From : Yunara
Mas punya pacar, kata Om Tyo, Mas nginep di Hotel sama cewek.
Arron berdecak kesal, dia baru mendapat pesan dari adik perempuannya dan satu-satunya, adik tersayangnya.
Arron mencoba membalas pesan adiknya, tapi pria itu urungkan, dia hapus dan berpikir sesaat. "Percuma jelaskan kalau Jesyca hanya calon asisten pribadiku, dia tak akan percaya," gumam Arron yang kemudian memilih mengabaikan pesan sang Adik.
Arron segera menuju shower, dia menyalakan air hangat dan menikmati benda cair itu merelaxan pikirannya.
Tiba-tiba, bagaimana pertemuannya dengan Jesyca kemarin malam terlintas dalam pikirannya. Wajah cantiknya yang berbeda dari wanita di sekitarnya, mata kebiruannya, rambut coklat pirangnya, wajah putihnya, benar-benar mempesona. Belum lagi poster tubuhnya yang terlihat begitu pas baginya.
Arron menghela napasnya, lalu dengan kesal mengganti air hangat yang tadi mengguyur tubuhnya menjadi air dingin, dia tak mau repot seperti sebelumnya.
Sementara itu di luar, Jesyca baru memasuki kamarnya. "Kamarnya luas juga, nyaman."
Jesyca tersenyum, dia merasa, kehidupannya akan berubah mulai sekarang, dia merasa akan bisa mencapai mimpinya. "Aku akan sambil mencari Perusahaan Papa, dan suatu saat melamar di sana, aku harus cari tahu alamat Papa Dimas di London," ucapnya.
Jesyca mengerutkan keningnya. "Atau, jangan-jangan mereka sudah kembali, aku harus cari, dan Farel ...."
Jesyca kemudian duduk di ranjangnya, kemudian merebahkan tubuhnya dan tersenyum lebar. "Seperti apa ya Farel sekarang? Apa aku akan mengenal dia kalau ketemu? Dia pasti di sini, kan? Atau sedang kuliah di luar negeri?"
Jesyca kemudian merubah posisi menjadi tengkurap. "Apa dia rindu padaku, dia pasti sangat tampan, seperti papanya, Om Raffa," gumam Jesyca.
Jesyca kembali telentang. "Ya Tuhan, aku sangat merindukan mereka, dan Jason, Difia, adik-adikku."
Jesyca menangis, teringat saat dia mengejar mobil Papa Dimas di kampung dulu.
'Pa, tunggu Cika, Pa!'
"Papa, kenapa Papa tak dengar Cika memanggil?" gumamnya.
Jesyca terus memejamkan matanya, dia tak mau menangisi lagi penyesalannya di masa lalu. Tak ada gunanya, sekarang yang harus dia lakukan adalah, berjuang, mengejar kebahagiaannya. Dia tak ada impian, selain bisa bertemu Papa Dimas, Mama Difa dan adik-adiknya.
Keesokan harinya, Jesyca membuka matanya, saat dia merasa sinar matahari yang cukup mengganggu matanya.
"Emh, jam berapa sekarang?" gumam Jesyca.
Perlahan, dia membuka matanya dan memejamkan matanya kembali. "Ternyata sudah siang," gumamnya.
Dan saat itu, Jesyca tersadar, di mana dia sekarang, juga teringat dengan semua yang sudah terjadi. "Astaga!"
Dengan panik, Jesyca langsung melompat ke tempat tidur, dia ketiduran semalam saat mengingat semua perjalanan hidupnya yang penuh akan penyesalan.
"Roti bakar," gumam Jesyca sambil keluar dari kamar.
Tiga langkah saja dari pintu kamarnya, Jesyca sudah berada tepat di depan meja makan. Di sana sudah ada Arron yang tengah menggigit roti bakar di mulutnya.
"Ma-maaf, aku sangat lelah, semalam timur, dan ba-baru bangun," ucap Jesyca gugup, dia sudah membuat kesalahan di hari pertamanya bekerja.
Arron minum jus paginya, pria yang sudah telihat begitu rapi dengan kemeja putih, juga rompi abu-abu, dasi berwarna navy yang tampak begitu elegan, Arron terlihat begitu gagah dan tampan.
Pria itu lalu menatap pada Jesyca, dia sedikit mengerutkan keningnya saat melihat mata bengkak wanita di depannya. Niat marahnya, seketika lenyap begitu saja, berganti rasa iba dan penasaran akan apa yang membuat Jesyca yang dia yakin menangis semalam.
"Maaf," ucap Jesyca sekali lagi, dia takut gagal diterima bekerja.
Arron menghela napasnya panjang. "Kau, boleh istirahat hari ini, ah ya, nanti kau pergilah belanja pakaian kerja, bekerja denganku kau harus rapi, dan modis, meski aku butuh kau gerak cepat, tetap jangan pakai sepatu flat, pakai high hils, jadi pastikan kau tak membuat kesalahan di masa depan!"
"Oh, ya, baiklah." Jesyca menghela napasnya, merasa permintaan Affan terlalu banyak padanya.
"Em, tapi ngomong-ngomong, berapa gajiku? Maaf, maksudnya, aku harus menyesuaikan pengeluaranku dengan pendapatanku nanti, aku tidak mau rugi, besar pasak dari pada tiang," ucap Jesyca.
"Aku tak akan menjelaskan soal gaji, semua sudah diatur oleh Perusahaan, yang jelas, kau tak akan kecewa dan mengeluh nanti."
Kemudian, Arron mengeluarkan dompetnya dan mengambil satu kartu lalu menyerahkan pada Jesyca. "Gunakan itu untuk membeli pakaian atau apa saja kebutuhanmu, sisanya gunakan untuk membeli kebutuhanku, juga apartement ini!"
Jesyca ragu-ragu mengerutkan keningnya. "Kenapa aku serasa istri yang lagi dinafkahi oleh suamiku?" gumamnya yang masih didengar oleh Arron.
"Jangan berpikir macam-macam, Cinderella itu hanya dongeng, jangan berharap hal lain selain pekerjaan!" ujar Arron.
"Ish, pede banget, kau juga bukan tipeku," gumam Jesyca, dia masih berharap suatu saat bisa bertemu dengan Farel, seseorang, pria yang dia pikirkan selama ini. Bahkan di masa remajanya, Jesyca selalu membayangkan Farel adalah kekasihnya.
Tambatan hatinya yang tak dia tahu, seperti apa rupanya sekarang, tapi dia yakin, Farel pasti sangat tampan dan baik tentunya.
"Sudah, aku harus ke kantor, dan pulang malam, tak usah menungguku."
Arron bangkit dan mengambil jas kerja, serta tas berisi banyak berkas pekerjaannya, meninggalkan Jesyca yang tampak memikirkan apa saja yang akan dia lakukan hari ini.
Setelah mendengar pintu apartemen ditutup, Jesyca langsung duduk di kursi bekas Arron tadi, dia ambil satu lembar roti bakar sisa milik Arron dan memakannya. "Dia baik, tapi gak tau kenapa, auranya nyebelin," gumamnya.
Jesyca menatap penuh binar pada kartu di tangannya. "Berapa limitnya ya?" gumamnya.
"Oh, aku juga butuh ponsel, HPku dah jadul, ramnya kecil, akan susah buat kerja nanti, gak apa kan ya aku beli HP baru juga?"
"Tunggu, aku bahkan belum punya nomor Arron?"
Sementara Arron di mobilnya, pria itu baru menerima pesan dari ayah dan ibunya yang meminta dia untuk datang ke rumah saat makan malam nanti.
Arron menghela napasnya panjang, rasanya dia enggan untuk pulang ke rumah, teringat dengan sesuatu yang membuat dia merasa sakit hati dan penuh penyesalan di masa lalu.
'Jika kau berani pergi dengannya, Papa akan cabut semua fasilitas yang kau pakai!'
'Gak, aku gak mau seperti ini, hentikan mobilnya Arron.'
'Tidak bisa, aku tidak mau dipisahkan denganmu.'
'Ya, tapi tidak dengan cara seperti ini.'
Arron memejamkan matanya, dia mencoba menghalau ingatan buruk yang kembali muncul dalam pikirannya, dia tak mau mengingat itu, setidaknya di pagi hari seperti itu, dia tidak mau harinya berubah buruk karena ingatan masa lalu itu.
Tidak mau mengingat semakin jauh dan menyakitkan, Arron lantas menyalakan mobilnya dan menjalankannya, meninggalkan area basement apartemen, dia harus bekerja, menyibukan dirinya, untuk melupakan segala kesakitan dalam hatinya.
Dan tidak lama kemudian, setelah mobil MWB hitam Arron pergi meninggalkan area apartemen, ada sebuah mobil serupa yang berhenti di halaman parkir apartemen Arron.
Di dalam mobil itu, ada seorang wanita yang baru saja melepaskan kacamatanya, dia menatap pada lobi apartemen di depannya.
"Jadi perempuan itu pun tinggal bersamanya di apartemen ini?"