Bab 5. Kekhawatiran Sapta

1435 Kata
"Ga, aku pamit pulang deh. Makasih udah bantuin dan ngobatin." Aku berdiri. Namun seperti gak punya kaki, aku berjongkok begitu aja. Kakiku lemas kaya gak ada tulang dan ototnya. Padahal sebelum berdiri aku merasa udah baik-baik aja. "Kamu berdiri aja masih sempoyongan, aku pesenin taksi online aja, biar mobilmu di sini dulu, besok kamu bisa ambil." Bhaga ikut berjongkok, merangkul pundakku dan membantuku untuk duduk kembali di sofa. Aku gak mau ngrepotin Bhaga lagi, aku gak mau punya hutang budi lebih banyak lagi. Tapi di sisi lain kalau aku nyetir sendiri dengan kondisi kaya gini, apa ada jaminan aku selamat sampai rumah? Sapta pasti tambah ngomel kalau tahu. Ngomel khawatirnya kadang terlalu berlebihan, bikin aku ciut. Bhaga dengan cekatan membuka ponselnya, menanyakan alamat lengkap rumahku dan tidak sampai tiga menit, dia berhasil memesankan taksi online untukku. Dia memperlihatkan ponselnya padaku "Lima menit lagi sampe." Katanya. *** Aku tipe orang yang selalu kepikiran kalau ada sesuatu yang belum terselesaikan atau ada hutang dengan seseorang. Hari ini, Pagi-pagi sekali aku udah belanja di tukang sayur yang biasanya mangkal di pertigaan jalan depan. Aku membeli beberapa jenis sayur. Kepikiran mau bikin masakan rumahan sup sayur dan jamur krispi. Semenjak orangtuaku gak ada, aku dituntut untuk menjadi mandiri. Salah satunya harus bisa masak untuk diriku sendiri dan Sapta. Awalnya aku gak bisa, boro-boro masak, goreng telur aja aku sampai pakai helm saking takutnya kena cipratan minyak panas. Tapi seiring berjalannya waktu, proses ngulik resep, belanja, dan memasak ini bikin aku terus tertantang untuk bisa memasak yang enak. Apalagi kalau masakanku enak, Sapta gak segan-segan memujinya. Aku jadi lebih semangat. Sekarang aku jadi merasa skillfull di bidang masak-memasak ini. Ya walaupun jauh dari kata chef sih. Satu jam gak kerasa kalau udah berjibaku di dapur, kegiatan kedua yang paling aku suka selain merangkai bunga di toko. Semua udah siap, udah aku masuk-masukin di container food. Hari ini aku mau mengambil mobilku di rumah Bhaga. Dan untuk rasa terimakasih, aku mau bawakan dia sarapan. Gaya hidupnya tampak sehat, jadi aku sengaja bikin masakan yang aman-aman aja, siapa tau dia vegan. Sup sayur bisalah dimakan. Sembari mendinginkan puding di kulkas, aku pergi mandi. Jeans kulot dan kemeja hitam, bersisir dan pakai liptint tipis udah jadi perpaduan yang santai untuk hari ini. Sebelumnya, aku bilang sama Jeje kalau hari ini aku ke rumah Sapta. Sebelum jam dua siang aku harus udah pulang. Orderan ojek onlineku udah tiba, semua yang mau aku bawa udah aku masukin paperbag. Gak lupa kunci pintu rumah utama dan pamit sama Jeje. Toko bunga ku, yang bangunannya didominasi kaca itu memang tergabung dengan bangunan rumah utama, tapi beda pintu. Sampai di rumah Bhaga, kupencet bel satu kali, gak ada respon. Mau telepon, aku baru sadar kalau aku gak punya kontaknya. Lanjut aku pencet bel untuk kedua kalinya, orangnya udah muncul di balik pintu dengan rambut yang basah dengan aroma shampoo laki-laki yang menguar dan terhirup otomatis oleh hidngku. Penampilannya segar, meskipun cuma pakai kaos putih dan celana boxer pendek. Kayanya dia suka sekali mandi. "Hai Ga, sorry pagi-pagi banget. Ganggu ya?" "Enggak kok, masuk dulu Yas." "Emmm, mau langsungan aja deh kayanya. Oh iya, nih buat sarapan. Aku tadi masak kebanyakan." Bhaga menerima paperbag yang aku beri lalu mengintip sedikit isinya. Dia menatapku gak percaya. Aneh banget. Orang lain kalau aku kasih makanan happy-happy aja, kok dia bingung gitu sih? Apa dia gak suka ya sama pemberianku? Udah was-was nih kalau paperbag-nya dibalikin. Tapi kalau memang dia gak suka sih ya aku gak bisa maksa juga. Kan aku memang gak tahu dia biasa makan apa. "Baru kali ini ada yang ngasih aku sarapan." Ujarnya. Kayanya biasanya dia bikin sendiri, pasti tipe-tipe menu healthy food gitu. Dilihat dari postur badannya dan kemarin dia lari sih, dia menjaga banget asupan makannya. "Hah?" Bhaga mengangguk "Mau temenin aku sarapan gak?" tanyanya. Aku agak menimbang. Pengennya sih langsung pergi. "Please." Baru kali ini juga dia bilang begitu, mukanya juga kenapa kaya anak kecil minta dibeliin permen emaknya coba? Dia udah nolongin banyak kemarin, masak Cuma nemenin makan aku tolak? Lagian aku penasaran gimana seorang Bhaga-yang baru kali ini di kasih sarapan- mencicipi dan memberi pendapat tentang masakanku. Aku mendengus. Yaudahlah ya, Cuma nemenin sebentar, abis itu aku bisa langsung pergi. Aku diajak masuk di ruang makan. Bhaga menaruh paperbag di meja makan yang gak terlalu besar, desainnya minimalis dengan tekstur kayu alami yang mengkilat dan empat kursi di pinggirnya, cukup enak dipandang di ruangan yang jadi satu dengan dapur bersih dan di d******i warna putih ini. Sementara Bhaga mengambil piring dan sendok, aku menggeser kursi dan duduk manis. Lelaki itu datang membawa satu buah mason jar yang diberikan padaku dan ternyata berisi Apple crumble. "Kamu juga harus cicipin ini." "Buatanmu?" "Yes." Katanya santai. Wow, cukup spechless dia bisa bikin beginian. Sikapnya terlalu antusias untuk sekedar mencoba sarapan yang pertama kali di kasih orang, menurutku. Lihat aja, dia buru-buru sekali membuka tutup container food-nya sampai-sampai aku hampir mau bilang 'pelan-pelan nak nanti tumpah'. Aku memperhatikan Bhaga dengan detail sambil aku juga menyupkan dessert buatannya ini ke mulutku. Enak juga. Renyah, manis asam dari apelnya terasa segar. Bhaga bisa juga ya bikin Apple Crumble seenak ini. Masih gak nyangka. Mataku gantian melihat Bhaga. Suapan pertama. Ekspresinya datar sedatar-datarnya. Apa ada yang salah dengan masakanku? Aku lupa kasih garam mungkin? Tapi aku udah cicip kok tadi dan rasanya udah pas dilidahku. "Yas, ini beneran kamu yang masak?" tanyanya mengalihkan pikiranku. "Iya? Gimana rasanya?" kutanya dengan agak was-was. Suapan kedua "Ini enak." Jawabnya sambil mengunyah. "Banget!" imbuhnya dan seketika pundakku turun karena lega lalu tersenyum bangga. Tuhkan. "Syukurdeh." jawabku sok cool. Suapan ketiga, keempat dan seterusnya sampai tiba-tiba udah abis aja tanpa sisa. Pudingnya juga dimakan dengan ritme yang cukup cepat. Sedangkan Apple crumble ku masih sisa sedikit. Aku tipe orang yang mindfull kalau makan, menurutku makanan enak itu ya harusnya dinikmati dengan cara dimakan pelan-pelan. Aku suka heran kenapa orang bisa makannya cepet banget tanpa dinikmati tiap suapannya. Tapi setelah melihat Bhaga memakan masakanku dengan antusias begitu, aku justru senang. Seperti ada kepuasan tersendiri. Aneh. Kayaknya aku harus berpikir ulang pandanganku tentang cara orang menikmati makanan. Bhaga bangkit berdiri mengambil dua gelas air putih. Dia kini yang menungguku menghabiskan dessert-nya. Pasti dia juga pengen tahu reaksiku setelah makan makanan buatannya. "Yas." Panggilnya. Aku mendongak dan menaikkan kedua alisku."Hmm?" "Makasih sarapannya." Aku mengangguk "Sama-sama, makasih juga kemarin udah bantuin aku dan ini." Aku ayunkan mason jar itu ke atas. "Enak." Bhaga terkekeh pelan dan mengangguk. Dia mengantarku sampai depan dan sekali lagi aku mengucapkan terimakasih padanya. Mungkin ini terakhir kalinya aku bertemu dengannya dan aku juga gak berniat bertemu lagi dengannya. Makanya aku selesaikan hutang budiku hari ini juga supaya aku gak terus kepikiran. "Loh say, kok di sini?" aku, tepatnya aku dan Bhaga di kagetkan oleh suara yang tiba-tiba menggema bagai penyanyi seriosa yang lagi cuap-cuap di awal konser. Saat aku menoleh, ternyata ada mbak Sasi memakai baju olahraga dan memasuki gerbang Bhaga yang memang terbuka lebar. Sepertinya dia baru aja lari pagi. Keringat sudah membanjiri wajahnya yang herannya masih tampak flawless. Perawatan kecantikan sultan emang gak diragukan lagi. "Eh halo mbak." Sapaku kikuk. "Kalian..." ucapannya menggantung seraya melihatku dan Bhaga bergantian. "Oh... Kami kerabat lama bu." Ujar Bhaga cepat. Padahal aku udah hampir menjawab kalau Bhaga adalah mantan adik iparku. Tapi dia lebih dulu bilang kalau kita kerabat lama. Yaudah deh bagus. "Oh... iya iya." Mbak Sasi tersenyum lebar dan manggut-manggut. Gesturnya cukup aneh, seperti menyiratkan sesuatu yang aku gak tahu. Atau jangan-jangan dia pikir aku ada apa-apa sama Bhaga melihat aku pagi-pagi udah di rumah lelaki ini. Ya ampun, jangan sampai deh. Semoga mbak Sasi percaya-percaya aja kalau kami memang kerabat lama. ** "Jujur deh, kemarin tuh suara siapa? Kamu kondangan sama seseorang ya? Aku denger jelas loh ada suara cowok pas aku telpon kamu." Anki menatapku tajam dengan gestur yang sangat mengintimidasi tapi sama sekali gak bikin aku jiper. Akhirnya dia menyemburku dengan pertanyaan itu juga. Aku udah memprediksi sejak dia neror untuk aku harus ke rumahnya hari ini juga. Dan aku udah tahu mau jawab apa. "Oh, itu Bhaga." Jawabku santai. Di hadapanku, Anki terdiam dan berpikir sesuatu "Tunggu... Bhaga..." kalimatnya menggantung. Aku yakin Anki juga tahu Bhaga siapa, tapi dia gak mau menyebutkan lebih detail karena mungkin menjaga perasaanku. "Iya." Jawabku tanpa ditanya, seraya membenarkan duduk Yasya di pangkuanku. "Kok bisa!?" "Jadi ternyata, suami dari Aira ini Yudha, sepupunya mas Win. Ya... aku megap-megap dong nyari cara buat kabur dari situ, artinya pasti banyak keluarga mas Win di sana. Gak ada kamu lagi, makin panik. Pas tengah acara, aku mlipir ke kamar mandi, nyari jalan keluar. Eh malah ketemu Bhaga." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN