"Nama kamu siapa?" tanya Hena. Berusaha ramah, walaupun sebenarnya ia sedang kesal.
"Namaku? Kamu memangnya tak mengenalku?"
"Aku kan sudah bilang, kami hanya menolongmu di sungai, kami juga baru melihatmu hari ini." kata Hena mulai putus asa.
"Sungai? Aku ngapain di sungai? Aku tak mungkin kan mandi di sungai? Apa kamu menolongku?"
"Aduhh, Bu, Hena pusing." ujar Hena menekan kepalanya.
"Gini aja, bayar biaya rumah sakit ini dulu dan setelah itu kita akan mengantarmu ke kantor polisi." ujar Ibu Amanda
"Untuk apa ke kantor polisi?"
"Kamu kan tidak tahu rumahmu dimana, jadi biarkan saja polisi yang membantumu menemukannya." sambung Hena
"Jadi, maksudmu, aku harus menginap di kantor polisi?"
"Yang luka itu otakmu apa bibirmu, sih? Baru aja sadar sudah banyak bicara."
"Kan kamu yang mulai." jawab pria itu.
"Lama-lama aku stresss, Bu!" ujar Hena.
"Sudah... Kalian jangan berdebat terus, yang penting kita sudah menolongmu, jika kamu memerlukan bantuan panggil polisi saja, kamu juga, Hen, orang ini kan terluka kamu jangan membuatnya makin bingung."
"Abisnya dia songong banget, Bu, bukannya bilang terima kasih malah nanya mulu." kata Hena.
"Aku tak tau harus kemana, Bu dan aku tidak punya uang." kata lelaki itu.
"Gimana ini, Bu? Hena bingung, ga mungkin kan kita bawa dia ke rumah."
****
Hena dan ibunya lalu memutuskan untuk membawa lelaki ini kerumah mereka. Tidak ada opsi lain, selain membawa pria yang mereka tolong ke rumah.
"Bu, kalau emang dia ga ingat namanya siapa gimana kalau kita kasih nama tampan aja, Bu?" tanya Atom.
"Kamu ngada-ngada aja, Tom" kata Ibu Amanda.
"Ini di mana?" tanya lelaki itu.
"Ini rumah kami, kamu bisa beristirahat dirumah ini untuk malam ini saja, kita ga bisa membiarkanmu menginap lebih lama karena tetangga pasti menanyakannya." kata Hena.
Hena lalu mengantarkan lelaki itu masuk kedalam kamarnya dan ia tidur di kamar ibunya bersama Atom, rumahnya memang sempit tapi bersama sang Ibu dan juga Atom sudah cukup buatnya.
"Bu, apa lelaki itu ga lagi niat jahatin kita?" tanya Hena.
"Gimana mau jahat dia aja jalannya sempoyongan gitu." kekeh sang Ibu.
"Tapi, dia tampan, Kak, Atom senang dengan wajah tampannya." kata Atom dengan polos.
"Apa? Tampan? Memangnya kamu itu gadis? Memuji lelaki segitunya." tanya Hena.
Hena bingung dan memikirkan bagaimana caranya besok ia mengantarkan lelaki itu ke kantor polisi, semoga saja berhasil dan dia bisa bernafas lega, agar ia tidak repot mengurus pria yang tidak di kenalnya.
****
Esok paginya, Hena memberikan baju almarhum ayahnya kepada pemuda itu untuk di pakainya.
Setelah itu mereka siap-siap berpergian, Hena menunggu angkot di persimpangan jalan.
Setelah mendapatkannya, Hena lalu menarik lengan lelaki itu dan sama-sama masuk kedalam angkot.
Hena terkejut ketika pemuda itu menghilang dari tangannya, ia bingung harus kemana mencari pemuda itu.
Di menit kemudian pemuda itu datang sendirian dan mengejutkan Hena yang sedang duduk di pemberhentian bus menunggu angkot.
"Kamu dari mana aja, sih?" tanya Hena.
"Aku? Aku dari sana." kata pemuda itu sembari menunjuk kerumunan orang.
"Hena lelah, Bu, udah beberapa jam, tapi Hena belum berhasil sampai di kantor polisi." batin Hena dengan wajah murungnya.
Dengan keputus-saannya, Hena akhirnya kembali ke rumah dengan wajah lemasnya karena sudah tak tau harus berbuat apa lagi. Menurutnya, pemuda itu sudah mengacaukan harinya.
"Kamu belum mengantarnya ke kantor polisi?" bisik Ibu Amanda.
"Gimana mau Hena anterin, Bu, dia selalu saja ngikutin Hena dari belakang, susah, Bu, sangat susah." tutur Hena.
"Jadi kamu menyerah?"
"Gini aja deh, Bu, kita suruh aja dia bantuin Ibu jualan di warung, bagaimana? Siapa tahu dengan bekerja dia tidak akan ngerepotin kita banget, Bu." kata Hena.
"Bagaimana caranya? Nama dia aja kita ga tahu." kata Ibu amanda.
"Kita kasih nama Gilang aja, Bu, Bagaimana?" kata Hena.
"Gilang? Baiklah... Kalau itu sudah keputusan kamu." kata Ibu Amanda.
"Mulai sekarang nama kamu adalah Gilang, jika warga disini bertanya siapa nama kamu bilang aja Gilang dan kamu akan mengaku sebagai tunangan Hena!"
"Apa? Tunangan? Ibu berlebihan ihh." kata Hena.
"Kalau kita mengaku dia adalah pemuda yang kita selamatkan di sungai, apa mereka mau mengizinkannya tinggal di kampung ini? Kalau kamu mengaku dia adalah tunanganmu warga tak akan curiga, kita harus memikirkan pemuda itu sebagai sesama manusia, Nak." tutur Ibu Amanda.
"Terserah Ibu saja deh, sejak semalam aku sudah stress memikirkan pemuda itu." kesal Hena, sembari melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah.
"Jadi, nama saya Gilang, Bu?" tanya pemuda itu.
"Iya. Mulai sekarang nama kamu Gilang dan itu hanya nama sementara sampai kamu mengingat nama aslimu." Ibu Amanda menghela nafas panjang.
"Akhirnya saya punya nama juga, Bu." seru Gilang.
Ibu Amanda hanya mengangguk tak tega.
"Tapi, Bu, Hena kayaknya ga suka sama saya."
"Nanti juga terbiasa."
"Makasih ya, Bu, karena Ibu sudah mau menolong saya." ujar Gilang.
"Ya sudah, istirahatlah."
#
Beberapa hari berlalu, tak lama lagi Hena akan mendapatkan gelar sarjananya dan wisuda bulan depan, hari yang membahagiakan yang mampu membuat Hena tak sabar menunggu hari itu.
"Lo mau kemana? Tungguin gue deh." kata Disa sembari berlari ke arah Hena.
Mereka lalu jalan berdampingan menuju depan pagar kampus.
"Gue mau balik." ujar Hena.
"Apa lelaki yang tinggal dirumah lo itu benar tunangan lo?" tanya Disa.
"Apaan sih lo, mana mungkin dalam sekejap gue punya tunangan, kan ga mungkin." jawab Hena.
"Waktu gue nanya dia ngaku kalau dia itu tunangan lo."
"Itu nyokap yang ngajarin, karena takut nanti warga mengusirnya, gue aja pusing banget ini, Dis." kata Hena.
"Oh... Jadi ceritanya seperti itu? Tapi, dia tampan banget tau ga, gue sepertinya pernah liat dia deh, tapi lupa dimana."
"Tapi, syukurnya lagi, para preman itu tak akan berani gangguin gue, Dis." kata Hena.
"Bener juga kata lo, jadi lo bisa bebas ke stasiun kapanpun lo mau." ujar Disa.
"Tapi, Dis, apa gue harus ngakuin dia tunangan gue?"
"Itu kan permintaan nyokap."
"Tapi, gue ngerasa berlebihan aja."
"Udah, ayo kita pulang." tarik Disa.
#
Sampai di stasiun, Hena dan Disa lalu menghampiri warung makan, sampainya di sana, Hena melihat Gilang sedang melap meja dengan rajinnya setelah itu ia lalu mencuci piring.
"Ini menu baru, Bu?" tanya Hena.
"Oh, iya, menu ini? Menu ini yang buat Nak Gilang." jawab Ibu Amanda.
"Gilang? Jadi, lo pintar masak juga?" kata Hena.
Gilang hanya mengangguk.
"Sepertinya enak, Hen, gue pesen satu porsi, ya." ujar Disa.
Hena berjalan menghampiri Gilang yang sedang mencuci piring.
"Lo kesana aja, ada yang pesan menu baru lo itu." kata Hena.
"Baiklah." kata Gilang.
Hena hanya sekedar senang bisa mendapatkan perlindungan dari Gilang agar tak seorangpun yang berani macam-macam sama dia.
Gilang sesekali melirik ke arah Hena yang sedang melanjutkan cucian piringnya.
"Ciee... Lo suka ya sama Hena?" tanya Disa.
"Ya, ga lah... Hena kan sudah menolongku, jadi aku hanya senang saja bisa mendapatkan keluarga baru seperti Ibu Amanda, Atom dan juga Hena."
"Lo ga ngaku? Ya udah, kalau ga mau ngaku." kata Disa.
"Yummyy.... Ini enak banget, Lang, gue suka banget rasanya, pas banget menurutku." kata Disa memuji makanan yang di buat Gilang.
"Kemungkinan dulu aku punya hobby masak, karena aku ga pernah tahu menu ini sebelumnya bagaimana, tapi pas nyobain aku berhasil." jawab Gilang.
"Jangan sampai lo itu koki, Lang."
"Ahh... Ga mungkin" hempas Gilang.
#
Setelah selesai cuci piring, Hena lalu duduk di samping Disa yang sedang memakan makanan pesanannya.
"Gue juga pesan satu donk." kata Hena kepada Gilang.
"Siap, kalau untuk kamu akan aku kasih discound deh." kata Gilang.
"Gue makan disini ga pernah bayar ya, kok sama lo harus bayar sih, ga mau ahh." kata Hena.
"Bayar aja lagi, Hen, ini enak banget loh, iya kan, Bu?" tanya Disa.
"Iya, Nak, bayar saja, kamu kan pasti masih ada uang, kan??"
"Ibu apaan sih? Kok, jadi ngebelain Gilang?" tanya Hena.
"Ibu akan kepasar dulu, jadi kalian bantuin Gilang jagain warung ya." ujar Ibu Amanda, lalu melangkahkan kakinya keluar dari warung.
Gilang lalu membuatkan makanan untuk Hena.
Setelah selesai, Gilang memberikan makanan itu untuk Hena dan menaruhnya di hadapan Hena.
"Lo serius mau nyuruh gue bayar makanan ini?" tanya Hena.
"Makan aja dulu, kalau masalah bayaran bisa kita pikirkan lagi kok." kata Gilang.
"Wahh... Gue jadi ngerasa ini bukan warung Ibu lagi, malah jadi warung dia tuh." kata Hena dengan bibir manyun.
"Makan aja deh, Hen, lo ngeluh terus tahu ga." ujar Disa menyenggol Hena yang sedang memonyongkan bibirnya.
Di menit kemudian Mona dan Peni datang kewarung Ibu Amanda dengan penampilan yang sedikit menarik, ya karena mereka memang anak juragan.
Hena tak suka melihat kedua sahabatnya itu datang di warung makan ibunya, jika hanya untuk menghinanya.
"Selamat siang para pelayan." sapa Mona dengan karakternya.
"Siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya Gilang.
"Ka-kamu siapa? Ka-kamu tampan banget." tanya Peni.
"Iya, kamu tampan banget, boleh kenalan ga? Wajah setampan kamu kok bisa di tempat kotor seperti ini?" tanya Mona.
"Ga usah ngegoda deh, Mon, dia itu tunangannya Hena." kata Disa
"Apa? Tunangannya Hena? Masa sih?"
BERSAMBUNG