16. Pelit

1010 Kata
"Ini kartunya Mas." "Terima kasih." Pria di samping Jesyca itu tersenyum, lalu kembali bertanya. "Maaf, bukan maksud sok kenal, hanya saja serius, wajahmu tidak asing," ucapnya. Jujur, Jesyca pun merasa dia tak asing, mau menebak bahwa dia adalah Farel, takut salah orang karena dulu, dia pernah salah orang. Sudah sangat lama, hampir 15 tahun berlalu, pasti sudah ada banyak perubahan pada fisik seseorang. "Ah, Mas mau kenalan?" tanya Jesyca, bisa saja pria di depannya modus belaka. "Ah, ya sebentar." Jesyca hanya diam, menatap pada pria tampan di depannya yang tiba-tiba mengambil ponselnya yang bergetar, ada panggilan masuk ke dalam ponselnya. "Ya sudah, aku pergi dulu ya," pamit pria itu tiba-tiba membuat sudut hati Jesyca merasa kecewa. "Halo sayang ...," ucap pria itu. Bertambahlah kecewa di hati Jesyca. "Kan, dia punya kekasih, dasar playboy, orang sudah punya kekasih mau sok kenal sok dekat sama perempuan lain," gerutu Jesyca yang kemudian keluar dari restoran itu. "Untung aku tidak nebak dia Farel, mana mungkin Farel playboy gitu." Jesyca pun berniat melangkahkan kakinya, tapi tiba-tiba seseorang memanggilnya membuat wanita itu pun berbalik. "Arron," ucap Jesyca, dia cukup terkejut mendapati calon bosnya berada di depannya. Pria itu terlihat tergesa-gesa menghampirinya, lalu mengambil paper bag di tangan Jesyca dan memeriksa isinya. "Kenapa?" tanya Jesyca. "Kau belanja ini semua?" tanya Arron. "Iya, kenapa?" tanya Jesyca gugup, dia khawatir Arron tidak menyukai seleranya atau mempermasalahkan pilihannya. Arron tiba-tiba mencengkeram erat lengan Jesyca. "Kau belanja banyak sekali, mau merampokku?" Mata Arron terlihat menatap nyalang pada Jesyca membuat wanita itu semakin gugup. "A-apa aku salah?" tanya Jesyca takut. Arron yang kesal pun langsung melepaskan cakraman tangannya pada lengan Jesyca, dan dia pun berdecak kesal sambil berkacak pinggang. "Kau mempermasalahkan uang yang aku gunakan, kau sendiri yang bilang aku boleh menggunakan isi dari kartumu," ujar Jesyca. "Iya, tapi tidak sebanyak itu." Arron memijat kepalanya. Jesyca pun mengerutkan keningnya. "Apakah kau orang yang pelit?" tanya wanita itu. "Apa?" Mendengar kata pelit yang dituduhkan Jesyca padanya, Arron pun tersinggung. "Tidak, tapi semua harus ada hitungannya!" "Apa? Apa maksudmu, aku harus mengganti uang yang aku pakai?" tanya Jesyca tak menyangka. "kau sendiri yang meminta aku mencari pakaian yang berkualitas, supaya aku tidak membuatmu malu, kalau aku suruh ganti, aku tidak mau, ayo ke tokonya tadi, biar ini di kembalikan saja, minta uangnya balik," ujar Jesyca dengan kesal, dia pun berbalik, bersiap pergi. Sungguh, Jesyca tidak menyangka jika pria kaya di depannya begitu pelir rupanya. "Tunggu," ujar Arron, dia langsung menahan tangan Jesyca. "Pokoknya, aku nggak mau ganti," ujar Jesyca dengan tegas. "Ya, iya baiklah, tidak usah ganti, tapi tidak perlu membuatku malu dengan kembali ke toko itu." Arron pun menyerah meski ada rasa tak rela di hatinya. Jesyca pun tersenyum puas. "Nah, gitu dong!" ucapnya lega. 'ternyata dia bukan cuma pelit, tapi gengsian,' imbuhnya di dalam hati. "Kau sudah selesai, kan belanjanya?" tanya Arron dan Jesyca menganggukan kepalanya. "Hm, iya sudah," jawab Jesyca. "Bagus, ayo aku antar pulang." "Eh, aku bisa pulang sendiri," ujar Jesyca, dia kurang nyaman setelah salah karena membelanjakan uang Arron begitu banyak. "Nggak, yang ada nanti kau belanjakan kartuku lagi," ucap Arron. "Ish, kau pelit banget rupanya," kesal Jesyca yang kemudian pergi meninggalkan Arron. "pantas jomblo akut," gumamnya teringat dengan apa yang Yunara ceritakan tadi pagi dengannya. *** "Siapa yang mengatakan padamu kalau aku jomblo?" tanya Arron begitu mereka sudah dalam perjalanan menuju apartemen. "Hm, adikmu tadi pagi datang," jawab Jesyca. "Dia, mengira kalau aku itu pacarmu, untung aku bisa menjelaskan. Aduh apa harus ya aku tinggal di apartemenmu?" tanya Jesyca. "Kau bisa mencarikan aku tempat tinggal lain, bukan? Atau unit apartemen lain yang masih satu gedung dengan apartemenmu, yang penting tidak tinggal serumah." "Kenapa?" tanya Arron. "Dengar, aku mau kau tinggal di rumahku, agar kau bisa memahami segala kebiasaanku. Karena aku butuh asisten pribadi yang kompeten dalam waktu dekat!" "Ya aku tau, tapi tinggal serumah, akan bisa menimbulkan persepsi salah nanti, dengar Tuan Arron Dias Aksara yang terhormat, kita ini bukan sepasang kekasih, apalagi suami istri, bagaimana bisa kita tinggal bersama?" "Tadi pagi saja aku sudah dikira macam-macam, dikira aku wanita yang gampangan atau wanita panggilan." "Kenapa kau terima Yunara masuk?" tanya Arron. "Aku tidak menerimanya, dia sendiri yang bisa masuk. Aku aja kaget ada orang yang tiba-tiba masuk, aku kira dia kekasihmu atau istrimu." "Aku sudah takut setengah mati, nanti dikira aku perebut suami orang." "Tenang saja, itu tidak akan terjadi lagi," ujar Arron. "Aku tidak akan membiarkanmu cari tempat tinggal lain sementara waktu, aku butuh asisten pribadi yang kompeten." "Maka dari itu, kau lekaslah belajar memahami segala kebiasaanku! Baru nanti, kau boleh pindah!" Arron benar-benar tidak mau kehilangan asisten pribadinya lagi kali ini. Jesyca harus bertahan setidaknya satu tahun ke depan, tidak seperti sebelumnya, yang maksimal hanya tiga bulan mereka bertahan, lalu mengundurkan diri. Tidak lama kemudian mobil Arron memasuki area apartemen, hingga di depan lobi, pria itu tidak ikut turun dengan Jesyca. "Kau tidak pulang dulu?" tanya Jesyca. "Aku masih ada meeting satu jam lagi," jawab Arron. "Hm, baiklah." "Oh ya, mau di masakin makan malam apa?" tanya wanita itu. "tenang saja, aku cukup pandai masak." "Tidak perlu, lagian kita belum belanja, tidak usah menyiapkan makanan, kau pesan saja untuk dirimu sendiri, aku akan pulang larut malam!" ujar Arron. Arron menghela napasnya perlahan. Entah kenapa dia merasa ini sudah berlebihan. Kenapa dia seperti pamit pada seorang istri, dari pada calon asisten pribadinya. "Ya sudah, kalau begitu aku keluar!" Jesyca langsung keluar dari mobil itu setelah melepaskan satu pengamannya. Dan setelah itu, Arron di dalam mobil kembali membuang nafasnya dengan kasar, dan segera menjalankan kendaraannya itu pergi dari hadapan Jesyca. "Huft, ternyata ... aku kira dia sempurna, tinggi, tampan, baik dan kaya, kenapa pelit sih?" gerutu Jesyca sebelum wanita itu berbalik dan berniat masuk ke dalam apartemen. Memasuki lobi apartemen, Jesyca menyapa security dengan ramah. Namun, setelah mendekati lift, dia menghentikan langkahnya, wanita itu terdiam saat seseorang yang berwajah tidak asing baginya, baru saja keluar dari dalam lift. Bahkan, saking tidak asingnya, Jesyca masih ingat aroma parfum seseorang yang dia lihat di dalam mall belum ada satu jam yang lalu. "Eh, dia kan pria di restoran tadi?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN