Berbagi

1079 Kata
Pricilla tersadar dengan suaranya sendiri. Dia mengusap wajahnya tiga kali. Ternyata, dia sempat tertidur selama dua puluh menit dalam kondisi duduk. Tidak lama kemudian, Pricilla mendapatkan pesan dari Agnetha. Di mana, temannya itu memberikan kabar bahwa besok sekolah libur dan akan pergi ke sebuah tempat di Jakarta untuk menjenguk anak jalanan. Pricilla tidak membalas pesan itu. Dia membiarkannya, kemudian melanjutkan istirahatnya. Dia tidak ingin di hari esok keadaan tubuh tidak sehat dan segar. Bertemu dengan anak-anak jalanan merupakan salah satu cara menaikkan rasa senang di dalam hatinya. Dia pun merasakan rindu dengan mereka yang tinggal di kolong jembatan, rumah kardus, bahkan ada yang tinggal di emperan toko. Karena mereka, Pricilla bisa merasakan rasa syukur atas nikmat yang sudah didapatkan, walaupun tidak semewah teman-temannya. Tapi, Pricilla tidak pernah menyesali takdir hidup yang sudah diberikan. Justru, dia berusaha agar bisa mengubah takdir itu menjadi lebih baik lagi. Cuaca di malam ini tidak bersahabat. Hujan disertai petir membuat tidur Pricilla tidak nyaman. Belum lagi, mati listrik yang mendadak hadir. Dia yang takut dengan kegelapan pun meraba mencari ponsel untuk menyalakan senter. Kemudian, terpaksa bangkit untuk mencari lilin di laci meja. Sekitar pukul satu dini hari, dia melanjutkan tidurnya dengan penerangan yang redup dari lilin. Setidaknya, dia memiliki cahaya penerang yang membantu di malam ini. Dia terbangun sekitar pukul setengah enam pagi. Dia meniup lilin, kemudian bersiap untuk menjalankan ibadah dua rakaat. Pricilla keluar dari rumah dengan membawa sapu lidi. Selama lima belas menit dia membersihkan halaman rumah. Kemudian, berganti ke dapur untuk membuat nasi goreng. Sarapan di rumah salah satu cara untuk berhemat. Nasi goreng buatan sendiri jauh lebih ringan daripada mengeluarkan sepuluh ribu dengan membeli di luar rumah. Setelah selesai pekerjaan rumah, dia bersiap untuk pergi bersama teman-temannya. “Bu, saya titip rumah, ya,” kata Pricilla kepada tetangga sebelah yang kebetulan sedang menyapu halaman. Pricilla pamit kepada tetangga, kemudian melenggang meninggalkan gang yang ada di lingkungan rumah. Dia pergi bareng Agnetha yang memang sudah direncanakan sejak pagi tadi. Tidak lama kemudian, keduanya sudah sampai di sebuah tepi jalan di Jakarta. Mereka bertemu dengan teman lainnya mencari jajanan di salah satu supermarket terdekat. “Pris, menurutmu mendingan ini atau yang mana?” tanya Anara sembari menunjukkan sebuah camilan yang ada di rak. “Tapi, kalau yang ini tidak ada merek, tapi bisa dimakan beberapa kali,” sambungnya mengambil camilan yang terbuat dari singkong. “Itu saja, deh. Toh, sama-sama enak.” Pricilla mengambil lima botol air mineral, di masukkan ke dalam troli. Beberapa waktu kemudian, ketujuh anggota geng luoji telah menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Kini, mereka telah bersiap menuju tempat anak-anak itu tinggal. Mereka juga membagikan sejumlah makanan kotak ke beberapa lansia yang ada di tepi jalan. Dua menit kemudian, mereka sudah sampai di salah satu jembatan. Mereka menemui anak-anak jalanan yang sudah lama tidak ditemui. Mereka bahagia melihat senyum, tawa, bahagia dari anak-anak yang sudah berkumpul untuk ikut belajar bareng geng luoji. “Adik-adik, kami punya makanan yang bisa ditebus dengan nilai. Jadi, hari ini kita akan belajar dan bermain dengan seru. Tapi, kalian hari ini tidak sibuk dengan pekerjaan, kan?” tanya Anders berdiri di samping kanan tiang jembatan. “Ayo, Kak. Kita sudah kangen belajar sama Kakak. Oh iya, Kakak-kakak sehat, kan? Soalnya sudah lama tidak main ke sini,” jawab salah satu perempuan dengan kaos putih garis-garis lengan panjang. “Sehat, kok.” Agnetha tersenyum, membagikan selembar kertas dan alat tulis ke anak jalanan. Selama kurang lebih satu jam mereka belajar berhitung dan menulis. Geng luoji pun bergegas menepati janji untuk membagikan makanan sama rata. Kemudian, mereka mengajak anak-anak itu untuk makan di warung langganan. “Kok sudah lama tidak ke sini?” tanya pemilik warung makan, ternyata dia hafal dengan anggota geng luoji yang terkenal nakal. “Apa ada masalah di jalanan?” sambungnya sembari melayani pesanan makanan. Geng luoji merasa bahagia bisa melihat anak-anak itu ceria, walaupun hanya menikmati makanan dengan menu sederhana di sebuah warung. Bahkan, warung itu pun sudah sangat biasa untuk mereka, sebab mereka sendiri makan di tempat itu. Anders terkejut dengan penuturan pemilik warung. Di mana anak-anak itu sering kali menjadi korban penipuan para pengumpul donasi. Hanya sekadar dijadikan konten, tapi hasil dari konten ataupun uang dari donatur tidak diserahkan dengan baik. “Oke, sekarang kalian bisa melanjutkan pekerjaan kalian, ya. Tapi, kalian harus hati-hati. Jangan mudah percaya sama orang yang belum kalian kenal.” Anders menepuk pelan puncak kepala salah satu di antara mereka yang duduk di sebelahnya. Raynar beranjak dari duduknya. Dia bergegas menyiapkan mobil untuk kembali ke tempat asal. Mereka sudah memiliki rencana untuk melanjutkan mengerjakan kode sekolah yang masih saja menjadi drama sehari-hari. Setiap kali ada rencana mengerjakan, pasti ada saja alasan untuk membatalkan. Tapi, kali ini mereka sudah berjanji untuk merangkainya. Setidaknya mereka harus mendapatkan satu angka. Acara berbagi sudah selesai. Kini, mereka sudah duduk rapi di rumah Anara. Mereka menikmati jamuan yang ada untuk melepaskan rasa lapar dan dahaga. Ditemani oleh suara dari televisi, mereka mengobrol santai sembari menyinggung mengenai metode yang akan digunakan dalam menentukan satu angka yang paling baik. “Pakai metode seperti biasa saja. Mengerjakan soal, sekaligus buat belajar.” Kim mengeluarkan beberapa lembar kertas dan buku matematika. Ketujuh orang itu pun mengerjakan soal matematika dengan semangat. Bahkan, sebenarnya tanpa belajar pun mereka pasti bisa mengerjakan soal ujian. Tapi, sebagai pelajar yang baik, sudah seharusnya melaksanakan kewajibannya untuk belajar. “Eh, Kim, ponsel sama pelaku pencurian sudah ketemu?” tanya Raynar sembari meneguk air putih. “Fokus aja napa. Kita juga punya masalah sendiri. Ini malah ngajakin ngegibah.” Anara mengejek Raynar dengan tawa lepasnya. Beberapa waktu kemudian, mereka telah menyelesaikan satu halaman. Tapi, belum juga merasa oas dengan angka-angka yang ditemukan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melanjutkan pada halaman selanjutnya. Paling tidak, mereka menjadi siswa yang paling berbakti dengan mengerjakan tuntas buku itu. Pricilla bersyukur memiliki teman yang ada saat susah atau baik. Dia pun bersyukur memiliki mereka yang mau berbagi apa pun, termasuk ilmu. Di tengah semangatnya mengerjakan soal, Pricilla merasakan perut yang tidak nyaman. Dia pamit ke toilet untuk menuntaskan panggilan yang datang tanpa diduga. Selama setengah jam, dia berada di sebuah ruangan kecil di paling pojok dapur. Setelah itu, Pricilla keluar dari dalam sana. Dia melihat asisten rumah tangga Anara yang sedang kerepotan memasang tabung gas. Pricilla pun melangkah ke arah wanita dengan rok sepanjang lutut itu. Gadis itu menawarkan bantuan. Perlahan, dia membantu memasang tabung gas. “Bu, lain kali kalau dirasa tidak bisa ... Panggil tetangga atau siapa pun yang bisa menangani, ya,” ujar Pricilla dengan lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN