Mulut Anders berhenti berucap kala seorang anak kecil bernama Dewi mendekat ke arahnya. Gadis mungil berusia enam tahun yang harus hidup mandiri di bawah jembatan. Memanggil nama Anders dengan begitu riangnya.
“Kak Anders ... Kak Anders ... Dewi boleh minta sesuatu enggak?” katanya sembari menatap sosok lelaki tegap yang berada di depannya.
“Hai, kamu mau apa?” tanya Anders.
“Besok Kakak ke sini lagi, ya. Dewi sama teman-teman sudah seminggu ingin makan mi ayam,” katanya dengan polos.
“Oke, putri kecil,” jawab Anders dengan tersenyum manis.
Satu jam kemudian, mereka telah kembali ke mobil Kim. Hanya duduk di dalam tanpa menyalakan mesin. Mobil pun masih berada di tepi jalan tak jauh dari jembatan. Anders yang tidak mengerti dengan organisasi sekolah, organisasi majalah dinding.
“Bisa-bisanya itu organisasi membuat berita di sosial media mengenai peristiwa itu. Dasar pada enggak punya otak. Sebenarnya, yang membuat nama baik sekolah tercoreng itu, ya, karena mereka tidak bisa menggunakan sosial media dengan baik. Seharusnya, sosial media sekolah itu digunakan untuk membagikan prestasi.”
“Sudah begitu, kita pula yang disalahkan,” sambung Anara yang sibuk dengan buku ekonomi. Lebih tepatnya, Anara sedang mempelajari mengenai perpajakan.
“Biarkan saja dulu masalah itu. Mending, kita bahas sesuatu yang lebih bermanfaat,” sahut Kim yang sedang memainkan ponselnya.
Duduk di dalam mobil dengan dihuni tujuh orang membuat sedikit engap. Belum lagi pembahasan yang membutuhkan ketenangan, mereka memutuskan untuk keluar dari mobil. Duduk di tepi jalan dengan beralaskan rumput liar yang telah memanjang. Sembari menikmati cuaca Jakarta yang panas tambah asap motor yang mengepul. Mereka membahas tentang hukuman yang belum selesai dan kegiatan sosial untuk anak-anak bawah jembatan.
Raynar, di tengah pembahasan yang belum menemukan solusi dengan santainya beranjak lalu meninggalkan. Pergi tanpa keterangan yang jelas. Anggota lainnya pun tidak bisa menghakimi. Mungkin, memilih lanjut pada pembahasan inti jauh lebih tepat daripada merutuki teman yang melenggang begitu saja.
Tidak lama kemudian, sosok laki-laki dengan seragam yang acak-acakan itu kembali. Di tangan kanannya membawa satu kantong plastik berwarna hitam. Kembali duduk di antara Anders dan Davin dengan tatap wajah yang biasa saja.
“Gue tahu lo pada lapar. Ini ada roti sama minuman,” katanya.
“Nah, ini baru orang Jawa,” celetuk Agnetha, “orang Jawa itu ramah, baik hati, terus suka berbagi ... tapi, jangan membagi hati,” sambungnya sembari menatap Davin yang tengah menatapnya juga.
Mereka mengisi perut dengan roti dan minuman yang ada. Dasar Agetha, si tukang lapar. Tidak cukup dengan satu roti. Bahkan, roti yang seharusnya dimakan oleh Davin pun dimakannya. Pantas saja, Davin memilih siswi baru itu.
“Tha ... Lo enggak hanya t***l, tapi rakus,” sindir Anara dengan menggelengkan kepalanya.
“Ya, bagaimana, diriku lapar. Sudahlah, perkara roti jangan diperpanjang. Tuh, deadline hukuman dipercepat,” sahutnya dengan menyeruput satu tegukan air mineral.
Benar, secara tiba-tiba pihak sekolah meminta untuk segera memberikan kode yang diminta. Tapi, bagaimana lagi kode yang dibuat belum juga selesai. Tidak mungkin mereka membuat kode dengan sembarang angka. Bisa runtuh kecerdasan mereka yang tidak diakui itu.
Di mata orang lain, terutama pihak sekolah, geng luoji hanya sebatas kelompok siswa-siswi yang merugikan. Padahal, jika mereka bisa mengerti keadaan yang sesungguhnya, geng luoji bisa saja menaikkan pamor sekolah di mata internasional. Pihak sekolah saja yang tidak bisa melihat itu semua. Apa hanya SMA Go Publik saja yang jauh memikirkan nama baik daripada mental anak didiknya? Mereka itu hanya seorang siswa dan siswi yang membutuhkan kebebasan bukan penekanan. Sebenarnya, mereka hanya seorang remaja yang sedang mencari jati dirinya. Tapi, pihak sekolah yang terlalu berlebihan. Seharusnya, sebagai panutan, guru jauh lebih bijaksana sebelum memberi hukuman yang memberatkan.
“Kode lagi kode lagi, sumpah demi Allah aku lelah memikirkan kode itu. Dikira merangkai angka untuk kode itu gampang apa? Kode rahasia itu tidak segampang membuat kode untuk password layar utama hp apa?” sahut Pricilla dengan perasaan yang mulai kesal. Tambah, lagi waktu yang diberikan pihak sekolah hanya sebatas tiga hari lagi.
“Iya, sih. Nagih kode berasa lagi nagih tugas harian aja si itu Maemunah!” teriak Anders mulai pusing dengan hukuman yang tidak masuk akal dan memberatkan. Apa sebenarnya pihak sekolah sedang mengerjainya? Tapi, kenapa sedemikian jahatnya?
“Wis ngene wae, teko saiki digawe santai. Nik semisale ditagih, ya uwis gurune sik kebangetan!” (Gini, sekarang kita santai saja. Nanti kalau ditagih, artinya gurunya itu yang kebangetan!) Raynar menyalakan rokok yang dilinting dengan kertas biasa dan rumput kering di sekitar.
“ANJIR! LO KERE AMAT!” teriak Davin sembari berdiri menyimpan ponsel di saku celananya.
Ucapannya pun membuat teman yang lain secara langsung menatap Raynar dengan tatapan yang membahagiakan. Mereka tertawa puas di atas kemiskinan sahabatnya.
“Dahlah, pulang saja. Lagian tidak ada pembicaraan yang serius. Tuh lihat langit sudah mulai gelap,” kata Raynar beranjak sembari membuang rokok buatannya.
“Iya, langit sudah mulai menggelap, senja pun mulai menyapa, tapi kenapa dia belum juga mengungkap rasa? Apa ... gue tidak ada di dalam hatinya?” sahut Agnetha sembari melangkah menyusul Raynar yang sudah ada di depannya sepanjang dua puluh langkah.
“ANJIR! JIWA BUCIN AGNETHA KUMAT!” teriak Anara sembari tertawa.
Mereka kembali ke rumah masing-masing. Tentu saja dengan bantuan Kim yang mengantar sampai depan rumah. Mereka beristirahat sesuai dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang tidur ditemani guling, ada yang berak berjam-jam, ada juga yang berkutat di dapur untuk mengisi perut.
Apa pun aktivitas mereka sepanjang malam, tentu saja berujung pada sensasi kasur dan kantuk. Tertidur hingga sang mentari mulai menyapa kembali.
Pagi hari yang membuatnya sedikit berbahagia. Pricilla membuka ponselnya untuk melihat informasi dari sekolah. Ternyata, ada sebuah pesan yang berisi bahwa sekolah libur karena ada acara yang penting di luar sekolah, jadi guru pun tidak ada yang memasuki sekolah. Walaupun, libur Pricilla tetap disibukkan dengan kegiatan rumah yang harus dikerjakan.
Setelah selesai mandi pagi, Pricilla berolahraga di halaman rumah. Kemudian, membersihkan rumah dan membereskannya. Mulai menyapu, mengepel, sampai memasak. Padahal, dirinya hanya di rumah seorang diri. Alya telah berangkat bekerja sejak pagi buta tadi. Benar-benar sosok ibu yang tangguh dan pekerja keras.
Ada satu hal yang Pricilla ingat dari ribuan pesan dari Alya. Ibunya pernah mengatakan bahwa menjadi wanita tidak boleh lemah dan lengah. Menjadi wanita harus kuat dan mandiri. Wanita tidak boleh bergantung kepada orang lain, termaksud bergantung pada ibu sendiri. Sebab, tidak selamanya kita hidup bisa bergantung pada orang lain. Jadi, ketika diri ini dituntut untuk menjadi perempuan yang hebat, kita tidak kaget. Sehingga, kita bisa menjadi wanita-wanita yang bisa bertahan hidup walau sendiri.
“Pris, pergi ke rumah gue .... sekarang!” kata Anara melalui sambungan telepon beberapa detik yang lalu. Tanpa mengabari ke Alya, Pricilla pergi ke rumah temannya dengan menaiki ojek pangkalan di perempat jalan tak jauh dari rumahnya.
Satu jam kemudian.
“Pris ... Gue butuh bantuan lo untuk mengungkap sesuatu yang menurut gue janggal banget. Kejanggalan ini ada di antara kita bertujuh,” katanya setelah Pricilla meletakkan tas ke meja di ruang tamu yang super mewah itu.