"Kemana saja yang penting aman untukmu dulu, jauh dari mereka," jawab Bima yang kemudian menyalakan motornya dan pergi dari tempat itu.
Jesyca dengan perasaan takut, dia langsung memeluk pinggang Bima, sesekali melihat ke belakang, takut ada yang mengejar mereka.
'Ya Tuhan lindungilah kami,' batin Jesyca.
Cukup lama mereka berkendara menyusuri jalanan menuju kota Samarinda. Kata Bima di sana ada temannya yang akan pergi ke Jakarta dan dia akan menitipkan Jesyca pada temannya itu.
Jesyca sempat bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba Bima bisa baik padanya, menyelamatkannya dari rencana pernikahan yang diatur sepihak oleh Mama Elvi tanpa persetujuannya.
Mama Elvi mengatakan soal hutang ayahnya padanya. Jika suport seorang istri dikatakan sebagai hutang, maka tentu sebagai anak ayahnya, adalah menjadi kewajibannya membayarkan hutang tersebut supaya ayahnya yang telah meninggal dunia bisa tenang di alam sana. Akan tetapi bukan dengan cara yang Mama Elvi rencanakan.
Saat ini tekad Jesyca semakin kuat untuk menggapai mimpinya, sukses dan kelak akan dia bayar semua yang dianggap hutang oleh wanita yang dinikahi ayah Alvian 10 tahun lalu itu.
Tiba- tiba Bima menghentikan laju motornya membuat Jesyca bingung. "Kenapa Bang?" tanya Jesyca penasaran.
Bima menghela nafasnya. "Jika memungkinkan, kaburlah!" ujar Bima pada adik tirinya, sambil pria itu turun dari motor, Jesyca pun mengikutinya.
Rupanya di depan mereka ada dua buah mobil Jeep dan beberapa saat kemudian turun beberapa pria kekar yang langsung menyerang Bima.
Jesyca begitu ketakutan, dia hanya bisa mundur perlahan, tetapi sia-sia, ada dua orang langsung mencekal lengannya dan menyeretnya masuk ke dalam mobil jeep.
"Lepas," pinta Jesyca pada dua orang itu. Namun, permohonan itu hanyalah sia-sia sampai dia rasakan tiba-tiba sakit di kepalanya yang perlahan menghilangkan kesadarannya, di sisa-sisa kesadaran itu, Jesyca melihat Bima terkapar lemah di jalanan, pria itu telah kalah dengan pertarungan yang tak seimbang itu.
Entah berapa lama Jesyca tak sadarkan diri, saat ini dia sudah berada di sebuah kamar yang tak dia kenali, kamar dengan banyak hiasan, juga tira-tirai yang menandakan kamar itu adalah sebuah kamar pengantin.
Hingga tak lama kemudian, sebuah televisi di kamar itu menyala dan menampilkan seorang pria lebih dari paruh baya bahkan sudah lanjut usia, yang tengah menjabat tangan seseorang di depannya dengan sebuah kopyah hitam.
Mata Jesyca membulat, satu dugaan tiba-tiba muncul di benaknya, belum lagi dia yang saat ini sudah berganti pakaian adat, sebuah kebaya berwarna kuning dengan ciri khas pakaian adat Banjar.
"Sudah sadar, baguslah lihat itu, sebentar lagi kamu akan jadi istri orang kaya, hutang ayahmu lunas dan kamu bosa hidup enak," ujar Mama Elvi yang baru saja masuk ke dalam kamar.
"Ma, kenapa tidak Mama saja yang menikah dengannya?" tanya Jesyca. Karena menurutnya Mama Elvi yang lebih pantas menikah dengan laki-laki tua itu.
"Sembarangan kamu, dia maunya daun muda seperti kamu, percaya deh, nanti kamu bakal jadi istri kesayangannya, kamu cantik, bule lagi, dia sangat tertarik sama kamu."
"Sah."
Jesyca langsung menoleh dan seketika air matanya langsung mengalir, pertahanannya tak berarti, semua mimpinya baru saja direnggut paksa darinya.
"Nah akhirnya kamu sudah sah jadi istri Pak Baron, akhirnya aku kaya lagi!" seru Mama Elvi sebelum keluar kamar yang kini Jesyca tempati dan lagi-lagi dia mengunci pintunya.
Jesyca hanya bisa menangis seorang diri di kamar itu, menangisi segala nasib buruknya selama ini.
Gadis itu benar-benar telah kehilangan asa, hidupnya tak ada artinya lagi, hingga rasanya dia ingin mengakhirinya malam ini.
"Bang Bima," gumam Jesyca.
Harapannya akan ada yang menolongnya lagi, kabur dari tempat itu sia-sia, saat teringat keadaan Bima saat mereka berpisah.
"Ya Tuhan, bagaimana keadaan Bang Bima saat ini, semoga dia baik-baik saja," ucap Jesyca.
Sampai kemudian, pintu kamar terbuka, gadis itu pun langsung menoleh dan seketika dia merasakan tegang.
"Mana kesayanganku," ujar seseorang yang rupanya pria tua yang baru saja mengucapkan ijab qobul atas nama Jesyca tadi, dia Pak Baron yang secara sah telah menikahi Jesyca tadi.
Jesyca menggeleng saat dia melihat pria tua itu mulai membuka pakaianya, sementara Jesyca yang terus menangis hanya bisa menggelengkan kepalanya, sambil bangkit dan berdiri di sudut ranjang yang berseberangan dengan Pak Baron.
"Tidak Pak, aku mohon jangan, aku gak mau jadi istri Bapak, aku mohon jangan ...," pinta Jesyca memelas.
"Enak saja ... aku sudah membayar mahal untuk menjadikanmu istriku, sini jangan lari, malam ini kamu harus melayaniku, lahirkan anak-anak dengan mata biru sepertimu."
Jesyca terus menggeleng, hingga dia semakin takut saat pria itu naik ke atas ranjang dan berusaha meraihnya. "Tidak, jangan Pak, aku tidak mau!"
Pak Baron naik ke ranjang, dia berusaha meriah tubuh istri barunya, sampai kemudian, pria tua itu memegang dadanya.
"Arggghhh ...."
Jesyca mengerutkan keningnya saat tiba-tiba dia melihat Pak Baron memegang dadanya, hingga tak lama pria itu luruh hingga terbaring di ranjang.
Jesyca yang ketakutan terjadi sesuatu pada Pak Baron langsung berlari keluar dan berteriak meminta pertolongan.
"Tolong, tolong ...!" teriaknya.
Hingga orang-orang datang ke kamar itu, di susul suara tangis beberapa perempuan yang mungkin mereka adalah tiga istri pak Baron yang lain.
"Apa yang sudah kamu lakukan hah?" tanya seorang wanita dengan tahi lalat di atas bibirnya, seorang yang tampak begitu berani dan lebih tua dari dua lainnya.
"Mbak, Bapak Mbak!" seru seseorang dari dalam kamar yang langsung menarik yang lainnya masuk ke dalam kamar.
Sementara Jesyca, dia hanya mampu terdiam, berdiri bersandar pada dinding. Dia benar-benar masih syok atas apa yang terjadi dalam sekian waktu yang singkat.
Jesyca tersentak saat tiba-tiba mendengar tangisan serempak dari dalam kamar yang terus memanggil nama Pak Baron.
"Pak, bangun Pak, jangan pergi."
Jesyca memejamkan matanya, dia tahu apa yang terjadi dengan gelagat Pak Baron yang memegang dadanya tadi, pria tua itu pasti terkena serangan jantung.
Malam itu, di malam pengantin yang tak Jesyca harapkan, entah bisa dia sebut sebagai sebuah keberuntungan atau tidak, malam itu pria yang belum ada satu jam menikahinya, dia terkena serangan jantung dan di nyatakan meninggal dunia.
"Aku, berstatus janda sekarang?" gumam Jesyca, dia benar-benar tak percaya, statusnya berubah dua kali hanya dalam hitungan menit.
Jesyca menunduk, dia merasa, hidupnya selalu tak sejalan dengan impiannya, dia sering kali dipaksa menerima takdir yang begitu mengejutkannya. Sejak kecil seperti itu, mulai dari kenyataan dia bukan anak kandung papanya, menerima pria asing menjadi ayahnya, dan yang sekarang?
"Dasar pembunuh! Apa yang kau lakukan pada suami kami, huh!"