Anggara yang datang merayakan ulang tahun Riko Dia hanya diam. Jemari tangannya meremàs gagang gelas. Dia hanya diam, trus meneguk minuman yang disuguhkan berkali-malu.
"Kamu kenapa?" tanya Eno menatap aneh ke arah Rico.
Anggara agaknya diam, dia menuangkan minuman lagi je dalam gelasnya. Mengangkat satu gelas, lalu memutarnya perlahan dengan pandangan mata kosong. Sementara Sella ingin sekali perhatian dengannya. Memberikan beberapa makanan padanya. Tetap saja di tolak olehnya. Di saat wajah dingin Anggara sudah menyerang tubuhnya. Sella tak bis berkutik. Dia hanya bisa melihat Anggara yang terlihat dingin tanpa berani bertanya satu katapun.
Sementara Dio dan Rilis.aling menatap satu sama lain. "Ada apa dengannya?" tanya Riko pada Dio lirih.
"Aku juga tidak tahu!"
Dio melirik ke arah Anggara. Wijaya laki-aku itu masih terlihat kosong. Dia bingung apa yang harus di lakukan sekarang. Sementara Riko dia menatap ke arah Sella ternyata dia juga sedari tadi mengamati Anggara. Dia mencoba perhatian dengannya. Memberikan makan, sampai berkali-malu di tolak. Merasa tidak tega melihatnya. Riko meraih makanannya.
"Biar aku yang makan, aku akan buatkan kamu makanan baru." kata Riko beranjak berdiri dia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan temannya. Sementara Sella hanya diam tanpa memperhatikan Riko. Dia lebih memilih menatap Anggara. Sella menyangka dagunya, sembari mengawasi wajah Anggara. Ke dua matanya tidak pernah berhenti terus menyanggupinya. Wajahnya yang sangat tampan mencuci matanya, hingga menyejukkan hati Sella.
Rino mengerutkan keningnya. Melihat sahabat wanitanya itu terlihat aneh. Dia tidak berhenti menatap Anggara mesjid ama sekali Anggara tidak mempedulikannya. Rino tersenyum, dia menarik tangan Sella.
"Hey.. Jangan terlalu lama menggantinya. Jika kamu suka dengannya gimana?" sindir Rino.
"Berisik!" umpat kesal Sella.
"Dia sepertinya memang suka?" Satu Dia terkekeh kecil. Melihat Ekspresi wajah Stella memelotot tajam ke arahnya.
"Udah deh.. Hak usah jahil. Lagian tidak salah jika aku kagum saja dengannya."
"Kagum apa cinta?" canda Dio.
Riko yang menebar percakapan mereka dari dapur. Dia hanya diam, melirik sekilas ke arah Sella. Meski dapur itu tak terlalu jauh dengan tempat mereka. Riko selalu mengamati mereka. Mendengar setiap ucapannya. Meski terasa tidak suka. Dia tetap saja, masih akan tetap pada pendiriannya. Riko membuatkan nasi goreng spesial untuk Sella. Dengan telur setengah matang di atasnya.
"Ga? Kamu kenapa?" tanya Dio yang merasa temannya itu aneh sekarang.
"Iya, sepertinya dia sedang jatuh cinta," saut Rino. Menarik turunkan alisnya memberi kode pada Dio.
"Husstt.. Jangan mengucapkan itu," sambung Riko, dan di balas dengan tatapan tajam Sella ke arah Rino dan Dio. Sedangkan Riko yang sekarang sedang ulang tahu. Merasa tidak ada yang spesial. Dia tidak punya gandengan bahkan tidak punya wanita yang perhatian dengannya.
"Eh... Ini, untuk kamu." ucap Riko pada Sella. Dia memberikan satu piring masakannya.
"Hmm... Sepertinya enak itu." harum masakan Riko menyeruak masuk ke dalam penciuman Dia dan Rino. Ke dua laki-aku itu sudah saling melirik bersiap untuk menerima jika Sella tidak mau menerimanya.
"Ga... Lihatlah. Siapa di belakang, bukanya itu wanita tadi?" goda Rino.
"Mana?" Anggara menoleh cepat. Wajahnya begitu antusias saat mengingat wanita itu.
"Benar yang aku bilang! Dia senang jatuh cinta pada seseorang. " gumam Rino.
"Dengan Nayla maksud kalian?" tanya Riko.
"Dari mana kamu tahu namanya?" tanya Anggara penasaran.
Riko menariknsidut bibirnya tipis.
"Aku kenal dengannya." jawabnya. Sembari melirik ke arah makanan yang dia buatkan. Di alihkan begitu saja oleh Sella.
Rino dan Dio menunduk, saat melihat Sella terbakar api cemburu di saat mengucapkan itu. Dia mengambil sendiri makan di depannya. Menggenggamnya sangat erat. Dan mulai menusuk-duduk sebaiknya di atas nasi yang tak bersalah di atas piring putih itu.
Rino menyiku lengan Dio, "Sepertinya dia marah," bisik Rino. Jemari tangan Rino menarik setau piring makanan tak berdosa itu. Sebelum terbuang sia-sia berantakan di atas meja.
Dia bergengsi kesal. Menggelengkan kepalanya. Sementara Rino, meringis. Tanpa rasa bersalah. Sementara Stella dan Negara menatap tajam ke arahnya.
"Jangan menggodanya dengan cara memakai nama wanita itu." tajam Anggara.
Dia kembali menatap Riko. "Dan, sejak kapan kamu kenal dengannya" tanya Anggara penasaran.
"Dia marah kenapa?" tanya Riko. Melirik ke arah Dio.
"Iya, gara-gara kamu. Kamu harus tanggung jawab," bisik Dio.
"Kamu juga," timpal Rino, sementara bibir penuh dengan makanan.
"Apa?
"Kenapa kalian berisik?" ucap Anggara, mengangkat kepalanya. Menatap tajam ke arah Dio dan Rino.
"Sudahlah kawan, kenapa kamu jadi sensitif seperti ini," Riko mengeraskan suaranya.
"Maaf!" Anggara tertunduk. "Aku banyak pikiran?" lanjutnya.
"Pikiran apa?" tanya Dio penasaran.
"Kalian gak perlu tahu,"
"Apa sebenarnya yang menganggu pikiran pacar aku ini," saut Sella. Mencoba menggoda Anggara menyandarkan manja kepalanya di bahu Anggara.
"Lupakan!" jawab datar Anggara.
Sella menghela napasnya, dia mencoba meraih makanan di depannya.
"Em... Ga! Apa kamu tidak mau makan? Aku suapin, ya?" ucap Sella, mencoba menyuapi Anggara yang dari tadi seperti mayat hidup tanpa ada suara sama sekali. Sekali ada suara dia mencari wanita lain dan marah-marah tidak jelas.
"Udah-udah, kalau dia gak mau makan, gak usah di paksa. Lebih baik kita minum." ucap Riko pada semuanya. Dan mulai menuangkan minuman di gelas masing-masing temannya. Sebuah minuman khas Anggur racikannya sendiri. Terkenal begitu enak. Hingga restaurant itu ramai hanya menikmati anggur racikan Riko.
"Ini minuman apa?" tanya Sella.
"Kamu gak usah minum, biar aku saja yang minum." sambung Riko, meraih gelas minuman Sella.
"Gak usah, aku saja." Sella mencoba meraih gelasnya.
"Aku saja yang minum, kamu wanita jangan banyak minum." Riko menyela pembicaraan Sella. Dia mencengkeram pergelangan tangan Sella. Menghalangi wanita itu gambar tidak banyak minum.
"Tapi aku ingin minum," geram Sella.
"Aku bilang gak usah," ucap Riko tegas. Anggara yang kesal melihat mereka berisik. Tangannya mengambil gelas minuman itu di antara tangan mereka berdua. Lalu meneguknya sampai habis, tanpa menatap ke arah Sella dan Riko sama sekali. Dan tanpa rasa bersalah dia melakukan itu. Wajahnya masih terlihat sangat datar.
"Maaf, aku harus pergi!" Anggara beranjak berdiri, dan langsung di sambut dengan sebuah tangan yang memegang erat lengannya. Mencegahnya untuk pergi.
"Kamu mau kemana?" tanya Sella.
"Pergi," jawab singkat Anggara tanpa menoleh sedikitpun ke belakang menatap Sella.
"Aku ikut dengan kamu," Sella beranjak berdiri. "Lagian mobil aku juga masih di rumah kamu,"
"Gak usah, kamu bisa suruh antarkan Riko atau yang lainya. Aku lagi sibuk," tegas Anggara melepaskan perlahan tangan Sella dan beranjak pergi tanpa banyak bicara lagi. Dan Sella hanya bisa diam, ke dua matanya merembak, menahan air mata yang ingin sekali keluar dari matanya.
Selama ini dia tidak pernah mendapatkan perilaku baik dari Anggara. Bahkan meski dia sudah jadi kekasihnya sekaligus temannya. Tetap saja, Sella seperti orang lain yang tidak di anggap. Sella mengepalkan tangannya, menghentikan kakinya kesal melihat kepergian Anggara. Padahal dia tahu mobilnya ada di rumahnya. Tetapi kenapa dia meninggalkannya begitu saja tanpa sebab.
"Aku yang akan antar kamu pulang" ucap Riko menepuk pundak Sella.
"Tidak perlu aku bisa pulang sendiri" Sella mencoba pergi. Dengan sigap Riko meraih tangan Sella menariknya kembali. Memutar tubuhnya hingga jatuh dalam delapan hangat tubuhnya. Ke dua tangan Sella mengantar di dua pundaknya. Kedua mata mereka saling tertuju satu sama lain.
"Temani ulang tahunnya! Jangan pergi kemana-mana?" ucap lirih Riko.
Sella menelan lidahnya, saat menatap dekat wajah Riko. Wajah tampan, dengan alis tebal, terlihat sangat manis. Gaya rambut sirkit berantakan. Dan hari sama dengan Anggara. Meski mereka memiliki sifat yang berbeda.
"Baiklah!" ucap Sella.yang tiba-tiba berubah pikiran. Riko melepaskan tubuh Sella. Dan mulai menarik tangannya untuk duduk kembali menikmati makanan yang ada. Riko menggantikan Sella untuk minum. Jadi dia minum dua kali lipat dari mereka.
------
Back Anggara.
Di saat teman temannya menikmati pesta. Anggara keras dirinya tidak terlalu mood untuk berpesta. Pikiran dia tentang keluarga membuatnya merasa kesal.
Dan Anggara mengemudi motornya dengan kecepatan tinggi. Pandangan matanya kosong memikirkan wanita yang baru dia kenalnya itu. Ingin sekali rasanya dekat tetapi di sisi lain dia merasa kesal dengannya.
Palukannya seketika memudar di saat dia melihat sosok wanita. Hingga dia memutar balikkan motornya untuk memastikan kembali.
Montornya seketika terhenti di saat melihat Nayla duduk sendiri di halte, dengan ke dua tangannya memegang beberapa kopi. Entah siapa yang di tunggu. Padahal rumah sakit sangat dekat dengan tempat di mana dia sekarang duduk. Wajah Nayla terlihat murung. Selama semua beban di pikirannya sedang berada tepat di kepalanya menjadikan kepalanya untuk tumpukan masalah.
Anggara menghampirinya. Menghentikan montornya tepat di depan Nayla. Tanpa membuka helm full fice miliknya. Anggara bersiap mencoba memanggilnya.
"Dasar aneh!" ledek Nayla.
"Kenapa kamu disini?"
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Anggara. Wajahnya selama sudah bersiap untuk introgasi Nayla. Ke dua mata Arga tertuju pada beberapa kopi di tangan Nayla.
"Itu buat siapa?" tanya Anggara.
"Yang pasti bukan buat kamu!" gumam Nayla.
"Terus buat siapa?" tanyanya lagi.
"Jangan ikut urusan orang lain." geram Nayla tanpa menatap ke arah Arga. Dia memutar matanya malas.
"Wanita aneh!"
"Kamu yang aneh!" balas Nayla tak mau kalah.
"Kamu..." umpat Anggara.
Nayla mengangkat kepalanya. "Apa yang ingin kamu lakukan di sini?" tanya Nayla balik tanya.
"Lihat wanita aneh ini duduk sendiri di sini. Membuatku penasaran," Nagagar melipat ke dua tangannya di atas dadanya.
"Penasaran apa?"
"Siapa tahu ada laki-laki yang menggoda kamu nantinya,"
"Bukan urusan kamu, mau ada yang menggodaku atau tidak aku tidak perduli." jawab Nayla jutek, memalingkan pandangannya berlawanan arah.
"Tetapi di sini ada laki-laki yang akan menggoda kamu,"
"Berani menggodaku, akan aku tendang burung kamu." jawab tegas Nayla tanpa rasa takut.
Anggara melepaskan helm full ficenya, dia tersenyum tipis, mendengar ucapan Nayla.
###
"Apa kamu berani menendangnya?" tanya Anggara beranjak dari atas montornya. Dia berjalan menuju ke arahnya.
"Memangnya kamu mau coba. Ayo silahkan jika kamu ingin coba." tegas Nayla beranjak berdiri, menajamkan padangan matanya. dan hanya di balas dengan senyuman tipis. Anggara sesegera duduk, menarik tangan Nayla untuk duduk kembali.
Ke dua mata mereka saling memandang. Seakan percikan api permusuhan mulai menjalar dari ke dua matanya.
"Sekarang, lebih baik diam di sini. Aku akan temani kamu," ucap Anggara. Mencoba tersenyum, meski hanya senyum palsu keluar dari bibirnya
"Gak butuh," jawab Nayla jutek, Melebarkan matanya, lalu tersenyum sok manis. Meski terpaksa. Nayla melangkahkan kakinya sedikit menjauh dari Anggara. Dan Laki-laki itu menarik kembali tangannya agar mendekat ke arahnya.
"Duduklah!" pinta Anggara.
"Tidak!" Nayla terus melangkah semakin menjauh. Merasa kesal dengan sikap Nayla, Anggara berdiri kembali meraih tangan Nayla. Menariknya duduk di sampingnya.
"Lepaskan aku!" pekik Nayla, menarik tangannya dari cengkeraman Anggara. Nayla, menggeser panggulnya sedikit menjauh dari Anggara.
"Jangan jauh-jauh," Anggara menarik kembali lengannya. Menggeser duduk tepat di sampingnya.
Nayla menghela napasnya kesal. Dia bangkit dari duduknya. "Apa yang kamu inginkan. Kenapa kamu selalu menggangguku. Apa emang kamubtidka punya kerjaan lain selain menggangguku." geram Nayla melepaskan esmoinya.
"Oo.. Apa kamu hanya ingin ucapan terima kasih lagi sudah menolong ibuku. Oke.. Aku berterima kasih padamu, tuan. Dan silahkan sekarang anda pergi," ucap Nayla menggebu.
"Oke.. Kalau itu mau kamu. Terima kasih!" ucap Nayla sedikit menahan kekesalannya.
Anggara hanya diam, melangkahkan kakinya menuju ke montornya. Mengambil helm dan melemparnya ke dalam dekapan Nayla. Lalu dia naik ke atas montor, memakai helm full ficenya kembali.
"Jangan banyak bicara lagi." ucap Anggara.
"Buat apa ini?" tanya Nayla bingung.
"Pakailah," ucap Anggara.
Nayla hanya diam, menatap helm di tanganya, sembari mengerutkan keningnya bingung.
"Cepat naik, aku akan mengantarkan kamu;" kata Anggara.
"Gak perlu?" jutek Nayla.
"Kamu pasti sedih, sekarang aku akan tunjukan sesuatu yang tidak akan membuat kamu sedih,"
"Apa kepedulian kamu denganku," jawab Nayla kesal. Dia memberikan kembali helmnya, mencoba pergi, tetapi tangan Anggara memegang lengannya erat.
"Jangan pergi, beri kesempatan aku tunjukan sesuatu yang akan membuat kamu tersenyum," ucap Anggara.
Nayla hanya diam, menatap wajah Anggara yang sepertinya serius. Di saat dia sedang dalam masalah pikirannya memang selalu bingung entah apa yang ingin di lakukannya. Nayla memang butuh hiburan sekarang.
Dalam satu tarikan napas, Nayla mencoba untuk tetap tenang. Dan mulai percaya dengannya Anggara.
"Baiklah," ucap Nayla, mulai naik ke atas montornya. Dengan ke dua tangan bersendekap.
"Pegangan," ucap Anggara.
"Gak mau," jawabnya datar.
"Aku bonceng wanita bukan karung beras, jadi pegangan."
"Anggap saja kamu bonceng karung beras," jawabnya semakin jutek.
"Oke! Oke! Baiklah!" ucap Anggara. Laki-laki itu tersenyum tipis, dia menarik gas montornya sedikit, lalu mengerem montornya mendadak membuat ke dua tangan Nayla memeluk erat pinggang Anggara.
Nayla berdengus kesal, dia memukul punggung Anggara bertubi-tubi.
"Dasar m***m!" umpat Nayla, di balas senyuman olehnya.
"Udah sekarang diam," Anggara mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Melesat seperti pembalasan internasional. Membuat Nayla hanya memejamkan matanya memeluk erat pinggang Anggara dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Pelan-pelan, apa kamu bosan hidup." ucap Nayla meninggikan suaranya.
"Tenang saja ini sudah paling pelan,"
"Apa kamu sudah tidak waras?" umpat Nayla.
"Memang," jawab Anggara. "Sekarang kita sudah hampir sampai,"
Nayla masih memejamkan matanya, menyembunyikan wajahnya di balik punggung Anggara, semangat mencengkeram erat jaket tebal milik Anggara.
Kamu memang wanita yang beda, Wanita sedikit aneh, jutek, nyebelin. Tapi.. Aku memang sedikit tertarik denganku. Dan.. Kamu memang wanita pertama yang bis membuat aku terus kepikiran, Nayla..
Sementara Nayla hanya bisa diam, dia merasa ditubuh Nayla terasa sangat hangat. Hatinya merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Wajah yang semula kesal kini berubah memerah malu. aroma parfum alang-alang menyeruak masuk ke dalam penciumannya. Aroma yang membuat dirinya merasakan sangat tenang.
Raisya menutup ke dua matanya. Menarik napasnya daam-dalam. Dia merasa aroma parfum menyatu dnegan dinginnya malam yang mencengkeram.
"Nayla..." panggil Anggara.
Nayla masih saja diam. Dia semakin mempererat palukannya.
"Nayla.. Kamu tidur?" tanya Anggara.
"Enggak!" jawab Nayla.
"Aku kira kemu tidur." gumam Anggara.
"Benar! Jangan ngebut.." ucap Nayla.
"Baiklah!" Anggara menekankan laju kantornya. Sementara Nayla merentangkan ke dua tangannya ke samping. Menghirup dalan-dalam udara malam yang semakin dingin.
"Aaaaaa....." teriak Nayla.
"Aku benci dnegan kehidupan ini, kenapa aku selalu menderita. Apa ada sosok kalahkan ayang akan menolongnya nantinya." kata Nayla mengeraskan suaranya.
Anggara yang mendengarnya hanya diam, dia bingung dengan apa yang di katakan Nayla. Masalah apa yang mengganggunya? Apa karena ibunya? Biaya rumah sakit, atau masalah lain? Pikiran Anggara mulai terganggu.
Merasa lega meluapkan emosi hatinya yang selama ini menganggu dirinya. Nayla, kembali menegang pinggang Anggara. Dia menghela napasnya lega. Lalu menyadarkan kepalanya di bahu punggung Anggara.
"Makasih!" ucap Nayla lirih.
"Makasih untuk apa?" tanya Anggara heran.
"Kamu membuat aku merasakan indahnya dunia malam. Hati ini, aku bisa pergi berteriak sekencangnya." ucap Nayla.