SMA Go Publik Bersatu

1005 Kata
Agnetha memang sengaja mematikan sambungan telepon. Tidak lama dari itu, bel masuk kelas telah berbunyi. Guru yang akan mengajar pun telah masuk ke kelas. “Bu, Pricilla izin, tidak bisa hadir karena ada sesuatu yang menimpanya. Kemarin, Ibu dari Pricilla mengalami kecelakaan. Saat ini sedang di rumah sakit,” kata Agnetha sembari mengusap air matanya. Walaupun, Agentha belum pernah bertemu dengan Alya, tapi dia bisa merasakan rasa hancur dalam diri sahabatnya. Hancur di mana melihat seorang wanita yang disayang terbaring di rumah sakit. “Innalillahi, sekarang bagaimana keadaan Beliau Agnetha?” tanya guru itu. “Boleh saya izin untuk menghubunginya kembali?” izin Agnetha sembari menekan tombol telepon di nomor sahabatnya. Akan tetapi, tidak diangkat sambungan telepon oleh Pricilla. Anggota geng berkumpul di tempat duduk Agnetha. Mereka merenung pada pikiran masing-masing. Sedangkan, guru itu memilih untuk tidak melanjutkan pembelajaran. Beliau ikut bingung dengan situasi salah satu muridnya. Tidak lama kemudian, ponsel Anara berbunyi. Ada telepon masuk dari Pricilla. Buru-buru, Anara menjawab panggilan itu. “Ra, kenapa Agnetha tadi telepon?” tanyanya. “Pris, Mama Alya baik-baik saja, ‘kan?” tanya Anara dengan perasaan yang sudah kacau. “Doakan saja, ya. Kemarin Mama kecelakaan tertabrak bus. Lalu, nanti malam ada operasi untuk amputasi. Gue minta doa biar operasinya lancar,” kata Pricilla dengan sendu di balik telepon. Tidak lama kemudian, tanpa kata penutup Pricilla mematikan sambungan telepon. Anara bertambah panik dengan sambungan telepon yang terputus sepihak. “Ra, bagaimana?” tanya guru itu. “Katanya, nanti malam harus operasi, Bu. Operasi untuk amputasi tangan,” jawab Anara sembari meneteskan air mata. Tidak bisa membayangkan betapa hancurnya seorang Pricilla. “Oke, kalau begitu kalian diam di sini. Saya pergi sebentar,” kata guru itu pergi meninggalkan kelas. Guru yang mengajar di kelas geng luoji pun memberitahu kabar ini kepada kepala sekolah dan lainnya. Mereka berkumpul di ruang rapat untuk mencari solusi agar bisa membantu meringankan beban salah satu murid tercerdas di sekolah. Kepala sekolah memanggil ketua OSIS dan anggota. Meminta bantuan mereka agar masuk dari kelas ke kelas mencari sumbangan seikhlasnya. Sedangkan, di ruang rapat itu semua guru juga mengeluarkan sedikit uang untuk turut membantu. “Semoga saja, dengan ini bisa membantu Pricilla. Bagaimanapun dia anak didik kita yang patut untuk dirangkul.” Kepala sekolah membubarkan rapat. Guru-guru kembali ke kelas masing-masing. Bukan melanjutkan pembelajaran, melainkan membimbing untuk berdoa demi kesembuhan ibu dari salah satu teman. Setelah doa selesai dan uang sumbangan telah terkumpul, seluruh siswa dibubarkan. Bapak ibu guru dan sekelas geng luoji pun ikut ke rumah sakit. Mereka ingin memberikan tempat bersandar dan berkeluh kesah kepada temannya yang sedang terjatuh. Mereka pergi ke rumah sakit bareng-bareng dengan kendaraan masing-masing. Sampai di depan ruang ICU, Agnetha berlari kecil lalu memeluk teman sebangkunya. “Gue yakin, lo pasti kuat demi Mama,” kata Agnetha sembari menghapus air mata sahabatnya. Pricilla melihat kepala sekolah dan beberapa guru yang turut hadir. Pricilla melepas genggaman tangan Agnetha lalu menuju Bu Santi. Guru BK yang selalu mengerti anak didiknya. “Bu, maafkan Pricilla kalau sering bikin ulah. Maaf, hari ini juga bolos,” lirihnya sembari menjabat tangan gurunya. “Sudahlah, Nak. Tidak apa, kamu harus tabah, harus kuat, harus sabar. Mama kamu juga kuat,” katanya sembari memegangi kedua bahu Pricilla. Tidak lama kemudian, Pak RT datang dengan membawa berkas-berkas yang dibutuhkan. Beruntung, RT di tempat tinggal Pricilla begitu peduli. “Pak, ini ada sumbangan dari SMA Go Publik, walau tidak banyak, semoga bisa membantu.” Amplop cokelat itu telah dipegang oleh pak RT. Tidak lupa, Pricilla dan RT mengucapkan terima kasih. Tidak menunggu lama, pak RT buru-buru ke resepsionis untuk membayarkan tagihan Alya. Tidak lama kemudian, guru-guru dan teman Pricilla pamit untuk pulang, kecuali anggota geng luoji. Mereka memilih untuk menemani Pricilla di rumah sakit. Memberikan ketenangan dan menghibur Pricilla. “Pris, makan yuk, gue traktir,” ucap Kim dengan tersenyum begitu manis, mirip oppa Korea. Mereka bertujuh pergi ke kantin rumah sakit. Menikmati nasi dengan lauk ayam dan sayur tumis kangkung. Beberapa waktu kemudian, mereka kembali ke depan ICU. Di sana ada seorang dokter yang berbincang bersama pak RT. “Pak, Bu, ada apa?” tanya Pricilla dengan nada cemas. “Jadwal operasi Mama kamu malam nanti sekitar pukul delapan malam.” Bu RT beranjak mengambil botol air mineral untuk dikonsumsi. Pricilla mengangguk lalu duduk di bangku kosong dekat ibu RT. Teman-temannya berpamitan untuk kembali ke rumah. Sebab, sekolah keesokan harinya harus tetap berjalan. Jujur saja, Pricilla masih menginginkan teman-temannya untuk bersamanya. Tapi, benar, ria tidak boleh egois. Teman-temannya pun memiliki kehidupan yang terus berjalan. Sekolah pun tetap masuk dan berhak bersama keluarganya di rumah. Pricilla hanya mengangguk sembari tersenyum manis. Menatap temannya berjalan meninggalkan rumah sakit. Pricilla kembali menatap ke arah langit-langit rumah sakit. Meminta kepada Allah untuk memberi kelancaran operasi ibunya sekaligus meminta ketenangan hati dan pikirannya. “Pris, ini sisa uang yang dari teman-teman kamu. Dari warga juga membantu biaya rumah sakit, jadi ada sisa,” kata pak RT memberikan amplop berwarna putih. Pricilla menerima amplop itu sembari mengucapkan terima kasih. Padahal, saat ini uang yang ada di tangannya tidak begitu berarti. Sebab, barang berharga yang ada di dalam hidupnya adalah ibu. Sekitar pukul enam sore, Pricilla pergi ke masjid sekitar rumah sakit. Menjalankan tiga rakaat untuk memanjatkan doa. Selesai ibadah, Pricilla mampir di salah satu warung membeli tiga bungkus es teh dan nasi. “Pak, Bu, ini dimakan dulu, ya,” kata Pricilla memberikan nasi dan teh, “terima kasih sudah membantu saya. Pricilla tidak tahu kalau tidak ada pihak RT dan warga yang membantu. Tambah lagi, seluruh pihak sekolah yang bersatu membantunya. “Iya, sama-sama. Kamu makan juga,” kata ibu RT sembari membuka bungkus. Beberapa waktu telah berlalu. Seorang dokter telah menghampiri pihak keluarga untuk selalu berdoa. “Dok, saya mohon ... lakukan yang terbaik,” kata Pricilla menahan air mata. “Saya akan melakukan semampu kami. Saya permisi,” katanya sembari memasuki ruangan untuk memindahkan pasien ke ruang operasi. Tentu saja dengan bantuan beberapa perawat.  “Suster, tolong jangan bercanda ... itu Ibu saya sedang berjuang antara hidup sama mati!” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN