Anders, Ketua Geng Pemberani

1576 Kata
Guru itu menyeka air keringat yang mengucur di hidungnya. Lalu menatap dengan sorot mata yang tak bisa diartikan. Mungkin, dirinya telah lelah menjadi sosok orang tua untuk anak didiknya di sekolah. Terkhusus, anak-anak geng luoji yang selalu menjadi pelopor keresahan. Keresahan yang begitu menyita perhatian dari seisi sekolah. Akibat suara kerasnya guru itu, anak-anak kelas sebelah pun berdatangan di depan kelas anak geng luoji. Mereka bergiliran melihat peristiwa yang belum pernah terjadi. Mata-mata mereka memutar mencari kepuasan dalam rasa penasarannya. Ada pula yang menatap takut ke arah wanita paruh baya di dalam kelas. Tapi, ada juga yang tertawa renyah mendengar perkataan guru itu. “Kalian pikir sekolah ini milik kalian? Bisa seenaknya saja membuat sebuah prasmanan di dalam kelas,” ujarnya. “Lalu apa Ibu pikir, sekolah ini milik Ibu? Sampai-sampai tiap hari bisanya nyuruh anak didik untuk disiplin. Katanya saja, lingkungan bebas rokok. Tapi, saya pernah melihat salah satu guru yang sedang merokok di halaman belakang. Jadi, tidak salah kan kalau kita mengikutinya?” jawab Anders dengan lantangnya. “Kurang ajar!” Para siswa yang berkerumun pun bergegas meninggalkan tempat. Pergi sebelum ikut mendapat malapetaka. Berlarian kembali ke kelas masing-masing. Sampai akhirnya depan kelas geng luoji sepi kembali. “Kalian maunya apa?” tanyanya kembali. Seisi kelas duduk dengan tenang dan diam. Tidak ada yang membuka bibirnya. Bahkan, kepala mereka menunduk takut untuk menatap seorang guru yang berdiri tegap di sana. “Apa mau kalian? Apa kalian pikir saya tidak lelah? Saya lelah mengurus data-data sekolah dan anak didik. Tapi, jauh yang membuat rasa lelah itu begitu terasa kala melihat kalian tidak menghargai peraturan yang ada. Kalian sulit untuk diatur dan menjadi anak-anak yang disiplin. Bukan kalian saja yang bisa lelah,” sambungnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Air matanya luruh dari kelopaknya. “Bu, maaf jika kami ini nakal. Kami tidak bisa diatur. Kami juga tidak bisa menjadi anak-anak yang disiplin. Tapi, percayalah suatu saat kita akan menjadi kebanggaan Ibu dan Bapak guru. Tapi, jika Ibu bertanya demikian, kami hanya ingin memiliki kebebasan. Kami hanya ingin keadilan. Jika kami menyalahi aturan, kami diberi hukuman. Alih-alih dengan alasan supaya lebih disiplin dan menghargai peraturan. Tapi, kenapa jika ada guru yang menyalahi aturan dibiarkan saja?” Anders berdiri sembari menatap gurunya. “Saya pun tahu Ibu begitu berjuang demi masa depan kami yang cerah. Saya menghargai itu. Tapi, kenapa Ibu tidak pernah melihat kebaikan kami walau hanya setitik tinta. Kenapa hanya kenakalan kami yang selalu ada di benak Ibu? Kami, terutama geng yang selama ini dianggap geng urakan, geng nakal, tapi kami beberapa kali membawa piala untuk sekolah.” Anders kembali duduk di bangkunya. “ .... “ Guru itu tampak membuang wajah. Tak bisa menjawab keluhan yang Anders sampaikan. Dalam bayangannya, ia membenarkan. Apa yang dikatakan oleh ketua geng luoji memang benar. Apa dirinya yang begitu egois? Benar, jika masih ada beberapa oknum guru yang tidak mematuhi peraturan di SMA Go Publik. Tapi, demi nama baik mereka memanipulasi data absen guru. “Kenapa Ibu diam? Saya lihat, beberapa kali ada guru yang datang ke sekolah terlambat. Kebetulan, datangnya satu waktu dengan saya. Kenapa Beliau tidak turut serta dengan saya untuk menjalankan hukuman?” Tidak pernah terpikirkan oleh seisi kelas. Bahwa Anders akan mewakili keresahan seluruh siswa sekolah. Mereka pun butuh keadilan. Bukan bahan sasaran untuk kemarahan. Bukankah, kenakalan di usia remaja itu masih wajar? Ya, selama tidak begitu melampaui batas wajar. “Anders, sekarang Ibu balik tanya dengan kamu. Apa yang membuatmu mengajukan pertanyaan itu?” jawabnya dengan tangan yang membenarkan bentuk jilbabnya. “Lalu, mana hasil kode yang kalian janjikan?” “Saya hanya mewakili keresahan yang ada. Kode yang sekolah minta belum selesai. Kami bisa saja memberikan angka-angka secara acak. Tapi, kami tidak sebodoh itu. Sebuah kode harus unik dan sulit untuk dilacak. Itu sebabnya, sampai hari ini belum selesai juga.” Agnetha berdiri. “Maaf, saya kira bel telah berbunyi lima kali. Artinya, kami tidak ada waktu untuk melayani Ibu. Kami permisi,” ucapnya sembari menggendong tas berwarna abu-abu lalu melangkah keluar kelas. “Agnetha!” teriak guru itu. Beriringan dengan itu, geng luoji memilih untuk mengikuti jejak Agnetha yang terlebih dahulu keluar kelas. Langkah kaki yang begitu berani melewati guru itu. Benar, mereka mungkin tidak memiliki sopan santun. Tapi, bagi mereka guru-gurunya yang tidak bisa menghargai prestasi siswanya walaupun hanya sebutir beras. “Anjir banget itu guru!” ujar Anara sembari melangkah masuk ke mobil Kim. “Mentang-mentang jauh lebih tua terus enggak mau disalahkan. Sudahlah, mending kita kerjakan rutinitas,” kata Anara. Mereka pergi ke tempat biasanya dengan mobil. Selama perjalanan, ada saja kejadian unik yang tadinya luar biasa, tapi sekarang sudah biasa. Seperti Anders yang terlihat pemberani tiba-tiba tertidur pulas dengan gaya yang membanggakan atau Davin yang tiba-tiba berubah dari cowok dingin tiba-tiba sok romantis alias modus ke Agnetha. “Bertujuh, tapi tidak ada yang bener.” Pricilla membuka kaca mobil sebelum barang-barang di dalam perutnya meluber ke mana-mana. “Pris, menurut lo apa yang bakal kita kerjakan?” tanya Raynar tetap dengan logat Jawanya. “Biar lebih bermanfaat, bagaimana kalau kita bikin program bersama mereka? Mungkin, edukasi,” jawabnya. “Boleh sih, tapi biaya dari mana? Kita saja belum punya peralatan. Apalagi, mereka juga butuh buku.” Raynar membuka ponselnya. Pricilla mengangkat bahu sebagai tanda tidak bisa memberi saran. Raynar memfokuskan matanya ke arah ponsel. Bukan membuka sosial media atau main game. Se nakal-nakalnya geng luoji, mereka menyempatkan diri untuk tetap belajar. Sama halnya dengan Raynar, dia membuka google untuk mempelajari materi sekolah yang belum dipahami. Tapi, di mata orang lain hal itu tidak terlihat. “Tahu enggak sih, kita itu mengerjakan kegiatan sosial yang tidak pernah dihargai orang,” lirih Pricilla. “Saking tidak terlihat kebaikan kita, orang-orang hanya bisa memberikan cap sebagai geng paling urakan di kota ini.” “Ibaratnya seperti ini, gue di rumah sudah mencuci baju, sudah mengepel lantai, sudah mencuci piring, bahkan sampai genteng pun gue bersihkan. Tapi, dimata orang tua gue, gue cuman rebahan sambil main hp,” timpal Agnetha. “Nah, gue heran. Kenapa orang-orang susah sekali untuk bisa menghargai kebaikan orang lain.” Kim menatap temannya melalui kaca uang diletakkan di atas. Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di bawah jembatan. Sebuah tempat teduh untuk anak-anak yang bernasib kurang beruntung. Mereka tidur tanpa ada dinding penyekat. Alas pun hanya menggunakan kardus bekas. Apakah tidak menyayat hati? Agnetha berlarian ke arah anak-anak yang sengaja menghentikan aktivitasnya untuk bergabung dengan geng luoji. Sebuah geng yang memberi warna dalam kehidupan mereka. “Kalian apa kabar?” tanya Agnetha dengan suara yang lembut. “Baik, Kak. Oh iya, Kakak kami mau belajar membaca, menulis, dan berhitung. Kami juga ingin pintar, walaupun ... kami tidak memiliki uang,” kata salah satu dari anak-anak bawah jembatan itu. Suaranya yang begitu mengusik relung hati Agnetha dan teman-temannya. “Kalian tenang saja. Nanti, kita belajar bareng-bareng. Tapi, ada syarat yang harus kalian penuhi.” Pricilla berjalan mendekat ke samping Agnetha. “Apa Kak Prissy?” tanyanya. “Kalian harus menjadi orang yang berguna di masa yang akan datang. Tunjukkan bahwa dunia ini adil untuk siapa pun. Apa kalian tahu kalau uang itu tidak menjamin seseorang untuk bahagia dan sukses?” Pricilla menggenggam tangan mungil gadis itu. “Sejatinya, rasa bahagia itu hadirnya dari sini,” sambung Pricilla sembari mengangkat telapak tangan gadis itu ke dadanya. “Lalu, bukan berarti anak jalanan tidak memiliki masa depan. Kalian juga punya hak untuk mendapatkan pendidikan dan berhak untuk memiliki mimpi. Jadi, jangan menyerah, ya!” sahut Anara memberikan semangat agar anak-anak yang mereka temui tetap memiliki daya juang meraih angan dan cita. Tidak lama kemudian, ada dua orang laki-laki dewasa berpenampilan urakan. Memakai jaket denim, kaos hitam, dan celana sobek-sobek. Kalung besar dan beberapa cincin yang melekat di jemarinya. Rambut gondrong menambah kesan seramnya. Kaki mereka melangkah ke arah geng luoji dan anak jalanan. Tiba-tiba, dengan brutal meraih plastik hitam dari salah satu anak jalanan. Merampas uang yang tidak seberapa, tapi penuh akan makna bagi kehidupannya. “Kembalikan!” teriak Anders sembari lari menghampiri orang itu. Kakinya menendangnya dan tangan mencengkeram bajunya. Aksinya benar-benar telah menghilangkan rasa rakut terhadap preman yang meresahkan. “Kembalikan atau .... “ “Sudahlah, kalian jangan munafik. Kalian juga sering merampas harta orang lain. Jadi, jangan sok jadi pahlawan,” timpalnya. Tangan Anders tak segan untuk mengeratkan tangannya yang sedang mendekap salah satu dari preman itu. Sedangkan, preman yang lainnya kabur melihat temannya yang hampir kena cincang. “INI AMBIL!” teriaknya menyerah. Preman itu kabur tanpa membawa uang sepeser pun. Dirinya pergi dengan kaki yang terasa ngilu dan badan yang serasa hancur. Tidak pernah main-main, jika Anders telah turun tangan. Tapi, hal itu dilakukan hanya untuk melindungi orang yang membutuhkan. “Kak, keren!” teriak salah satu dari anak jalanan itu. “Kak Anders, terima kembalian, gak?” kata seorang anak yang uangnya hampir dirampas oleh preman. “Yee, kamu pikir Kakak ini tukang parkir?” Mereka tertawa lalu duduk di pinggir jalan. Menatap rumput yang lebat dan tumbuh liar tanpa ada perawatan. Menyejukkan mata dan lumayan memberikan pasokan oksigen untuk penghuni bawah jembatan. “Kalian kenapa tidak merapikan rumput-rumput itu?” tanya Kim yang membawa beberapa jajanan yang dibeli di supermarket terdekat. “Ini kalian makan, ya. Maaf, Kakak-kakak hanya bisa memberi makanan ringan untuk saat ini,” sambung Kim. “Anders!” “Apa sih lo, bisa enggak, jangan teriak-teriak?” jawab Anders enggan menatap Pricilla. “Ini ... masuk berita sekolah,” kata Pricilla sembari menyodorkan ponsel. “Bi .... “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN