk menyesalinya kemudian. Tatapan dingin pria itu jauh lebih menakutkan, matanya yang agak sipit begitu tajam ketika menatapku, seolah dia tidak akan berkedip sekalipun bahkan jika dia membunuhku sekarang. "Berisik," desisnya amat pelan, lalu berdiri meninggalkanku begitu saja. Aku tercekat, sedangkan air mata yang awalnya kupikir tidak akan keluar lagi perlahan mengalir. Aku takut, sangat takut! Diantara degup jantungku yang masih memukul-mukul keras, suara-suara cemoohan orang di sekitar terdengar dengan sangat jelas. Rasa malu dan ketakutan membuatku menyadari sesuatu. Di tempat ini, hukum rimba berlaku. Yang kuat akan berkuasa, sedangkan yang lemah akan menjadi mangsa. Aku berdiri dengan cepat hingga menimbulkan suara decitan, kemudian berlari dengan sangat kencang meninggalkan kantin. Aku seharusnya ingat peringatan iris, bahwa di tempat ini, aku harus bersikap bahwa semua orang adalah musuh. Selalu hati-hati dan tidak menilai seseorang dari penampilan mereka. Hanya karena pria itu memungut ikat rambutku sekali, bukan berarti dia adalah orang baik. Semua orang di kereta ini adalah kriminal kelas berat, rata-rata seorang pembunuh atau seorang penjahat kelamin. Dan ini mungkin hanya permulaan, semakin jauh kereta berjalan, maka semakin banyak narapidana yang naik. Bisakah aku bertahan di kereta yang layaknya kandang singa ini? Aku tidak tahu, tapi tidak punya pilihan lain selain menjalaninya. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN