1. Hutang Ayah
"Hutang Ayah kamu banyak sama Mama, jadi kamu harus membayarnya, paham!" ujar Mama Elvi.
"Hutang?" tanya Jesyca tak mengerti, dia tak pernah mendengar ayahnya mengeluh tentang hutang padanya.
"Ya, hutang untuk modalnya coba-coba usaha dulu, terus hutang pengobatan dia tiga tahun terakhir, kamu pikir, itu semua bayar pake apa? Daun? Ayahmu punya warisan?"
Mama Elvi berdecak dan menyilangkan kedua tangannya. "Ayah kamu nikah sama saya, cuma modal laki doang, mana pernah dia nafkahin, percuma lulusan dokter, dia tidak bisa praktek lagi gara-gara jadi mantan napi."
Jesyca terus menggelengkan kepalanya. "Berapa Ma, nanti Jesy yang bayar setelah dapat kerja, tapi please Ma, jangan jelekin ayah dan jangan nikahkan Jesy, Jesy masih punya banyak cita-cita!"
"Cih, nunggu kamu dapat kerja keburu jamuran itu hutang, udah terima aja, yang mau nikahin kamu itu orang kaya, punya perusahaan ekspor impor, ya meski sudah tua tapi duitnya banyak."
Jesyca dengan cepat langsung kembali menggeleng, dia tentu saja menolak rencana gila Mama Elvi terhadapnya.
"Gak mau Ma," ujar Jesyca. Kemudian, gadis itu langsung mengambil kopernya dan siap untuk pergi.
"Eh mau kemana kamu?"
"Pergi, Jesy gak mau nikah."
"Gak, kamu harus nikah, Mama butuh uang buat bayar hutang." Mama Elvi mendorong Jesyca hingga gadis itu tersungkur di ranjangnya. Kemudian Mama Elvi keluar kamar dan mengunci pintunya.
"Ma buka pintunya, Jesy gak mau nikah, buka pintunya Mama!" seru Jesyca mencoba membuka pintu kamarnya yang dikunci dari luar. "Ma, tolong buka pintunya, Jesy gak mau nikah!"
Jesyca luruh ke lantai, dia menangisi nasibnya. Gadis itu benar-benar tak menyangka kepulangannya akan berakhir seperti ini.
Flashback on.
Seorang gadis berambut coklat dan bermata biru tengah menatap haru pada sebuah map di tangannya, saat ini dia tengah berada di dalam sebuah taksi yang akan membawa dirinya pulang ke kampung halamannya.
Dia ingat, saat itu ayahnya berkata padanya. "Jesy, Ayah bangga padamu Nak, karena kamu bisa mendapatkan beasiswa itu, Ayah sangat bangga padamu."
"Iya Ayah, kelak aku akan tetap jadi Sarjana dan membuat Ayah bangga." Saat itu, Jesyca begitu penuh tekad di dalam hatinya.
Jesyca Amora nama gadis itu, dia menarik nafasnya panjang, hari ini dia pulang dengan membawa hadiah untuk Ayahnya, sebuah hadiah yang gadis itu janjikan pada ayahnya, yaitu berupa keberhasilannya menyelesaikan kuliahnya.
"Pak, nanti sampai di gerbang desa berhenti sebentar ya!" ujar Jesyca pada supir taksi di depannya.
"Baik Non."
Gadis itu tersenyum, lalu menatap keluar jendela taksi yang di tumpanginya. Hari ini dia sudah bisa membuktikan pada mereka yang meremehkannya di masa lalu.
Saat itu, Mama Elvi sang ibu tiri, meragukannya. "Untuk apa kuliah, dari mana uangnya, Ayahmu saja banyak hutang, berkali-kali usaha gagal terus."
"Kuliah itu hanya untuk anak orang kaya, bukan anak penggangguran seperti ayahmu!"
Jesyca kembali menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya perlahan, ingatan bagaimana masa lalu saat dirinya dihina dan diremehkan untuk sebuah impian yang dianggap tidak mungkin oleh orang lain, kini dia bisa dengan bangga, membuktikan kepada mereka yang meremehkannya, bahwa apa yang menjadi impiannya bisa dia wujudkan tanpa bantuan mereka semua.
Karena gadis itu selalu yakin, jika apapun bisa didapatkan selama dia memiliki tekad yang kuat untuk mewujudkannya.
"Mau berhenti di mana Non?" tanya supir taksi dengan kumis cukup tebal itu.
"Di depan Pak, itu di sana sedikit lagi ... ya disini. Saya turun dulu ya Pak, Bapak tunggu sebentar nggak lama kok," ujar gadis itu, setelah itu dia pun turun dari taksi.
Jesyca kemudian memasuki sebuah gapura kecil, dilepasnya sepatu yang dia kenakan dan dengan tanpa alas kaki, dia melangkahkan kaki menyusuri jalan kecil menuju tempat yang akan menjadi tujuannya.
Hingga tak lama kemudian gadis itu menghentikan langkahnya. Matanya menatap dalam pada batu kecil bertuliskan nama seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya. "Alvian Pratama."
Gadis berambut coklat itu menghapuas air matanya yang tak tertahan, hari ini adalah hari bagagia, dia tak boleh menangis.
Kemudian, Jesyca berjongkok dan mulai mengusap batu nisan dengan nama mendiang ayahnya sebelum dia kecup batu nisan kecil itu.
"Apa kabar Ayah?" tanya gadis itu. "hari ini Jesy datang hanya untuk ayah, Jesy datang membawa janji yang Jesy buat pada ayah beberapa tahun lalu, lihat Ayah ... Jesy lulus dengan nilai terbaik, Ayah pasti bangga pada Jesy, kan? Jesy mampu menyelesaikan kuliah dan jadi salah satu sarjana dengan nilai terbaik di kampus."
Flashback off.
Jesyca kembali menarik nafasnya panjang dan menghembuskan perlahan agar isak tangisnya mereda, dia tahu, tangisnya itu tak akan menolongnya, dia hanya bisa memeluk lututnya, mencoba menahan tangisnya. Apa yang terjadi, mau tidak mau kembali membawanya ke dalam penyesalan di masa lalunya.
Jesyca menangis. "Papa, tolongin Jesy Pa ...," lirih gadis itu terdengar begitu pilu.
Jesyca terus memeluk lututnya, dia bersandar di belakang pintu kamarnya yang terkunci, masih menangisi nasib buruknya dan kembali menyesali keputusannya di masalalu, keputusan yang terus dia coba untuk tak di sesalinya, nyatanya setiap masalah datang mendera, hati kecilnya kembali membuka penyesalan itu.
"Harusnya Jesy memilih Papa dulu hiks ... Ayah, Jesy sudah rela memilih Ayah dari pada Papa, tapi kenapa Ayah meninggalkan aku?" gumam Jesyca yang tak bisa menahan tangisnya.
Jesyca masih terus menangis, tak tahu mau ke arah mana dia bawa dirinya itu. Hingga sesaat kemudian, dia mendengar suara dari balik jendela kamarnya.
Gadis itu mengerutkan keningnya, dia yakin ada seseorang yang mengetuk jendela kamarnya, dengan rasa penasaran dan ragu-ragu, Jesyca pun lalu memberanikan diri untuk menghampiri jendela kamar itu.
"Si-siapa?" tanya Jesyca cemas.
"Buka!" jawab seseorang di luar jendela.
Jesyca mengerutkan alisnya, dia merasa tak asing dengan suara berat seorang pria di luar jendelanya.
"Buka!" ujar suara berat itu yang seperti ditahan agar orang lain tak mendengar.
"Ya, ya tunggu." Kemudian, Jesyca mencoba membuka daun jendela itu. "oh, dikunci," ujarnya, lalu dia berbalik, mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk membantunya.
"Kursi itu!"
Ada sebuah kursi dalam kamar itu, dia ambil kursi meja belajarnya, lalu naik ke atas kursi itu untuk membuka kunci jendela yang berada di atas.
"Bang Bima," gumam Chika.
Jesyca cukup kaget melihat kakak tirinya di depan jendela kamarnya, pria kekar dengan kaos hitam dan celana jins lusuh itu memegang sebuah obeng di tangannya.
"Cepat ganti baju, aku akan bantu kamu kabur dari sini!" ujar Bang Bima sambil sesekali menoleh ke belakang.
"Tapi ... gimana caranya?"