Bersamanya

1293 Kata
Sampai di taman hiburan malam. Di penuhi berbagai permainan yang ada. Ya, bisa di bilang pasar malam. Banyak orang ramai berdatangan dari yang anak-anak hingga tua. Dan Anggara tidak mau kelewatan juga. Dia sengaja mengajak Nayla untuk pergi ke sana. Nayla turun dari montor. Pandangan matanya tertuju pada biang lala di depannya. "Kenapa kamu ajak aku di sini?" tanya Nayla bingung. "Aku mau melihat kamu tersenyum." jelas Anggara. Nayla memincingkan salah satu matanya. "Apa aku gak salah dengar?" tanya Nayla penasaran. "Enggak," Anggara melepaskan helm dari kepala Nayla, meraih tangannya berlari masuk ke dalam tanpa banyak tanya padanya. "Tunggu!" Nayla menghentikan langkahnya. "Apa lagi," "Tadi aku beli kopi..." ucapan Nayla terhenti di saat Anggara langsung menariknya lagi, tanpa menunggu penjelasan Nayla. "Kita mau naik apa dulu?" tanya Anggara. "Kayak anak kecil saja, dasar ngeselin," umpat Nayla pelan, dengan menarik sudut bibir sinis sedikit. "Apa yang kamu katakan, kamu belum mencobanya. Lebih baik kita coba semua permainan yang ada. Kamu pasti ketagihan nantinya." "Kalau enggak," "Kalau enggak, aku akan gendong kamu berkeliling taman ini selama 3 kali putaran." jelas Anggara menantang. "Tetapi kalau seumpama aku yang bisa membuat kamu tersenyum. Kamu harus kecup aku satu kali di pipi," Anggara mendekatkan pipi kanannya, dengan telunjuk menepuk pelan pipinya. "Apa kamu mengerti?" tanyanya, menatap ke arah Nayla. Nayla menghela napasnya kesal, memutar matanya malam "Emm... oke baiklah. Aku sangat yakin jika aku yang akan menang;" ungkap Nayla penuh percaya diri. "Oke.. Pertama kita baik biang lala," "Oke..." Nayal dan Anggara sudah bersiap antri untuk naik biang lala..Hingga lima belas menit mereka menunggu. Akhirnya giliran mereka juga untuk mulai masuk. Perlahan bianglala itu memutar perlahan. Sedangkan Nayla hanya diam, duduk dengan ke dua tangan bersendekap. Dan bibir sedikit manyun beberapa senti ke depan. Sampai dinatas, pemandangan kita terlihat sangat jelas. Anggara memegang pipi Nayla memalingkan menatap ke bawah. "Lihatlah di bawah. Pemandangan kita terlihat sangat indah di tengahnya malam." kata Anggara. Nayla memejamkan matanya, tubuhnya gemetar ketakutan. meski dia bisa baik ke ketinggian. Tetapi di saat melihat ke bawah. Seakan tubuhnya mulai kaku, gemetar ketakutan. Nayla meraih tangan Anggara, menggenggamnya sangat erat. "Jangan lepaskan aku," ucap Nayla, bibirnya semakin bergetar. Anggara melihat hal itu, dia duduk di jongkok di bawah, sembari terus menggenggam ke dua tangan Nayla. "Apa kamu takut?" tanya Anggara. "Aku gak takut, hanya gugup." "Baiklah, kamu boleh genggam tanganku. Dan bukalah matamu perlahan. Tapi ingat, jangan lepaskan tanganku jika kamu takut." Nayla menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku gak berani! Aku takut!" kata Nayla, semakin mencengkeram erat lengan Anggara, membuat Anggara hanya diam meringis menahan sakit. "Yakinlah. Jika kamu ingin semua phobia kamu berakhir. Cepat sekarang buka mata kamu perlahan. Dan jika kamu gak berani lihat bawah. Perlahan lihatlah wajahku." Nayla yang terenyuh. Perlahan mulai membuka matanya. Pandangan matanya tertuju pada Anggara di depannya. "Cantik," gumam Anggara pelan. "Apa?" "Lupakan saja," Anggara mencoba mengelak. "Sekarang kamu bisa menatap ke bawah." Nayla menatap ke bawah perlahan, ke dua tanganya mencengkeram erat ke dua lengan Anggara, laki-laki itu hanya diam menahan rasa sakit akibat kuku panjang Nayla yang seakan menancap di kulitnya. "Gimana sekarang?" tanya Anggara. Nayla hanya diam teraenyum, perlahan dia melepaskan tangan Anggara. Menepuk-nepuk ke dua pipinya pelan. "Ini bukan mimpi, kan?" tanya Nayla. "Ini bukan mimpi," ucap Anggara, menarik dagu Nayla sedikit ke atas. Deg! Deg! Detak jantung mereka saling berpacu dalam diam. Pandangan mata Nayla seakan tidak mau lepas dari pandangan Anggara. Anggara mendekatkan bibirnya, baru beberapa senti ingin mendarat. Bianglala itu berhenti tepat di bawah. Dan giliran mereka sudah selesai. "Emm... Sepertinya kita harus turun," ucap Nayla malu-malu. Kaki jenjangnya mulai melangkah keluar. "Tunggu!" Anggara menarik tangan Nayla, mencegahnya dia pergi jauh dari tempatnya. "Kita ke rumah hantu," ucap Nayla dan Anggaara bersamaan. "Kenapa jita barengan, sih." ungkap Nayla. "Berarti kita jodoh," nayla menarik sudut bibirnya, sembari mengumpat pelan. "Ogah, banget jadi jodohnya. Apa gak ada jodoh yang terbaik untukku." ungkapnya lirih. "Kenapa kamu diam?" tanya Anggara kesal. "Aku ingin melihat kamu tersenyum," "Aku gak takut," "Ya, sudah cepat masuk" "Kita mau ke rumah hantu?" tanya Nayla memastikan lagi, sembari menelan ludahnya kasar. "Iya, memangnya kenapa?" Anggara mendekatkan wajahnya. "Apa kamu takut?" "Siapa bilang aku takut," ungkap Nayla. "Oke, tunjukan jika kamu tidak takut," "Baik, kamu di belakangku," Nayla melangkahkan kakinya sok berani dia masuk ke dalam rumah hantu itu. Nayla menarik sudut bibirnya tipsi, semabri bergumam pelan. "Awas saja jika aku sudah masuk ke dalam dan aku tidak takut. Akan aku buktikan padanya. Kalau bisa biar dia yang terperangkap di rumah hantu ini." "Apa yang kamu katakan," "Bukan urusan kamu," "Yakin?" "Apanya?" Nayla melirik ke belakang. "Di depan ada sesuatu," "Apa?" wajah Nayla mulai panik, gemetar di buatnya. "Lihatlah ke depan!" "Ada apa di depan?" tangan Nayla mulai gemetar. Dia memutar tubuhnya seketika. Mencengkeram erat lengan Anggara. "Kamu takut," Nayla mengangkat tegak kepalanya sok berani. "Aku gak takut," "Terus tadi apa." "Emm.. Tadi hanya pamanasan." "Tuh lihat? Apa yang loncat-loncat," Anggara memasang wajah terkejut. Menunjuk ke belakang tubuh Nayla. "Wuaaa...." Seketika membuat wanita itu melompat. Dalam tangkapan ke dua tangan Anggara. Nayla menyembunyikan wajahnya di balik d**a bidang Anggara. Akhirnya bisa juga ngerjain dia. Lagian salah sendiri sok berani. Gumam Anggara dalam hatinya "Sudah pergi belum?" tanya Nayla. "Belum," "Beneran, jangan bohong." "Memangnya tadi aku bicara apa?" "Katamu ada hantu.." Nayla mengangkat kepalanya, menyipitkan ke dua jatanya di sata melihat Anggara tersenyum penuh kemenangan. "Kenapa kamu senyum seperti iyu?" "Memangnya gak boleh," Nayla melompat dari ke gendongan Anggara. Memukul d**a bidang Anggara dua kali. "Beraninya kamu membohongiku," decak kesal Nayla. Suara erangan berat membuat ke dua nata mereka saling tertuju. Dengan hembusan napas berat mereka saling berpacu. "Tadi apa?" "Sepertinya ada sesuatu," ucap Anggara yang mulai gemetar takut. Merek menelan ludahnya susah payah. "Gimana kalau kita berdua kabur," "Memangnya kamu tahu jalan?" Anggara menarik tangan Nayla, bersembunyi di balik punggungnya. "Eh.m apa yang kamu lakukan di belakang." Nayla menghempaskan pundaknya. "Jangan memegangku seperti itu," "Kamu duluan," ucap Anggara kendoring tybuh nayla berjalan lebih dulu. "Kamu laku-laki harusnya kanu harus di depan," "Gak harus," Nayla mencoba melepaskan tangan Anggara di pundaknya. "aku hitung samoai tiga, kita berdua berlari bersama." ucap Nayla memberikan saran. "Oke.." Mereka mulai bersiap berdiri tegap, menarik napasnya dalam-dalam, menahannya sejenak laku kengeluarkan secara perlahan. "Satu.... Dua.... Tiga... Larii...." teriak Nayla yang langsung berlari menembus beberapa hantu yang menang sengaja ingin menakuti mereka. Bahkan Anggara sempat nenendang salah satu hantu dari mereka. Berlari terbiri-biru ketakutan mengikuti Nayla. **** Sampai di luar, Anggara dan Nayla mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan. "Aku capek!" ucap Nayla, menepuk pundak Anggara. Anggara terdiam, sentuhan tangan Nayla seakan memberikan sinyal padanya. Anggara mengangkat kepalanya. Kedua mata mereka saling bertemu satu sama lain. "Kamu bisa tersenyum juga padaku?" tanya Anggara. Tanpa sadar, jemari tangan Anggara menyentuh belaian rambut Nayla. Menyilakan rambutnya ke belakang telinga. "Jangan gugup!" Anggara mendorong dahi Nayla dengan ujung jari telunjuknya. "Anggara..." geram Nayla, mebguntupkan bibirnya kesal. "Ada apa? Kamu mau menciùmku?" goda Anggara mendekatkan pipi kanannya. "Silahkan lakukan?" ucapnya semakin menggoda. Nayla memutar matanya malas. ja membalikkan badannya, melangkahkan kakinya pergi. "Nay... Tunggu!" teriak Anggara. Berlari mengejar Nayla. "Aku mau pulang. Udah malam juga." "Aku antar!" "Tidak usah! Lagian aku mau tidur dirumah sakit. Takutnya ibu nanti bangun tidak ada yang jaga disana." "Udah, aku antar!" Anggara, meraih pergelangan tangan Nayla. Menarik tangannya Segera beranjak pergi dari sana. "Anggara.." "Aku tidak mau ada kata penolakkan." tegas Anggara. Nayla hanya bisa diam. Dia terpaksa harus menurut apa kata Anggara sekarang. Kenapa di saat aku menatap wajahnya, aku merasa nyaman berada disisinya. Apa aku mulai ada rasa dengannya? Tapi, itu tidak mungkin? Aku pasti salah. Tidak.. Aku Tidak boleh suka dengannya. Nayla terus menatap wajah Anggara dari samping. Alis tebal, hidung mungil, membaut dia terlihat semakin tampan. Nayla menarik dua sudut bibirnya. Membentuk senyuman tipis. Seakan kedua matanya yak mau beranjak menatap wajah tampan di depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN