Bab 4. Aku baik-baik saja

1717 Kata
Oh, aku belum bilang jika aku punya satu karyawan, namanya Jeje, dia flowers enthusias juga. Kadang aku merasa dia bukan hanya karyawan yang membantuku aja, tapi partner diskusi yang asyik apalagi tentang bunga. "Yas, hari ini orderan buket lumayan nih, per tanggal ini aja ada 3 buket pengantin dan 4 buket wisuda." Sehari 7 buket itu sebuah pencapaian untuk Flora, karena biasanya gak sebanyak ini. Paling cuma 2-5 per hari nya tapi premium. Untuk kami yang hanya ngerjain berdua, jumlah ini lumayan banyak, karena kita butuh waktu pengerjaan lebih lama di banding buket biasa. "Waw... syukur deh. Persediaan bunganya masih lengkap kan?" "Ehm, tadi aku udah cek, baby's breath sama mataharinya tinggal dikit, terus anyelir sama daffodil kosong." "Oke, aku hubungi supplier dulu." Aku menuju kasir untuk menelepon supplier dan membuka buku catatan persediaan yang udah Jeje tulis pagi-pagi ini. Dulu, awal buka toko ini, aku harus bolak-balik Jogja-Ambarawa bahkan Malang diantar Sapta untuk membeli persediaan bunga. Tapi semakin kesini, pihak supplier mau mengirimkan langsung. Jadi sistemnya harus pesan dulu tiga hari sebelum kirim, gak bisa langsung karena mereka juga gak tiap hari ke Jogja, jadi sekalian mengirim bunga ke beberapa toko bunga di Jogja. Ada juga beberapa jenis bunga yang tinggal pesan online aja udah bisa langsung antar. Setelah beres urusan supplier, aku mulai menyediakan alat-alat membuat buket. Tang, gunting, pita, lem tembak, kertas tisu, kertas samson dan beberapa tangkai bunga gardenia segar. Ini part favorit, menyatukan bunga, menyamakan tingginya lalu memotong tangkai yang kepanjangan. Seni merangkai bunga gak hanya soal gimana membuat rangkaiannya menjadi bagus dan enak dilihat aja, tapi juga soal menyelaraskan dengan selera pembeli. Percuma kita bikin sebagus mungkin tapi pembeli gak suka. Berasa usaha kita jadi sia-sia. Biasanya kalau ada yang order, kita punya katalog dan mereka tinggal pilih, atau kalau mau yang premium alias bisa request, tentu aku dan Jeje selalu tanya secara detail yang mereka mau yang bagaimana. Kita juga tanya kepribadian orang yang akan menerima atau menikmati bunga ini seperti apa, supaya mempermudah dalam kita menentukan rangkaian dan bunga apa yang mau dipakai. Dari toko bunga ini, ternyata aku gak hanya belajar bagaimana mengelola usaha tapi juga belajar psikologi. Bagaimana enggak? Kita harus pintar-pintar membaca seseorang lalu disamakan dengan bunga mana yang sekiranya cocok dengan karakter dan kepribadiannya. Awalnya sulit tapi lama-kelamaan semua mengalir begitu aja dan aku menikmati prosesnya. Berjibaku dengan bunga-bunga ini membuatku lupa waktu, tiba-tiba udah sore aja dan aku harus mengantar satu buket bunga, sisanya udah diantar Pak Minto, sopir yang aku pekerjakan freelance, alias dia kerjanya kalau ada callingan dari aku atau Jeje ketika ada buket yang minta diantar di rumah dan itu hanya pelanggan VIP aja. Selain itu, mereka bisa mengambil pesanannya sendiri di toko. Setelah mandi sebentar, aku pergi menuju rumah salah satu pelangganku. Dia selalu pesan se-buket bunga lily untuk memperindah rumahnya. Pulang nanti, aku akan mampir sebentar ke rumah Sapta, dua hari gak ketemu kangen juga sama Yasya. Baru aku sadari saat masuk perumahan pelangganku, ternyata ini perumahan elit yang kemarin. Ingat kan? rumah Bhaga, dan aku melewati depan rumahnya sekarang. Otomatis aku menoleh melihat rumahnya. Tampak sepi. Loh, tapi ngapain juga aku peduli? Aku sudah gak berkepentingan lagi dengan dia. "Bunganya selalu cantik deh, suka. Masuk dulu yuk say." Ujar Sasi, perempuan paruh baya bergaya ala sosialita gitu. Tapi dia orang yang ramah dan baik banget. Buktinya setiap mengantar bunga, dia selalu menjamuku dengan hangat. Kadang dibawain rendang buatannya juga, rasanya enak. Kita sama-sama nyambung kalau ngobrolin seputar rumah dan bunga. Tipe-tipe perempuan yang cocok untuk dijadikan teman atau partner. Tapi untuk berteman dekat sampai jadi sahabat, belum deh. Ya, sekarang berteman sewajarnya aja sih, gak terlalu berjarak tapi juga gak in to much. Sebagai pelangganku, aku menghormati dia aja. Prioritasku sekarang bukan lagi mencari banyak sahabat, satu dua cukuplah. "Aku langsung pamit aja mbak, mau mampir ke rumah kakak soalnya." "Oh gitu, yaudah gak apa-apa. Mau bawa nastar gak? Aku tadi bikin loh." Tuhkan, dia pasti nawarin bawa makanan. Aku mau menolak, tapi keburu mbak Sasi buru-buru masuk rumah dan mengambil satu toples nastar "Nih bawa pulang satu. Makasih banget loh say, selalu suka buketnya." "Wah jadi ngrepotin nih. Kembali kasih mbak, aku pamit dulu ya." siapa yang mau menolak makanan enak sih? Aku mampir sebentar membeli martabak di depan gang ini. Yasya paling suka kalau aku bawa martabak dengan toping coklat dan keju. Aku parkirkan mobilku di supermarket. Yah tahu sendirilah skill meyetir ku sangat amatir kalau masalah menyeberang jalan seramai ini. Daripada ada apa-apa dan aku bakalan kena omel Sapta, mendingan turun dan menyeberang jalan kaki. Gak sulit Cuma menyeberang jalan begini. Dulu waktu SMA kan aku jadi anggota PKS (Patroli Keamanan Sekolah) yang tugasnya menyeberangkan teman-teman saat bubaran sekolah. Brugggggghhhhh! Oke, aku menyesali sikapku yang terlalu menggampangkan menyeberang jalan tadi dan menanyakan ke diri sendiri hilang kemana ilmu yang aku dapatkan dari kegiatan PKS dulu? Aku udah terkapar di aspal dengan tangan kiri menyangga badanku. Ya Ampun. Kok bisa sih aku seceroboh ini. Perasaan tadi udah tengok kanan-kiri, aman aja. Motornya juga masih jauh. Pasti karma nih karena aku terlalu sombong. Orang-orang cuma liatin doang lagi. Gak ada yang turun dari motor dan nolongin. Padahal aku berusaha bangkit dan mendapati lenganku perih. Blouse putih yang aku pakai udah robek di bagian lengan dan kena darah. "Yas, kamu gak apa-apa?" Aku merasakan ada yang datang dan memegang pundakku. Nada bicaranya panik. Syukurlah ada yang nolongin. Tapi kok dia tahu namaku? Meski perih, aku tetap punya kesadaran dan mendongak, lalu mendapati Bhaga, berjongkok di sebelahku, pakai kaos abu-abu, celana pendek dan bersepatu. Rambutnya yang ikal basah keringetan, kayaknya dia abis lari. "Ga, tolong bantuin aku berdiri." Ujarku meminta tolong sambil tanganku yang satunya terulur, berharap ia menariknya hingga aku bisa berdiri dan minggir di tepi jalan karena klakson udah banyak dibunyikan di belakang sana, macet. Aku gak suka jadi pusat perhatian begini. Dia cuma mengangguk dan berdiri, aku pikir dia mau menarik tanganku, eh rupanya dia malah menggendongku dan menepi di pinggir jalan. Terus aku dengar beberapa orang ibu-ibu yang masih di atas motornya bilang "Ati-ati mbak makanya, jalanan rame! Bikin macet aja." Mentalku langsung down mendengar ibu-ibu yang berkata ketus itu. Aku udah hati-hati, tengok kanan kiri, nyeberangnya di Zebracross pula. Terus ada motor yang tiba-tiba melaju cepat dan nyrempet aku. Jadi yang patut disalahin siapa? Ah, kadang kita udah hati-hati tapi orang lain yang gak hati-hati. Bhaga lalu bergerak cepat mendekati pintu mobil "Mana kunci mobilmu?" tanyanya. "Ga, turunin! Aku gak apa-apa." "Ck... Mana cepet kuncinya!" Masih dalam gendongan Bhaga, aku susah payah merogoh saku celanaku dengan tangan yang gak terluka dan menyerahkan kuncinya pada Bhaga. Dia lalu minta tolong pak Satpam toko bangunan untuk membukakan pintu mobilku. Bhaga memasukkan aku ke kursi penumpang. Dia buru-buru masuk ke kursi pengemudi dan melajukan mobilnya lumayan kencang sampai tiba di halaman rumahnya. Ngapain sih dia bawa aku ke rumahnya? "Ga, seriously, i'm fine. Aku harus ke rumah Sapta sekarang. Jadi mana kuncinya." Aku meminta kuncinya saat kita sudah sama-sama turun. Kakiku agak gemeteran kaya jelly sebenernya, tapi aku harus ke rumah Sapta. Dia dengan santainya memiringkan kepala lalu sengaja menyenggol lenganku dan otomatis aku menjerit. Perih banget! "Kaya gitu gak apa-apa? Oke kalau gak mau diobatin. Tapi telat dikit, bisa aja infeksi terus semakin parah dan tangan kamu bisa diamputasi karena membusuk. Mau?" Oh yaampun! Apa-apaan sih Bhaga? Mau nakut-nakutin aku kaya anak kecil begitu? Tapi sial, aku jadi takut lagi. Gimana kalau beneran membusuk dan diamputasi? Yang terpikir di kepalaku hanya. aku gak bisa merangkai bunga lagi. Gak bisa gendong-gendong Yasya. Aku belum travelling masa' udah cacat. Gak mau! Kayaknya dia punya kemampuan mempengaruhi pikiran orang deh. Buktinya aku terpengaruh dan berakhir duduk disofa ruang tengahnya. Dia baru kembali dari mengabil kotak P3K dan mengobati lukaku dalam diam. Ya, kami sama-sama diam. Aku juga gak berniat ngobrol banyak sama dia. Gak ada topik yang gak berujung pada masa lalu. Lebih baik aku diam aja. "Kamu tadi mau kemana nyeberang segala?" "Mau beli martabak buat Yasya, anaknya Sapta." Bhaga berjalan di balik meja bar sibuk menyiapkan air panas dan ternyata membuatkan aku secangkir teh. "Nih minum dulu. Aku mau mandi bentar, kamu tunggu sini. Abis itu aku beliin martabaknya." Sebelum aku menjawab, Bhaga udah berjalan dan menghilang di sebuah pintu yang kayaknya itu kamarnya. Rasa deg-degan karena kesrempet tadi belum hilang juga, teh yang dibuatkan Bhaga lumayan bisa sedikit menenangkan. Ditambah ruang tengah ini menghadap pintu kaca lebar dengan pemandangan kolam renang dan gemericik air pancuran. Aku tertarik ke sana tapi aku urungkan. Gak boleh lancang, tadi Bhaga bilang aku harus nunggu di sini aja kan? Aku lagi berpikir untuk gak jadi ke rumah Sapta dengan keadaan dan penampilanku yang kaya gini saat Bhaga benar-benar menyelesaikan mandinya secepat kilat. Dia keluar dengan wajah yang segar dan rambut yang basah serta udah berganti pakaian santai. Dia menghampiriku. "Rasa apa martabaknya?" "Ga, gak udah deh. Aku di tolong begini aja udah makasih. Kayaknya besok aja aku ke rumah Sapta." Bhaga mengangkat satu alisnya. Sekarang dia lebih ekpspresif ya? Coba dulu, ditegur aja cuma bilang hmm..hmm aja, sampai aku mengira dia bukan adik mas Win melainkan adiknya Limbad. "Oh gitu." Jawabnya datar lalu duduk di kursi sebelahku menyugar rambutnya yang memang berantakan karena gak disisir. Hening. Aku menangkup kedua sisi cangkir teh untuk merambatkan sedikit kehangatan di tengah ruangan yang AC-nya lumayan dingin ini. blouse yang aku pake juga terlalu tipis makanya aku agak kedinginan. Mataku mulai melihat-lihat sekitar. Memperhatikan lagi desain rumah Bhaga yang Cozy banget ini. "Rumah kamu cozy banget." "Aku suka rumah yang nyaman." Bibirku membentuk huruf O dan manggut-manggut. Memang iya sih, aku juga sekarang lagi pelan-pelan mendekor rumahku sedemikian nyaman. Terakhir, aku beli dua bean bag untuk di ruang tengah dan satu lagi ku taruh di halaman samping untuk bersantai sambil baca buku. Rencana aku juga mau ganti bathup yang agak lebaran supaya lebih nyaman pas pengen berendam. "Yas, Are you okay now?" Sempat diam mencerna, Aku rasa pertanyaannya yang satu ini bukan tentang keadaanku sehabis kena srempet motor ini, tapi lebih dari itu. Dia terkesan menanyakan keadaanku sekarang setelah apa yang aku lalui selama ini. Ya aku cuma bisa jawab "Hmm... I,m okay now." Sambil tersenyum simpul. Meski sebenernya kadang perasaanku masih suka flip dan merasa aku belum bisa menjadi orang yang betul-betul baik-baik aja. Aku kan juga manusia biasa. Bhaga terdiam menatapku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN