Sejak berita duka itu ada, suasana benar-benar menjadi tidak kondusif. Pricilla yang menangis histeris sembari memeluk jenazah Alya dengan erat. Bahkan, tidak ingin melepas sosok ibunya.
Anara mendekat ke arah Pricilla. Mencoba untuk melepaskan genggaman tangan yang erat di pinggang Alya yang terbujur kaku di atas ranjang. Tidak lama kemudian, ada dua perawat laki-laki yang membawa jenazah untuk diurus di ruangan khusus.
“Pris, ikhlasin Mama. Biar dia bisa tenang.” Anara memeluk Pricilla yang ke sekian kalinya.
Waktu yang memang sudah kelewat tengah malam mengharuskan mereka menunggu sampai pagi. Dari pihak rumah sakit, jenazah telah dimandikan dan diurus sesuai dengan permintaan keluarga. Sedangkan, pak RT mengurus biaya administrasi agar keesokan harinya mereka bisa segera kembali ke rumah.
“Semua biaya sudah selesai, besok pagi tinggal kembali ke rumah. Pris, saya boleh pinjam kunci rumah kamu,?” kata pak RT. Sebab, besok sehabis subuh, beliau harus kembali ke rumah. Mempersiapkan segala yang dibutuhkan dalam proses pemakaman.
Pricilla hanya memberikan kunci itu dengan pasrah. Mau bagaimanapun, ibunya tetap harus dimakamkan dengan layak dan sesuai dengan ajaran agama dan adat istiadat yang berlaku.
“Pris, tidur, ya. Sejak semalam lo belum tidur sama sekali.”
“Lo bego! Mana bisa gue tidur. Sedangkan, Mama gue sudah tidur untuk selamanya. Apa gue harus tidur bareng Mama juga?” Pricilla mengacak rambutnya. Melepas jaket denimnya lalu membuang ke bangku sebelah.
Tak terasa, azan subuh telah terdengar. Ibu RT mengajak Anara dan Pricilla untuk menjalankan dua rakaat di masjid terdekat. Sembahyang sekaligus mengirimkan surat yasin untuk Alya.
Baru saja selesai salat, ternyata pak RT telah kembali ke rumah. Ketiga wanita tangguh itu masih setia mengikuti prosedur yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Sampai akhirnya mereka bisa pulang bersama jenazah pada pukul delapan pagi.
Sepanjang perjalanan, Pricilla tidak bisa berhenti menangis. Air matanya lagi-lagi runtuh di sekitar wajahnya. Hancur sudah hidupnya. Turun dari ambulans lalu melihat ke depan rumahnya yang telah ramai oleh orang-orang bertakziah.
Pricilla lari masuk ke kamar. Tidak peduli dengan keramaian yang ada di rumahnya. Duduk di belakang pintu sembari mengamati almari milik ibunya. Membuka lalu mengambil salah satu baju daster yang dibanggakan oleh ibunya. Memeluknya se-erat mungkin untuk mengurangi rasa sakit yang ada di dalam hatinya.
Tok ... Tok ....
“Pris, boleh saya masuk?” tanya salah satu tetangganya.
Pricilla membuka pintu kamar ibunya. Seorang ibu-ibu itu melangkah masuk ke dalam kamar. Duduk di tepi ranjang setelah diizinkan oleh pemilik rumah.
“Ini hasil kerja Ibumu. Ibu Alya sempat meminta tolong pada saya untuk membelikan kamu mukena baru.” Tetangga itu menyulurkan satu kantong plastik berisi mukena berwarna denim. “Kata ibumu, saya disuruh untuk membeli mukena warna denim. Katanya, kamu sangat menyukai itu. Ibu Alya juga sempat berpesan agar mukena ini selalu kamu gunakan untuk sembahyang. Semoga dengan mukena ini menjadikan pahala yang akan mengalir terus untuk Ibumu.” Tetangga itu keluar dari kamar. Turut bergabung bersama orang lain yang sedang mengirimkan doa untuk jenazah.
Pricilla merasa tertampar dengan ucapan tetangganya. Pricilla bergegas mengambil kerudung berwarna abu-abu yang ada di kamar ibunya, tepatnya di belakang pintu. Pricilla duduk di dekat ibunya yang telah tertutup kain bermotif batik.
“Pris, Ibumu mau dimandikan lagi atau tidak?” tanya salah satu dari mereka.
“Boleh, Bu,” jawabnya.
Tidak lama kemudian, banyak guru-guru SMA Go Publik yang datang untuk bertakziah. Bahkan, anggota geng luoji pun tidak tinggal diam. Mereka datang ke rumah sederhana Pricilla untuk memberi dukungan moral.
“Pris, kita bakal ada untuk lo. Lo gak perlu khawatir apalagi takut. Jangan pernah merasa sendiri.” Agnetha memeluk Pricilla dengan erat. Bulir air mata perlahan turun membasahi wajah nan putih itu.
“Tha ... Gue takut, gue bingung. Mama pergi dengan waktu di mana gue belum siap.” Pricilla menenggelamkan wajahnya di pelukan itu.
Tidak lama, ibu RT memanggil Pricilla untuk ikut memandikan jenazah ibunya. Dengan langkah yang gontai dan tidak bersemangat, Pricilla menghampiri ibu RT dan beberapa tetangga yang ikut memandikan jenazah kembali. Setelah selesai dimandikan, Pricilla ikut mengafani ibunya.
Beberapa menit kemudian, mereka turut serta membacakan surat yasin lalu menyalatkan jenazah. Sekitar pukul setengah sembilan, mereka berangkat ke pemakaman. Mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Selesai acara pemakaman, Pricilla berada di rumah sederhana itu bersama teman-temannya. Pricilla duduk memandangi sekeliling rumah yang begitu sepi. Seorang diri di rumah sendiri, menjadi kepala keluarga untuk diri sendiri. Apakah ia mampu menjalaninya?
Waktu tetap berjalan, sekitar pukul sebelas siang, pak RT datang ke rumah. Membahas tentang acara tahlil yang akan dilaksanakan. Menurut beliau, lebih baik menjalankan tahlil sampai hari ketiga lalu disambung pada hari ketujuh. Pricilla hanya bisa mengikuti saran dari pak RT. Pricilla membaringkan tubuhnya di sebuah ranjang.
Beberapa saat kemudian, Pricilla mendengar sebuah suara yang khas dengan ibunya. Alya memanggil namanya untuk membantu membuat donat. Makanan yang dijadikan usaha dari beberapa waktu yang lalu.
“Bangun!” teriaknya.
Pricilla membuka mata lalu terbangun dari tidurnya. “Mama, kok ... “
“Kenapa? Mimpi buruk?” tanyanya dengan begitu jelas.
“Mama ... masih hidup?” lirihnya sembari mencoba meraih tubuh Alya yang sedang berdiri di hadapannya.
Tangannya bisa menggapai tubuh itu. Lalu kejadian kecelakaan itu apa? Apa iya hanya sebuah mimpi? Tapi, kenapa begitu terasa seperti nyata?
“Mam, apa yang terjadi?“ kata Pricilla sembari menangis. “Teman-temanku di mana?”
“Kamu itu hanya mimpi buruk, orang waktu mama pulang dari jualan, kamu tertidur di teras, makanya mama papah ke kamar.” Alya tertawa tipis. “Mama masih napas,” sambungnya.
Rasanya, Pricilla begitu bahagia. Ternyata kabar duka itu hanya lah sebuah impi belaka. Walaupun, semua makhluk hidup akan mengalami sebuah kematian, setidaknya takdir Alya masih diberi umur.
“Ma, Prissy sayang Mama. Jangan tinggalin Prissy sendirian, ya?” kata Pricilla sembari memeluk ibunya.
“Doakan Mama panjang umur. Terus, selalu menjadi anak yang baik, biar Mama gak naik darah mulu,” katanya diselingi tawa.
Jangan pernah mengecewakan orang tua selagi masih ada. Apalagi menyia-nyiakan mereka. Sebab, jalan menuju surga salah satunya adalah berbakti kepada orang tua. Sayangi dan patuhi orang tua. Buat mereka bangga dan bahagia. Mungkin, mimpi buruk yang dialami oleh Pricilla merupakan cara Allah menegurnya. Allah meminta kepada Pricilla agar selalu menghormati ibunya. Tidak menyusahkan lagi ibunya.
“Mam, besok kalau Prissy sudah sukses, ikut Prissy, ya?” katanya sembari tersenyum sangat manis.
“Ke mana?” tanya Alya.
“Keliling Indonesia,” celetuk Pricilla sembari mengusap matanya yang masih terasa kantuk.
“Aamiin, sekarang bantu Mama membuat donat. Kan kamu doang yang bisa menghias donat sampai terlihat menggoda mata.” Alya menarik lengan putrinya.
“Mereka berjalan ke dapur untuk membuat adonan donat. Lagi-lagi hati Pricilla begitu menaruh rasa syukur yang besar kepada Allah. Tuhan yang begitu baik padanya. Masih memberinya sebuah kesempatan emas.