"Di mana ijazahku, juga KTP, dompet dan uangku?"
Jesyca benar-bebar tak menyangka jika dia akan kehilangan benda berharga miliknya.
"Mana aku tahu," jawab Sista.
Jesyca tak bisa terima ini, baginya ijazahnya adalah separuh nyawanya. Perjuangannya tidaklah mudah untuk mendapatkan benda itu. Wanita itu kemudian menghampiri Risa dan Sista.
"Kembalikan ijazahku!" ujar Jesyca, dia cengkeram erat lengan Risa yang terbuka.
"Ah ...."
Namun, tiba-tiba Sista menjambak rambutnya. "Berani-beraninya kau bule kampung melawan kami, huh!"
"Ah, sakit, aku ... aku gak akan tinggal diam, kembalikan ijazahku!"
Jesyca berusaha melawan, dia membalas menjambak rambut Sista. Melihat itu, Risa tak tinggal diam, wanita itu juga melakukan hal yang sama pada Jesyca, dua lawan satu, tentu Jesyca kalah jumlah dan tenaga.
"Ada apa sih ribut-ribut?"
Jesyca, Sista dan Risa, sama-sama menoleh ke arah pintu, Bu Ajeng baru saja keluar dari rumah saat itu, Sista dan Risa sama-sama melepaskan jambakannya pada Jesyca.
Sementara Jesyca, dia pun langsung menatap kesal pada Bu Ajeng, padahal sebelumnya dia cukup menghormati istri pertama Pak Baron itu.
"Kau pulang?" tanya Bu Ajeng.
"Bu Ajeng tidak usah pura-pura, Bu Ajeng juga kerjasama kan dengan mereka, menjebakku?" tanya Jesyca.
Bu Ajeng pun terdiam, dia hanya melirik pada Sista dan Risa. "Masuklah, biar aku jelaskan di dalam," ujar Bu Ajeng.
Kemudian, akhirnya ragu-ragu Jesyca masuk ke dalam rumah. Kini, keempat janda Pak Baron itu duduk di ruang tamu, saling berhadapan dan masih saling diam.
Sampai Bu Ajeng membuka suaranya. "Suami kita meninggal dengan meninggalkan hutang yang teramat banyak," ujarnya.
"Pria yang semalam bersamamu dia berjanji akan membantu melunasi separuh hutang suami kita, asalkan kau mau menemaninya."
"Kenapa harus aku?" tanya Jesyca.
"Karena kau yang masih gadis, dia mau yang sepertimu."
"Gak, aku bahkan baru kenal Pak Baron, bagaimana mungkin aku harus turut menanggung hutangnya?" Jesyca menolak dengan tegas.
"Tapi kau sudah menikah dengan Pak Baron," ujar Sista.
"Gak, pokoknya nggak. Sekarang, di mana ijazahku?" tanya Jesyca dengan tegas.
"Tidak, kamu tidak boleh pergi, kamu harus tetap di sini dan membantu membayar hutang-hutang suami kita dengan apapun caranya yang bisa kau lakukan." Risa berusaha menahan tangan Jesyca.
"Lepas!" Jesyca mengetatkan rahangnya, dia menikahi Pak Baron karena hutang ayah Alvian, dan sekarang dia tidak pergi bisa dari rumah Pak Baron karena hutang Pak Baron.
'Ya Tuhan, apa salahku? Kenapa aku harus menanggung semua ini? Aku tidak bisa seperti ini, aku sudah dapatkan pekerjaan, aku tidak mau terjebak di sini!' ujar Jesyca di dalam hatinya, wanita itu kemudian berdiri dan dia langsung pergi menuju kamar Bu Ajeng.
"Katakan, di mana ijazahku, kalau kalian tidak mau memberikannya, akan aku laporkan kejahatan kalian semalam pada Polisi."
Bu Ajeng dan kedua madunya langsung panik, mereka langsung mengikuti Jesyca menuju kamar utama di rumah itu.
Masuk ke dalam kamar Bu Ajeng, Jesyca langsung mencari keberadaan ijazahnya. Sampai kemudian dia mendengar suara pintu ditutup, Jesyca pun langsung panik dan segera menuju pintu dan berusaha membuka pintu itu.
"Dikunci," gumam Jesyca cukup terkejut. Wanita itu langsung menggedor pintu itu. "buka pintunya!" serunya.
Dia benar-bebae panik, pintu itu tidak bisa dibuka. Bu Ajeng dan kedua istri lain Pak Baron mengurungnya di dalam kamar itu. "Ah, sial," ucap Jesyca.
Namun, dia tersenyum tipis, saat melihat balkon kamar itu terbuka. "Bagus, aku tinggal cari ijazahnya."
Jesyca pun segera mencari keberadaan ijazahnya di kamar itu, dia yakin mereka menyimpannya di tempat itu.
Jesyca terus mencari di setiap sudut kamar, dia mengobrak-abrik isi lemari, laci meja, semuanya dia cari.
Hingga akhirnya, apa yang dia cari dia temukan di salah satu laci lemari besar di kamar itu. "Syukurlah," ucapnya dengan penuh kelegaan, dia peluk benda yang baginya sangat berharga itu.
Setelah mendapatkan benda yang berharga baginya itu, lengkap dengan dompet dan yang lainnya, Jesyca pun langsung keluar dari kamar itu melalui balkon.
Namun, dia menatap ngeri ke arah bawah, balkon kamar itu cukup tinggi, dan dia tidak mungkin melompat.
Jesyca pun bingung harus bagaimana. Sementara kanan dan kirinya tak ada pijakan untuk dia berpindah. "Ya Tuhan, gimana ini?" gumam Jesyca, dia benar-benar bingung.
Kata Arron, dia harus memecahkan solusi untuk keluar dari masalah di rumah ini, tapi tiga lawan satu, bagaimana bisa? Mengajak bicara baik-baik saja malahan dirinya dijambak oleh dua orang sekaligus, lebih baik dia kabur saja, begitu pikirnya.
Hingga kemudian, Jesyca teringat dengan beberapa sprei yang dia keluarkan dari lemari tadi, wanita itu pun berinisiatif untuk mengikat sprei-sprei itu menjadi satu, hingga menjadi tali yang panjang, lalu dia ikatkan sprei itu pada salah satu besi pembatas balkon, dia pun sambil memeluk ijazahnya susah payah turun melalui tali sprei itu.
Jesyca menghela napasnya lega begitu kakinya menginjak tanah di bawah kamar, dia melihat ke sekelilingnya cukup sepi, sepertinya istri Pak Baron sudah memecat beberapa pengawal yang berjaga di rumah itu.
"Dasar tua bangka, sudah bangkrut sok-sokan mau nikahin aku," gerutu Jesyca.
Jesyca berjalan mengendap-endap, mencari jalan keluar dari area rumah yang cukup besar itu, dia tidak mau tertangkap dan berurusan dengan ketiga istri Pak Baron, dia tidak mau ikut menanggung hutang mendiang suaminya yang hanya berlaku beberapa menit saja itu.
"Lebih baik aku kabur," gumam Jesyca, lalu dia melihat tas berisi pakaiannya tadi yang masih berada di depan teras.
Dengan hati-hati, Jesyca mengambil tasnya, lalu memasukkan ijazahnya ke dalam tas itu, dia pun kabur dan langsung menuju pos satpam, dia kembali bersembunyi, memastikan satpam rumah itu tidak ada di tempat.
Dan setelah yakin aman, baru Jesyca memberanikan diri melanjutkan niatnya untuk pergi dari rumah itu, perlahan dia membuka gerbang dan langsung keluar.
Namun tiba-tiba, dia menghentikan langkahnya, jantungnya serasa mau copot, matanya melotot saking terkejutnya, di depannya berdiri seorang pria gagah yang tampak mengerutkan keningnya, menatap heran padanya.
"Jadi, apa kau kabur?" tanya suara bariton itu.
Jesyca menggeleng, lalu menganggukan kepalanya. Dia memang kabur, tapi kenapa tiba-tiba perasaanya seperti bersalah?
"Apa seperti ini caramu menyelesaikan masalah?" tanya Arron, ya pria yang tiba-tiba berada di depan Jesyca adalah Arron Diaz Aksara, sang calon bos Jesyca.
"A-aku sudah dapatkan apa yang aku inginkan, jadi ... ya sudah ayo!" ajak Jesyca.
Namun, saat Jesyca berniat melewati Arron, pria itu menahan lengannya. "Ikut aku masuk ke dalam!" ujar Arron.
"Apa?" tanya Jesyca, wanita itu membulatkan matanya.
"Tidak-tidak, aku nggak mau masuk ke dalam, Anda tahu? Mereka mengurungku tadi, katanya aku harus menanggung hutang Pak Baron. Padahal aku menikah dengannya saja dalam hitungan menit, enak aja!" gerutu Jesyca.
Melihat bagaimana sikap Jesyca, Arron pun menatap heran pada wanita itu, sikap Jesyca berbeda dari sebelumnya yang terlihat begitu sopan, tapi sekarang, sepertinya sisi Jesyca yang sebenarnya adalah seperti yang saat ini dia lihat.
'Hm, menarik ....' Begitu pikir Arron.
"Kau mau jadi asisten pribadiku, bukan?" tanya Arron dengan wajah tanpa ekspresinya itu.
Jesyca pun terdiam, memikirkan ajakan Arron tadi untuk masuk ke dalam. "Ikut aku, dan bertindaklah seperti asisten pribadiku!"
Jesyca masih belum mengerti, dia pun bertanya, "Maksudmu, eh maksud Anda Tuan?"
Namun, Arron tidak menjawab, pria itu meminta seseorang yang berada bersamanya membuka pintu gerbang di depannya, dan saat itu Jesyca baru sadar, jika ada tiga orang lain yang datang bersama dengan Arron.
Padahal sebelumnya, mereka hanya ada bersama sopir. "Ada apa sih ya?" gumam Jesyca penasaran sebelum wanita itu masuk ke dalam mengikuti Arron.
Tiba di halaman rumah Pak Baron, pria dengan jas hitamnya itu memerintahkan Jesyca untuk membuka pintu rumah di depannya.
"Apa, kenapa aku?" tanya Jesyca.
"Kau asisten pribadiku, bukan?" tanya Arron balik.
"Baru calon," ujar Jesyca.
"Kau menolak?" tanya Arron dengan tajam.
Jesyca langsung terdiam, dia pun menggelengkan kepalanya. Akhirnya, dia memberanikan diri naik ke teras dan mengetuk pintu rumah besar di depannya.
"Semoga nggak sia-sia deh aku kabur," gumam Jesyca.
Jessica mulai mengetuk pintu di depannya beberapa kali, sampai pintu terbuka, Risa yang membuka pintu dan wanita itu langsung membulatkan matanya.
"Kau, kau kenapa bisa di luar? Oh, kau mau kabur, hah?" tanya Risa, wanita berambut lurus sebahu itu langsung mencekal tangan Jesyca.
Namun Jesyca menahannya dan segera melepaskan cekalan tangan Risa itu. "Lepas!" ujar Jesyca dengan tegas, dia tidak mau menjadi Cinderella yang tertindas, dia harus seperti Moana, yang tegas dan sabar.
"Kak Sista, Kak Ajeng, lihat dia kabur!" seru Risa memanggil dua Kakak madunya, dia merasa seperti pahlawan yang baru saja menangkap penjahat, wajahnya terlihat begitu puas.
Sampai Bu Ajeng dan Sista datang, mereka langsung menatap heran dengan keberadaan Jesyca yang berada di luar rumah. Namun, ketiganya semakin heran saat ada beberapa pria dengan pakaian rapi berada di depan rumahnya.
"Kalian siapa?" tanya Bu Ajeng.
Arron tidak menjawab, pria itu naik ke teras dan langsung melewati para wanita di depannya begitu saja masuk ke dalam rumah Pak Baron.
"Anda siapa?" tanya Bu Ajeng sekali lagi.
Arron masih tidak menjawab, pria itu hanya memberi kode pada orang yang datang bersamanya. Sampailah seseorang menghampiri Bu Ajeng dan menyerahkan berkas di tangannya pada wanita paruh baya itu.
Bu Ajeng pun bingung, lalu dia membuka berkas itu dan membacanya, mata wanita paruh baya itu langsung membulat sempurna. "Ja-jadi kau perwakilan dari Aksara Global?" tanya Bu Ajeng sedikit gugup.
"Ya Nyonya, berkas penyitaan segala aset sudah siap, karena hutang mendiang suami Anda sudah jatuh tempo 6 bulan yang lalu."
Mendengar itu, semua istri Pak Baron membulatkan matanya, termasuk Jesyca yang menatap penasaran pada Arron yang hanya diam saja sejak tadi.
'Jadi, dia kenal Pak Baron?' tanya Jesyca di dalam hatinya.
'Pantas dia mau menolongku, ternyata ada udang di balik batu!'